Menelusuri Badak Sumatera di Borneo

Cula Diselundupkan hingga ke Vietnam, Ancaman Konservasi Badak

Temuan badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur memberi harapan baru bagi konservasi badak.

Editor: Fransina Luhukay
NET/GOOGLE
Cula badak diburu untuk dijual di pasar gelap dengan harga tinggi. 

TRIBUNKALTIM.co.id - Temuan badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur memberi harapan baru bagi konservasi badak.

Dunia kini hanya punya lima sub-species badak. Masing-masingnya harus bertahan dari ancaman akibat semakin sempitnya habitat dan maraknya perburuan ilegal.

Badak adalah salah satu hewan yang laku di pasar gelap karena seluruh bagian tubuhnya dimitoskan mempunyai khasiat.

Kalimantan memiliki banyak titik perbatasan dengan negara tetangga.

Di provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang merupakan pengembangan dari provinsi Kaltim, misalnya, dua kabupatennya, yakni Malinau dan Nunukan, mempunyai batas darat dengan negara bagian Sarawak dan Sabah, Malaysia.

Selain perbatasan darat, perbatasan laut Indonesia – Malaysia membentang di sepanjang Selat Makassar, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulawesi.

Titik lintas batas ini kerap dimanfaatkan para penyelundup satwa liar, kayu, hingga narkotika dan obat-obatan terlarang.

“Illegal logging misalnya, bisa lewat darat ke Sarawak dari Kabupaten Malinau. Pernah ada warga negara Prancis yang minta tolong mencari temannya yang hilang ketika mencoba menyelidiki perdagangan kayu ilegal di kawasan tersebut,” kata Rustam, staf pengajar Fakultas Kehutanan, Laboratorium Ekologi Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati, Universitas Mulawarman.

“Perdagangan gelap satwa kerap juga terjadi di sana. Ada banyak jalur tikus, baik lewat Kalbar maupun Kaltim. Transit poinnya adalah Malaysia,” dia menambahkan.

Perdagangan gelap satwa liar dari Kalimantan lebih mudah dilakukan lewat darat dan laut, langsung dilarikan ke Malaysia, karena pemeriksaan tidak seketat di bandar udara.

Terlebih sebelum mencuat kasus Ambalat di perbatasan Malaysia – Indonesia di Nunukan. “Dari sedikit kasus yang sempat terungkap, pembelinya adalah dari Malaysia,” kata Rustam.

Rustam menyebut beberapa kasus. Misalnya, penyelundupan yang terbongkar di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Pembelinya diketahui warga negara Malaysia.

Publikasi ProFauna ---lembaga swadaya masyarakat yang juga melakukan pemantauan satwa liar---tahun 2010 juga menuliskan upaya penyelundupan 9.000 telur penyu dari Kalimantan Barat ke Malaysia. Upaya ini berhasil digagalkan unit respon cepat Forestry Ranger, Mei 2010 lalu. 

Jalur-jalur perbatasan yang tidak mempunyai sistem pengawasan ketat menjadi titik rawan dalam perdagangan ilegal satwa liar di Asia Tenggara.

TRAFFIC --organisasi nonpemerintah yang memantau lalu lintas perdagangan satwa liar dan tanaman untuk konservasi keanekaragaman hayati yang berpusat di Cambridge, Inggris--dalam publikasinya menulis, Asia Tenggara adalah salah satu wilayah yang menghadapi tantangan perdagangan satwa liar paling banyak dibandingkan wilayah lainnya.

Asia Tenggara bukan hanya terkenal dengan keanekaragaman spesies hewan dan tanaman, tetapi juga budaya, bahasa, politik dan keberagaman agama.

Gaya hidup di Asia Tenggara bukan hanya mengenai makanan, pakaian, ataupun produk lainnya, tetapi juga satwa liar.

