Menelusuri Badak Sumatera di Borneo

Ancaman Kerusakan Habitat dan Pemburu yang Berdalih Cari Gaharu

Temuan World Wild Fund (WWF) Kaltim di Kabupaten Kutai Barat ini menjadi harapan baru bagi konservasi badak Sumatra

Editor: Sumarsono
TribunKaltim/M WIKAN H
Tim survei WWF saat memperlihatkan hasil foto badak Sumatera di Kalimantan yang diperoleh dari kamera jebak 

TRIBUN KALTIM - DALAM pembukaan Asian Rhino Range States Meeting 2013 di Lampung, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengumumkan penemuan badak Sumatra di Kalimantan Timur

Temuan World Wild Fund (WWF) Kaltim di Kabupaten Kutai Barat ini menjadi harapan baru bagi konservasi badak Sumatra, yang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) ditetapkan berstatus critically endangered (kritis) alias ditubirkepunahan.

WWF Kaltim telah mengunggah video penemuan badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di Kaltim, tapi tidak lokasinya.

Informasi yang dirilis WWF hanya menyebutkan badak tersebut ditemukan di Kabupaten Kutai Barat. Diketahui, luas kabupaten ini  31.628,70 km persegi atau sekitar 15 persen dari luas provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Lokasi temuan itu bukan tidak sengaja dirahasiakan. Tujuannya untuk melindungi badak dari incaran para pemburu.

Maklum, hewan ini banyak diincar culanya. Sementara itu, WWF perlu waktu untuk menyiapkan survei yang komprehensif.

Satu tahun berlalu sejak penemuan itu, barulah dimulai survei yang lebih besar. WWF menginisiasi survei dengan melibatkan beberapa pihak, yakni Rhino Patrol Unit/RPU (Taman Nasional Gunung Leuser-Aceh dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan-Lampung), Forum Konservasi Leuser/FKL-Aceh, Taman Nasional Ujung Kulon dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim yang diundang langsung oleh Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Sementara WWF Kalimantan Tengah, WWF Kalimantan Barat, Pemerintah Daerah Kubar dan Mahakam Ulu (yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kubar) serta masyarakat diundang WWF Kaltim (site project Kubar).

“Seluruhnya ada sekitar 30 orang yang terbagi menjadi lima tim (A, B, C, D, dan E). Semua yang diundang dan terlibat dalam survei ini bukan orang sembarang, dapat dikatakan mereka semua adalah ahli dan profesional khusus untuk konservasi badak di Indonesia,” ujar Wiwin Effendi, Koordinator WWF Indonesia Kalimantan Timur kepada Tribun, Juli lalu.

Untuk melindungi lokasi badak, ujar Wiwin, seluruh personel yang terlibat dalam survei juga telah sepakat tidak memberitahukan lokasi keberadaan badak secara detil kepada siapapun.

“Sebenarnya mereka juga mengerti walau tanpa harus dikasih tahu karena ini kebutuhan konservasi dan bukan komersil,” ujar Wiwin.

Survei ini diharapkan dapat mengungkapkan setidaknya besaran populasi badak, karakteristiknya, yang penting untuk strategi konservasi ke depannya.

“Strategi ini yang paling penting. Harapan lainnya adalah masyarakat luas menjadi lebih sadar akan pentingnya konservasi badak, yang mana dengan menyelamatkan badak maka akan menyelamatkan hutan yang luas dan sudah barang tentu jenis-jenis satwa liar lainnya,” kata Wiwin.

Hasil survei itu masih belum dipublikasikan hingga Juli ini.

Menurut Wiwin, WWF masih harus berembug dengan para stakeholder, termasuk Kementerian Kehutanan. Namun, Wiwin membocorkan informasi soal pemburu gelap.

Fakta bahwa cula badak adalah salah satu komoditas yang laku di pasar gelap, kata Wiwin, jelas-jelas mengancam kelestarian hewan ini.

Meski WWF dan seluruh pihak yang terkait telah menyembunyikan detail lokasi, tapi para pemburu sudah mulai datang. World Wild Fund (WWF) Kaltim menemukan beberapa pemburu yang datang dengan beberapa modus.

“Dari logat gaya bicaranya dan pengakuan mereka sendiri, mereka berasal dari Sumatera. Sebenarnya, mereka adalah satu kelompok, tetapi kemudian terpisah-pisah.

