Lebih Fashionable, Warga Perbatasan Pilih Produk Lokal Ketimbang Negara Tetangga
Namun ketergantungan suplai sembako dari negara tetangga, harus diakui masih sangat sulit dihilangkan.
Penulis: Doan E Pardede |
Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Doan Pardede
TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG SELOR - Saat ini, hampir sebagian besar barang-barang sembilan bahan pokok (sembako) untuk warga perbatasan masih dipasok dari negara tentangga, Malaysia.
Selain lebih murah, kualitas produk-produk negara dari tetangga juga disebut-sebut lebih baik.
Namun khusus untuk pakaian, ternyata warga perbatasan punya selera berbeda.
Walau jauh lebih mahal, warga perbatasan ternyata lebih milih produk-produk lokal ketimbang produk Malaysia. Alasannya, produk Malaysia dinilai 'kurang fashionable'.
"Pakaian Malaysia kurang diminati di Pulau Sebatik karena kurang fashionable. Berbeda dengan dengan sembako (asal Malaysia) yang image-nya memang sudah bagus," ungkap Wahyudi, Ketua Forum Bela Negara (FBN) Kaltara, yang juga warga asli Sebatik, kepada Tribunkaltim.co, Minggu (2/1/2017).
Bahkan kata dia, pakaian produksi Indonesia yang rata-rata didatangkan dari Pulau Jawa khususnya dari Surabaya ini, juga diminati warga Malaysia.
(Baca juga: Soal Penertiban Tanggul Sandar Kapal, Satpol PP Masih Tunggu Kondisi Air)
Selain untuk dipakai sendiri, juga untuk kembali diperdagangkan di negara Malaysia. Imbasnya, banyak warga Indonesia di perbatasan yang kini mulai menekuni profesi berjualan pakaian Indonesia.
"Kalau dulu sebelum bisnis pakaian Surabaya menjamur, memang orang masih membeli dari Tawau, Malaysia," imbuhnya.
Namun ketergantungan suplai sembako dari negara tetangga, harus diakui masih sangat sulit dihilangkan.
Khususnya untuk harga, barang-barang dari Malaysia jauh lebih murah ketimbang produk serupa buatan Indonesia.
Bahkan ada warga Indonesia yang memilih menjadi penjual grosir karena berdagang dengan produk Malaysia bisa memberikan keuntungan.
"Contohnya beli Bimoli Indonesia yang botol kecil yang nggak sampai seliter Rp 15 ribuan. Sementara minyak Malaysia yang sebungkus 1 liter cuma 3 ringgit atau sekitar Rp 10 ribuan," ujarnya.
Wacana membangun toko perbatasan yang sudah didengungkan Pemprov Kaltara, menurutnya sudah cukup baik untuk mengurangi disparitas harga dan meningkatkan rasa cinta terhadap produk lokal.
Dia meyakini, jika memang suplai barang terjamin dan harga yang ditawarkan cukup bersaing, warga perbatasan bisa beralih untuk menggunakan produk lokal.
Selain harus memberikan subsidi ongkos angkut produk, Pemprov Kaltara juga harus memperhatikan kondisi infrastruktur, yang tentunya juga penting dalam hal distribusi barang melalui jalur darat dan laut.
"Dengan adanya suplai produk Indonesia yang berdaya saing dan harga yang terjangkau, ya orang pasti beralih ke Indonesia," ujarnya.
Namun menurutnya, siapa pengelola toko perbatasan ini juga perlu dijelaskan secara rinci sejak awal.
Ada baiknya kata dia, pengelolaan toko-toko perbatasan ini juga melibatkan Badan Usaha Milik desa (Bumdes) yang ada di perbatasan.
"Kalau dikelola oleh Bumdes akan lebih efektif," ujarnya. (*)