Berita Eksklusif
Ini Pengakuan Penyandang Tunanetra: Dulu Bisa Makan Ikan, Sekarang Tempe Saja
Apalagi sudah lama, tiga tahun belakangan, organisasi yang dia pimpin tidak lagi mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Penulis: Cornel Dimas Satrio Kusbiananto |
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Seorang tukang pijat berwajah lusuh. Kedua mata yang tak dapat melihat, tampak bersantai di kediamannya, Jalan MT Haryono, Kompleks Dinsos Balikpapan, Jumat (15/4/2016).
Pria tersebut merupakan ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Balikpapan, Salman Hakim.
Raut mukanya kusut. Sehari-hari ia mencari nafkah dengan profesi sebagai tukan pijat untuk menghidupi keluarga, dua anak dan seroang istri, lantaran tidak ada penghasilan menetap.
Apalagi sudah lama, tiga tahun belakangan, organisasi yang dia pimpin tidak lagi mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Persoalan makin runyam, dan hidup semakin getir, lantaran pasien pijat dari hari ke hari semakin sepi. Penghasilannya pun merosot.
Sebelum ekonomi carut-marut, Salman biasanya nelayani pasien paling banyak tiga orang dalam sehari. Namun kini satu pun pasien sulit didapatkan dalam sehari.
Baca: Tiga Tahun Tidak Dapat Bantuan, Kaum Difabel Kembali ke Jalanan
Bahkan beberapa pasien ada juga yang yang menghubunginya dan bercerita mengenai statusnya pengangguran, tak bekerja lagi karena terkena putusan hubungan kerja atau sebab lain.
Sebelumnya, pasien langganannya rata-rata bekerja di tambang batu bara dan minyak.
Pendapatan Salman yang sebelumnya bisa mencapai 3 juta per bulan, sekarang paling banter sekitar 1,5 juta per bulan.
"Ya itu dikelola dengan baik. Mungkin kalau dulu kita bisa makan ikan, sekarang makan tempe aja. Tapi tetap bersyukur. Ada pasien yang pernah telepon saya cuma bilang maaf tidak bisa datang untuk pijat lagi karena dia sudah di PHK dan tidak punya pekerjaan lagi," ucap Salman.
Maret tahun 2015, seorang laki-laki ‘si raja tega’ menipu Salman. Saat hendak menarik uang dari mesin ATM, Salman meminta bantuan laki-laki tak dikenalinya di dalam bilik ATM, untuk memencet nomor PIN ATM-nya.
Rupanya pria itu penjahat, dan membawa kabur ATM, setelah PIN dihapalnya dari ucapan Salman. Saldo tabungan sebesar Rp 1.950.000 pun ditarik habis si penjahat. Belakangan para dermawan mengulurkan solidaritas menyumbangnya.
Baca: Hebat, Anak-anak Difabel Ini Main Musik di Orkestra, Bagaimana Mengajarinya?
Sejak sepinya pasien dan tidak mengalirnya bantuan, beberapa anggotanya kini kembali ke jalanan untuk mengemis.
Dari 58 anggota, sekitar 12 orang yang kembali mengemis. Salman tak bisa berbuat apa-apa, melarang pilihan anggotanya itu.
Pasalnya mereka juga butuh mencari sesuap nasi. Beberapa temannya juga ada yang pernah curhat, dulu mengemis bisa dapat 150 ribu, kini hanya bisa dapat 60 ribu per hari.
Sehari-hari, Salman juga mengaku tak pernah mendapatkan bantuan keluarga miskin (gakin) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Padahal kriterianya, Salman termasuk dalam gakin. Saat itu Salman pernah mempertanyakan gakin ke kelurahan, di wilayah permukimannya.
Namun pihak kelurahan menolaknya lantaran Salman dianggap sudah mampu dan sering dibantu pihak lain. Salman dianggap memiliki televisi, ponsel, kulkas, yang dikategorikan bukan keluarga miskin.
