Ibu Kota Baru
Jokowi Pilih Ibu Kota Baru di Kalimantan dan Kisah Wanita Penjelajah Borneo di Januari 1852
Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar.
TRIBUNKALTIM.CO - “Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalannya di Borneo pada Januari 1852.
“Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”
Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.
Setelah berjuang beberapa jam akhirnya mereka mendapatkan aliran sunga yang tenang.
Sembilan jam kemudian mereka sampai di tujuan pertama, sebuah benteng di Skrang.
Dilansir dari nationalgeographic.co.id, diceritakan Komandan Alan Lee menyambut kedatangan Ida dan pemandunya.
Dalam catatan perjalanannya yang terbit di London pada 1855, Ida Laura Reyer Pfeiffer berkisah saat menginjak tanah Borneo pertama kali melihat benteng terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah.
Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu. Ida yang berkulit putih menjadi sosok aneh dan menjadi tontonan bagi warga pedalaman Borneo dan menjadi perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock.
Ia menceritakan pengalamannya di A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1.
Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee.
“Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya.
“Saya berminat membelinya apabila ada diantara mereka yang menjualnya.”
Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.
Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini. Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu.
Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan.