Berhasil Kalahkan Churchill Mining di Arbitrase Internasional, Begini Komentar Isran Noor
Isran Noor mendapat kabar keluarnya keputusan itu Rabu pagi dari kuasa hukum, Didi Dermawan. Didi menerima salinan putusan setebal 200 halaman itu
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Isran Noor, mantan Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, mengaku bahagia atas keputusan tribunal badan arbitrase Internasional Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang menolak gugatan Churchill Mining Plc.
Dengan keluarnya keputusan atas dua perkara nomor ARB/12/14 itu (Churchill Mining Plc Vs RI) dan ARB/12/40 (Planet Mining Vs RI), maka kekhawatiran selama ini bahwa pemerintah Indonesia harus membayar US$2 miliar (sekitar Rp 26,8 triliun) dengan sendirinya sirna.
"Tapi lebih penting bagi saya, saya bahagia karena bisa memperjuangkan martabat bangsa. Putusan ini juga menegaskan bahwa keputusan saya mencabut empat IUP di bawah bendera Ridlatama itu sudah benar," kata Isran Noor dalam konferensi pers di rumahnya, komplek Karpotek Samarinda, Rabu (7/12/2016) sore.
Isran mendapat kabar keluarnya keputusan itu Rabu pagi dari kuasa hukum, Didi Dermawan. Didi menerima salinan putusan setebal 200 halaman itu sesaat setelah diputuskan oleh Tribunal di Washington DC, Selasa (6/12) malam Indonesia. Hari itu juga Isran mengundang wartawan untuk menyampaikan kabar tersebut.
"Kenapa saya perlu menyampaikan (kabar mengenai keputusan) ini, sedang saya bukan bupati lagi? Sebab saya pribadi turut tergugat. Di situ ditulis Isran Noor. Karenanya saya merasa mempunyai hak konstitusi. Jadi, masyarakat Kaltim dan Indonesia perlu tahu," jelasnya.
Diketahui, Churchill menggugat Pemkab Kutai Timur dan Pemerintah Indonesia US$2 miliar pada 22 Mei 2012 lewat ICSID. Churchill merasa dirugikan US$1,8 miliar karena izin usaha tambangnya dicabut Bupati Kutim Isran Noor.
Churchill mengaku memiliki izin tambang seluas 350 km2 di Kutai Timur karena telah mengakuisisi 75 persen saham empat IUP batubara milik PT Ridlatama Group. Akuisisi itu membuat nilai saham Churchill di bursa melonjak. "Bahkan disebut sudah berproduksi, padahal belum," jelas Isran.
Dalam amar putusan yang tebalnya mencapai 200 halaman itu disebutkan tiga hal. Pertama, tribunal menilai gugatan yang diajukan Churchill tidak masuk akal. Dan karena itu ditolak.
Kedua, sebagai konsekweksi atas ditolaknya gugatan itu, maka Churchill diwajibkan membayar biaya perkara dan seluruh biaya yang timbul atas dilaksanakannya sidang-sidang ICSID.
Ketiga, Churchill wajib membayar ke responden (pemerintah Indonesia) sebesar US$8.646.526 atau sekitar Rp 115,86 miliar (kurs Rp 13.400). Keputusan tribunal ini bersifat mengikat dan final. Tak ada lagi upaya lain untuk banding.
Menurut Isran, begitu keputusannya mencabut empat IUP Ridlatama digugat oleh Churchill, pada tahun 2012, tidak sedikit pejabat dan tokoh masyarakat Kaltim maupun Jakarta yang khawatir. Mereka juga meragukan kemampuan kita dapat memenangkan gugatan itu.
Diketahui, Pemerintah RI menempatkan Pemkab Kutai Timur untuk mewakili Pemerintah pusat dalam mengikuti setiap agenda persidangan. Terlebih sudah tiga-empat kali berperkara di arbitrase internasional, pemerintah RI tidak pernah menang.
Bahkan dalam sidang kabinet yang dipimpin Presiden SBY ketika itu, menurutnya ada yang meminta kita untuk menyerah saja. Damai. Mereka beralasan sangat sulit untuk menang. Dengan damai, maka kompensasi yang harus dibayarkan dipastikan tidak akan lagi sebesar jika kita kalah.
Tapi ia melihat indikasi ada yang mencoba bermain untuk mendapatkan sesuatu dari kompensasi itu. Isran tegas menolak untuk damai dengan Churchill.
"Sebenarnya tidak peduli mereka mengecilkan kapasitas saya. Saya akan jalan terus. Sebab saya tak ada kepentingan pribadi," katanya.
Churchill turut menyertakan anak perusahaannya di Australia, Planet Mining Pty untuk memperkuat gugatannya. Gugatannya tercatat dalam perkara ARB/12/40. Planet Mining memiliki 5 persen saham dalam proyek pengembangan batu bara Kutai Timur.(bin)