"Yang ngomong orang kelurahan: kamu harus bersyukur punya televisi dan ponsel . Masih banyak orang yang lebih miskin daripada kamu. Padahal saya menyayangkan itu orang yang pakai motor, dan pakai emas malah dapat bantuan. Saya saja TV dikasih orang, itu TV rusak tapi saya perbaiki. Kulkas bekas juga saya dikasih orang. Saya tidak pernah beli itu," ungkapnya.
Padahal bantuan-bantuan tersebut sangat penting untuk kebutuhan masyarakat kurang mampu. Organisasi abal-abal, maupun LSM nyatanya tak pernah absen mendapatkan bantuan. Sementara bantuan sosial tidak mengalir ke orang yang membutuhkan.
Ia menganggap hal itu selalu terjadi karena orang dengan keterbatasan fisik, jarang mendapatkan kedekatan dengan para petinggi negeri ini.
"Kalau orang dekat pasti dapat. Kita ini tidak bisa melihat, tidak bisa punya kedekatan dengan para pengambil keputusan. Kita ini gak bisa apa-apa. Mereka dukungannya dewan, kita ini gak tahu dukungannya siapa," ungkap Salman yang selalu mengoptimalkan indera pendengaran dalam berinteraksi itu.
Bantuan Terhenti
Pertuni Balikpapan tidak mendapatkan bantuan sosial selama tiga tahun belakangan ini.
Ketua Pertuni Balikpapan Salman Hakim membenarkan hal itu. Bahkan untuk tiga tahun berikutnya, bantuan sosial tak akan mengalir ke Pertuni. Pokok permasalahannya, sepele, Pertuni Balikpapan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang notabene menjadi salah satu syarat mendapatkan bantuan.
"Dulu kita mau buat NPWP, katanya orang Dinas Sosial gak usah dibuat. Biar kami yang bertanggungjawab. Ya udah ternyata memang tidak bisa keluar dananya, sekarang sudah hangus. Baru-baru ini kita sudah urus NPWP, tapi ternyata 3 tahun berikutnya baru bisa berlaku," ungkap.
Bantuan senilai Rp 50 juta per tahun itu akhirnya hangus. Padahal bantuan tersebut sangat penting untuk keperluan organisasi semisal operasional rapat, konsumsi, pengadaan kop surat, amplop, dan lainnya.
Pertuni rutin menerima bantuan sosial dari Pemkot Balikpapan sejak tahun 2008. Saat itu bantuan masih senilai Rp 35 juta per tahun.
Salman berujar bantuan tersebut biasanya dialokasikan untuk kebutuhan penunjang anggota Pertuni. Pemkot juga pernah membantu Pertuni melalui pelatihan urut, ranjang, dan kasur.
"Dari pemkot kita dibekali ilmu. Tiap tahun itu ada. Setiap uang itu cair kita tanyakan keperluannya anggota untuk pijat apa? Misalnya kipas angin, minyak, handbody, dan lemari. Ini yang diutamakan adalah anggota yang hampir semuanya buka jasa pijat. Kalau ada uang itu, teman-teman terpenuhi kebutuhan kerjanya," katanya.
Saat ini Pertuni tidak memiliki dana. Para anggota hanya bergantung dari jasa pijatnya masing-masing. Tak jarang mereka keluar uang sendiri untuk membiayai keperluan organisasi.
Tahun ini Pertuni mendapatkan bantuan dari salah satu komunitas ekspatriat senilai Rp 55 juta. Bantuan tersebut dikhususkan untuk menyewa tempat khusus pijat (panti pijat) Pertuni.
Salman bersyuykur dengan bantuan tersebut, namun itu belum cukup menutupi kekhawatirannya. Biaya sewa tempat itu hanya berlaku satu tahun, sedangkan untuk depan, pihaknya tak mendapatkan lagi bantuan. Ia berharap pemerintah bisa menyediakan wadah khusus bagi Pertuni untuk berkegiatan.
"Sewa 55 juta per tahun dibantu. Selesai itu kita harus nyambung sewa lagi, tapi dengan catatan tidak mendapat bantuan lagi. Inikan sulit karena tidak mungkin penghasilan kita dalam setahun itu sanggup sampai 55 juta. Kita inginnya kalau bisa pemerintah memberikan wadah yang permanen untuk kami, supaya tidak terbebani operasional," kata dia. (*)