Tiongkok, menurut TRAFFIC, bukan lagi satu-satunya pasar produk satwa liar terbesar. Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia juga dapat menjadi pasar akhir.

Dr Richard Thomas,  Global Communications Coordinator, TRAFFIC menjelaskan ada pasar yang berbeda untuk komoditas yang berbeda.

Tiongkok adalah pasar terbesar untuk gading gajah dan trenggiling.

“Tetapi, komoditas yang berbeda memiliki rute yang berbeda, karena pasar akhirnya berbeda. Sebagai contoh, reptil yang diselundupkan dari Madagaskar mungkin saja berakhir di pasar Thailand atau Indonesia.

Sementara trenggiling diselundupkan ke Vietnam dan Tiongkok mungkin saja bersumber dari Indonesia atau bahkan Afrika.

Sementara ini, gading gajah dari Afrika kebanyakan menuju Tiongkok dan Thailand. Sedangkan, cula badak Afrika Selatan kebanyakan dibawa ke Vietnam,” katanya.

Vietnam, negara tetangga yang juga anggota ASEAN mempunyai rekam jejak perdagangan cula badak ilegal.

Matinya seekor badak bercula satu terakhir yang hidup di Vietnam, di Taman Nasional Cat Tien, juga akibat perburuan culanya. TRAFFIC menulis, permintaan cula dari Asia terus meningkat, terutama dari Vietnam.

Saat ini permintaan cula ini dipenuhi dari perburuan liar di Afrika Selatan. Tingginya, permintaan membuat perburuan cula di benua Afrika naik 5.000 persen antara tahun 2007-2011.

Di Vietnam cula badak dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk mengobati beragam penyakit, mulai dari demam, halusinasi, sakit kepala, selain juga sebagai simbol dari kekayaan dan kemakmuran.

Bulan Januari 2013, dua pria Vietnam ditangkap di hari yang sama di Ho Chi Minh, Vietnam, dan Bangkok, Thailand,  karena menyelundupkan cula badak seberat 16,5 kg dan 10,6 kg.

Seluruh spesies badak masuk dalam daftar Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna dan Flora yang melarang seluruh perdagangan komersial internasional untuk badak dan produk serta turunannya.

Pengecualian hanya untuk populasi badak putih di Afrika Selatan dan Swaziland yang masuk dalam Appendix II, yang pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi tujuan khusus.

Perdagangan internasional dari binatang dalam keadaan hidup untuk tujuan yang diperkenankan dan dapat diterima serta hunting trophies. 

Sebenarnya, Vietnam juga telah ikut menandatangani dokumen CITES sejak tahun 1994. Salah satu dokumen CITES Nomor 82/2006/ND-CP menyebutkan larangan seluruh perdagangan internasional untuk spesies yang termasuk dalam Appendix I, termasuk badak, kecuali disertai izin resmi CITES. 

Aturan Nomor 32/2006/ND-CP menambahkan badak Jawa, termasuk yang hidup di Vietnam,  dilarang keras digunakan untuk perdagangan, penggunaan, ataupun eksploitasi.

Di Vietnam, perdagangan ilegal cula dapat dikenai pidana penjara hingga tujuh tahun.

Sesuai dengan kasusnya, pengadilan juga dapat menjatuhkan pidana denda antara dua hingga 20 juta dong Vietnam (setara Rp 11.072.561,54).

Sanksi lainnya adalah dilarang menduduki jabatan tertentu, membuka praktek untuk pekerjaan tertentu selama satu hingga lima tahun.

Tingginya permintaan cula badak dari Vietnam dipengaruhi kepercayaan akan obat-obatan tradisional yang telah diyakini selama ribuan tahun.

Obat-obatan tradisional ini mendapat pengaruh kuat dari praktek pengobatan Tiongkok.

Nasib badak makin terancam saja, karena kini cula badak juga digunakan untuk  pengobatan kanker dan pengobatan modern lainnya. (amalia husnul a'rofiati)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved