Menelusuri Badak Sumatera di Borneo
Vietnam, Pasar Cula Badak Terbesar di Dunia, Mimpi Operasi Bersama di Perbatasan
Saat ini hanya lima sub-spesies badak yang tersisa di seluruh dunia. Salah satunya, badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) hidup di Kalimantan.
VOA Kamboja, 23 July 2014 melaporkan daging satwa liar tersaji di beberapa restoran di Phnom Penh, ibukota Kamboja. Di restoran tersebut, setiap pengunjung dapat memesan daging rusa, babi hutan, bahkan biawak.
Beberapa restoran bahkan menjual daging satwa yang teramat langka seperti trenggiling.
Pejabat Konservasi Satwa Liar Kamboja mengatakan praktek penjualan daging satwa liar ini membahayakan keberadaan seluruh satwa dengan adanya berbagai upaya perburuannya.
Sementara itu, harimau dan badak yang pernah hidup di wilayah ini telah punah dan gajah juga semakin langka.
Dari penelusuran VOA Kamboja, babi hutan goreng, biawak dan rusa masing-masing dijual seharga antara 8 – 10 dolar per piring.
Minat sebagian golongan masyarakat untuk menikmati daging satwa liar demi menaikkan status di masyarakat ini juga ikut menambah kerawanan perdagangan ilegal satwa liar.
ASEAN yang anggota-anggotanya juga ikut menandatangani dokumen Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) membentuk kerja sama khusus untuk menangani perdagangan ilegal satwa liar melalui AWEN.
Pembentukan AWEN dilaksanakan dalam pertemuan tingkat menteri di Bangkok, Desember 2005.
AWEN merupakan kerja sama antara aparat penegak hukum di ASEAN dalam memberantas perdagangan ilegal tumbuhan maupun satwa liar.
Kerja sama ini melibatkan instansi terkait, seperti kepolisian, bea cukai, kejaksaan dan CITES Management Authority yang di Indonesia dipegang oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan.
Sesuai dengan kesepakatan, maka pemegang CITES Management Authority adalah penanggung jawab atau National Focal Point AWEN. Seberapa efektifkah kerja sama ini?
Rustam, Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan, Laboratorium Ekologi Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati Universitas Mulawarman meragukan efektivitas peran kerja sama tersebut di Indonesia.
Pasalnya, penanggung jawabnya adalah instansi pemerintah yang cenderung birokratis. Namun ia menyambut baik adanya kerja sama tersebut.
Harapannya, ketika kemudian negara lemah dalam melakukan penindakan, ada tekanan global yang mendorong Pemerintah untuk bertindak lebih tegas.
Sebuah tesis berjudul “Pemberantasan Wildlife Crime di Indonesia melalui Kerja Sama ASEAN Wildlife Enforcement Network (ASEAN-WEN) yang disusun Sigit Himawan untuk menyelesaikan pendidikan di Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang, mengulas kinerja Indonesia dalam kerja sama tersebut.