Museum Mulawaraman Tetap Bertahan Meski Sering Diterjang Rendaman Banjir
Komandan kami yang perintahkan ke warna hijau kembali. Warna hijau sebagai warna asli. Kami benar-benar tampilkan warna aslinya
Penulis: tribunkaltim |
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Keberadaan museum mesti bertahan mengikuti perkembangan zaman. Museum hadir untuk memberi segudang informasi peristiwa masa lalu yang sudah bergulir. Pesan dan pelajaran berguna terangkum dalam sebuah musem.
Inilah yang ingin dihadirkan oleh Museum Kodam Mulawarman Kota Balikpapan, tetap bertahan meski sering diterjang rendaman banjir.
Waktu itu, matahari belum tepat di atas kepala, museum sudah dikunjungi murid dari taman kanak-kanak berseragam merah. Ramai sekali mendatangi dan memenuhi museum sejarah militer wilayah Kodam Mulawarman ini, Sabtu (15/12).
Ruang-ruang yang tersedia disebuah museum tertata rapi. Pintu masuk museum disambut dua meriam warna hijau peninggalan kolonial tentara sekutu.
Meriam bernama Saddle 25 ponder buatan Australia tahun 1942 dengan kaliber 90 milimeter. Satunya lagi meriam Saddle 6 Ponder buatan tahun 1942 dari negara Inggris dengan kaliber 70 milimeter.
Meriam tersebut sekitar setahun yang lalu sempat dipamerkan ke masyarakat dengan tampilan warna bermotif loreng, campuran warna cat coklat, putih, hitam dan hijau. Namun tidak lama kemudian, diubah kembali ke hijau tua.
"Komandan kami yang perintahkan ke warna hijau kembali. Warna hijau sebagai warna asli. Kami benar-benar tampilkan warna aslinya, dahulunya zaman perang itu warna hijau," ungkap juru kunci museum Kodam Mulawarman, Sersan Mayor Masemun.
Koleksi yang disimpan museum ini beragam jenis. Ada bekas peninggalan zaman perang hingga koleksi barang-barang terkini seperti minuatur kapal KRI Fatahillah dan pesawat tempur TNI Angkatan Udara serta seragam tentara.
Peninggalan kuno itu di antaranya ada alat komunukasi berupa radio SSB SR 206 buatan Amerika Serikat tahun 1965. Radio ini pernah digunakan dalam Siskomwil dan operasi penumpasan yang bertajuk gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia.
Tidak hanya itu, ada juga Transmiter P 401 buatan Uni Soviet tahun 1959 yang difungsikan sebagai sistem komunikasi operasi yang pernah digunakan dalam operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di Kalimantan Barat tahun 1962.
"Sampai sekarang alat komunikasi radio yang zaman dahulu masih dipakai. Cocok buat operasi perang militer. Soalnya tidak bisa disadap. Beda dengan alat komunikasi yang sekarang kita pakai, smartphone bisa disadap sama siapa saja," kata Masemun.
Secara organisasi, PGRS dan Paraku merupakan sayap bersenjata di bawah naungan North Kalimantan Communist Party (NKCP), sebuah partai politik komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia. Munculnya organisasi ini dilatarbelakangi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966.
Selain alat komunikasi, juga ada alat musik ditiup yang biasa digunakan dalam pertunjukan marching band dan konser musik klasik. Alat ini diberinama Frenc Horn buatan Boosey dan Hawkes tahun 1964.
Alat musik logam ini tampilannya sudah sepuh, terlihat berkarat, warna sudah dominasi hitam. Dahulunya di tahun 1965 pernah dipakai dalam upacara serah terima jabatan Pangdam IX Mulawarman dari Brigjend Sumitro ke Brigjend Mung Parhadimulyo.
Pada bagian museum pun dibuat layar proyektur, sebagai ruang tontonan film. Biasanya film yang diputar seputar latihan-latihan prajurit TNI. Museum ini dahulunya adalah rumah yang pernah dihuni pejabat militer kolonial Belanda.