Alasannya macam-macam. Katanya cari gaharu, cari sarang burung, tapi ujung-ujungnya tetap tanya badak,” kata Wiwin.

Tim WWF pernah berusaha mengikuti kawanan tersebut. Sayangnya upaya ini gagal lantaran kehilangan jejak ketika memasuki Samarinda, ibukota Provinsi Kaltim.

Rustam, Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan, Laboratorium Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati, Universitas Mulawarman, punya kisah lain.

Ketika pihaknya menerima informasi ada badak yang tertabrak truk logging di tahun 2002, hanya dalam jangka waktu satu bulan, sudah tak ada lagi sisa dari bagian tubuh badak tersebut.

“Satu bulan kemudian kami baru sempat menuju lokasi tersebut. Namun, kami tanya ke sana kemari, sudah tak ada lagi bagian tubuhnya. Semuanya sudah laku dijual.

Padahal, sebenarnya belum ada penelitian yang secara resmi menyatakan manfaat dari bagian-bagian tubuh badak ini. Lebih kepada pengetahuan jaman dulu,” katanya.

Rentannya badak dari perburuan makin besar akibat kebiasaan hewan ini.

MacKinnon dalam bukunya Seri Ekologi Indonesia Buku ke-3, Ekologi Kalimantan, menyebutkan salah satu kebiasaan badak, yaitu berkubang, justru menjadikannya sangat mudah dijebak.

Masih ada ancaman lainnya, yakni kerusakan habitat.

Menurut Agung Nugroho, Kepala Seksi Pembinaan Populasi dan Habitat Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Kehutanan, ketika habitat satwa semakin sempit, pada akhirnya mereka (satwa) juga akan keluar dari hutan dan kemudian berkonflik dengan masyarakat.

“Seperti kasusnya dengan orangutan. Ketika satwa keluar hutan, berkonflik dengan manusia, masyarakat tidak segan membunuh, walaupun bertemu orangutan itu mungkin tidak begitu menakutkan seperti ketika bertemu dengan harimau. Tapi, tetap saja kan dibunuh juga,” katanya.

Sejauh ini ada lima spesies badak yang masih tersisa di dunia dan berada dalam posisi rawan terhadap perdagangan satwa liar ilegal.

Lima spesies badak yang tersisa berdasarkan publikasi TRAFFIC, sebuah organisasi non-pemerintah yang memantau lalu lintas perdagangan satwa liar dan tanaman untuk konservasi keanekaragaman hayati yang berpusat di Cambridge, Inggris,  adalah badak hitam dan putih di Afrika, sedangkan di Asia ada badak Jawa, Sumatra, dan Indian.

Kedua jenis badak di Afrika jumlah populasinya tidak lebih dari 25.000 ekor sementara di Asia jumlahnya kurang dari 4.000 ekor saja.

Global Communications Coordinator TRAFFIC , Dr. Richard Thomas, melalui surat elektroniknya kepada Tribun menyatakan bahwa populasi badak di Kalimantan yang masih bertahan hidup hingga saat ini sangat kecil.

Oleh karena itu setiap tindakan pencegahan harus dilakukan untuk tetap merahasiakan lokasi keberadaannya,  kecuali bagi pejabat yang berwenang.

Salah satu negara tetangga di kawasan Asia Tenggara yang tercatat mempunyai spesies badak adalah Vietnam. Sayangnya, badak terakhir di negara itu telah mati dibunuh hanya untuk mendapatkan culanya pada 2009.

“Keberadaan populasi badak Jawa yang sangat kecil diketahui ada di Taman Nasional Cat Tien (Vietnam).

Sayangnya, hewan terakhir ditemukan tewas, dibunuh untuk mendapatkan culanya tahun 2009 lalu. Karenanya sub-spesies tersebut dinyatakan punah,” ungkap Richard.

Kisah serupa juga dialami pula badak-badak di Afrika Selatan.

Menurut Richard, belum lama ini Departemen Lingkungan setempat melansir data terbaru terkait perburuan badak.

Sedikitnya 558 ekor badak mati di negara tersebut selama kurun waktu 2014--351 di antaranya di taman nasional yaitu Kruger National Park. 

“Tahun 2014 tampaknya akan lebih buruk daripada 2013 dengan catatan perburuan 1.004 ekor badak di Afrika Selatan,” tegasnya. Bagaimana di Kalimantan?  (AMALIA HUSNUL A'ROFIATI)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved