Menelusuri Badak Sumatera di Borneo

Ancaman Kerusakan Habitat dan Pemburu yang Berdalih Cari Gaharu

Temuan World Wild Fund (WWF) Kaltim di Kabupaten Kutai Barat ini menjadi harapan baru bagi konservasi badak Sumatra

Editor: Sumarsono
TribunKaltim/M WIKAN H
Tim survei WWF saat memperlihatkan hasil foto badak Sumatera di Kalimantan yang diperoleh dari kamera jebak 

Fakta bahwa cula badak adalah salah satu komoditas yang laku di pasar gelap, kata Wiwin, jelas-jelas mengancam kelestarian hewan ini.

Meski WWF dan seluruh pihak yang terkait telah menyembunyikan detail lokasi, tapi para pemburu sudah mulai datang. World Wild Fund (WWF) Kaltim menemukan beberapa pemburu yang datang dengan beberapa modus.

“Dari logat gaya bicaranya dan pengakuan mereka sendiri, mereka berasal dari Sumatera. Sebenarnya, mereka adalah satu kelompok, tetapi kemudian terpisah-pisah.

Alasannya macam-macam. Katanya cari gaharu, cari sarang burung, tapi ujung-ujungnya tetap tanya badak,” kata Wiwin.

Tim WWF pernah berusaha mengikuti kawanan tersebut. Sayangnya upaya ini gagal lantaran kehilangan jejak ketika memasuki Samarinda, ibukota Provinsi Kaltim.

Rustam, Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan, Laboratorium Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati, Universitas Mulawarman, punya kisah lain.

Ketika pihaknya menerima informasi ada badak yang tertabrak truk logging di tahun 2002, hanya dalam jangka waktu satu bulan, sudah tak ada lagi sisa dari bagian tubuh badak tersebut.

“Satu bulan kemudian kami baru sempat menuju lokasi tersebut. Namun, kami tanya ke sana kemari, sudah tak ada lagi bagian tubuhnya. Semuanya sudah laku dijual.

Padahal, sebenarnya belum ada penelitian yang secara resmi menyatakan manfaat dari bagian-bagian tubuh badak ini. Lebih kepada pengetahuan jaman dulu,” katanya.

Rentannya badak dari perburuan makin besar akibat kebiasaan hewan ini.

MacKinnon dalam bukunya Seri Ekologi Indonesia Buku ke-3, Ekologi Kalimantan, menyebutkan salah satu kebiasaan badak, yaitu berkubang, justru menjadikannya sangat mudah dijebak.

Masih ada ancaman lainnya, yakni kerusakan habitat.

Menurut Agung Nugroho, Kepala Seksi Pembinaan Populasi dan Habitat Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Kehutanan, ketika habitat satwa semakin sempit, pada akhirnya mereka (satwa) juga akan keluar dari hutan dan kemudian berkonflik dengan masyarakat.

“Seperti kasusnya dengan orangutan. Ketika satwa keluar hutan, berkonflik dengan manusia, masyarakat tidak segan membunuh, walaupun bertemu orangutan itu mungkin tidak begitu menakutkan seperti ketika bertemu dengan harimau. Tapi, tetap saja kan dibunuh juga,” katanya.

Sejauh ini ada lima spesies badak yang masih tersisa di dunia dan berada dalam posisi rawan terhadap perdagangan satwa liar ilegal.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved