Berita Eksklusif
Tiga Tahun Tidak Dapat Bantuan, Kaum Difabel Kembali ke Jalanan
Turun ke jalan sebagai pengemis menjadi jalan keluar menghadapi situasi.
Penulis: tribunkaltim |
Laporan wartawan Tribun Kaltim, Muhammad Alidona, Cornel Dimas Satrio, Muhammad Afridho Septian, dan Siti Zubaidah
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Jalan hidup kalangan orang yang memiliki keterbatasan fisik (difabel) semakin berat.
Turun ke jalan sebagai pengemis menjadi jalan keluar menghadapi situasi. Sokongan dari penyandang dana sangat minim, dan berkurang dari waktu ke waktu. Sedangkan bantuan dari pemerintah sudah bertahun-tahun tidak ada.
Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Balikpapan Salman Hakim mengatakan, sebagian anggota organisasi yang dipimpinnya kini menjadi pengemis di jalanan untuk meminta-minta uang dari para dermawan.
"Sudah ada 20 persen anggota yang turun ke jalan. Ya kita bilang saja hati-hati, banyak satpol PP. Dengan ada kegiatan panti, mereka nggak mungkin turun sampai mengemis. Bikin capek. Cuma tuntutan sesuap nasi aja. Saya sendiri, kalau anak saya lapar, nggak mungkin saya diam saja. Hidup ini berat," ujar Salman kepada harian Tribun Kaltim dan online TribunKaltim.co.
Berdasarkan data yang diperoleh Disnakersos Balikpapan, ada sejumlah 1.231 orang anak-anak dan usia lanjut hidup di bawah perlindungan panti.
Baca: Hebat, Anak-anak Difabel Ini Main Musik di Orkestra, Bagaimana Mengajarinya?
Sebanyak dalam asuhan 58 orang di antaranya usia lanjut dan tinggal pada tiga panti jompo atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKSLU). Adapun 1.173 anak-anak ditampung 29 panti asuhan. (Lihat grafik)
Kondisi memprihatinkan pun tampak di lembaga kesejahteraan sosial, Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Abadi yang terletak di RT 38 Kelurahan Sepinggan Baru, Balikpapan Selatan. Sudah sejak tahun 2012, anggaran bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Kota Balikpapan untuk panti werda terhenti.
Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Abadi Balikpapan, Rahman menjelaskan, selama bantuan sosial tersebut berhenti hanya berasal dari bantuan masyarakat atau badan usaha di Balikpapan.
“Kami berharap ada bantuan sosial lagi dari Pemkot, sejak tahun 2012 sampai 2016 bantuan sosial sebesar Rp 7 juta per tahun tidak ada lagi. Saya sudah coba masukan proposal, tapi tidak ada berita, saya tanyakan ke dinas sosial katanya tidak ada anggaran,“ kata Rahman.
Sedikitnya ada 18 orang lanjut usia (lansia) yang menghuni panti jompo tersebut. Para lansia terdiri atas 10 laki-laki dan 8 perempuan. Dari seluruhnya, hanya 8 lansia yang mempunyai keluarga, sedangkan sisanya sudah tidak memiliki sanak saudara.
Baca: BREAKING NEWS -- Sidak ke Panti Jompo Komisi IV Temukan Fakta Mencengangkan
“Lansia itu, ada yang diantar oleh tetangganya karena mereka sudah tidak bisa lagi menampung untuk mengurusnya, mereka dilengkapi surat RT, Lurah, Camat sampai rekomendasi dari dinas sosial yang menyatakan jika betul-betul telantar, sedangkan lainnya ada juga yang merupakan hasil razia Satpol PP,“ katanya
Rahman menyebutkan, dalam satu bulan panti harus menyediakan anggaran minimal Rp 15 juta, untuk mencukupi kebutuhan 18 orang lansia, termasuk 5 pekerja. Nilai ini belum termasuk biaya tidak terduga lainnya.
“Untuk biaya pekerja saja sudah Rp 5 juta, belum untuk biaya makan sehari – hari, biaya perawatan dan biaya pemakaman apabila ada yang meninggal,“ imbuhnya.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunas Bangsa nasibnya lebih baik. Namun SLB belum mendapatkan bantuan dana sosial dari Pemkot Balikpapan tahun 2016, hingga Jumat (15/4/2016).
Padahal SLB yang beralamat Jalan Kutilang RSS Damai III Gunung Bahagia, Balikpapan itu butuh pembangunan infrastruktur bagi penyandang disabilitas.
Wakil Kepala SLB Tunas Bangsa, Susan menuturkan sejak tahun 2012 -2015 pihaknya rutin mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA).
Bantuan tersebut nominalnya menurun dari tahun ke tahun, yang sebelumnya bisa mencapai Rp 100 juta, belakangan ini diberikan hanya Rp 87,5 juta.
Dana tersebut harus dibagi berdasarkan tingkatan sekolah, SD, SMP, dan SMA yang ada di bawah Yayasan Tunas Bangsa.
"Bantuan rutin itu (selain BOSDA) tidak ada. Terkadang ada acara dan kunjungan mereka bawa bantuan itu kan sifatnya temporer," kata Susan ketika dijumpai di sekolahnya.
Tahun lalu, pihaknya pernah menerima bantuan sarana prasarana dari Pemkot Balikpapan. Untuk SMP Rp 14 juta yang pembayarannya secara bertahap 7 juta, dua kali bayar, dan SMA Rp 25 juta, dengan pembayaran tahap pertama Rp 15 juta dan keduaRp 10 juta.
Kendati demikian, Susan mengaku bantuan tersebut tak mampu mencukupi biaya pembangunan infrastruktur bagi penyandang disabilitas.
Pasalnya bantuan-bantuan tersebut hanya cukup mengcover operasional sekolah dan kebutuhan siswanya tiap bulan.
Baca: Penumpang Penyandang Disabilitas Boleh Naik Lift
Dana Bansos
Menanggapi mengenai terhentinya dana bantuan sosial bagi yayasan sosial khususnya panti jompo dan panti asuhan, Ketua Komisi IV DPRD Kota Balikpapan, Ida Prahastuty menegaskan sesuai dengan undang-undang, dana hibah dan bansos tidak bisa diberikan secara berkesinambungan.
Kalau ada pencairan, diberikan secara berkala. Sayangnya, hibah dan bansos ini terkendala dalam sistem pelaporannya.
“Undang-undang hibah dan bansos itu memang tidak bisa terus-menerus,“ kata Ida Prahastuty.
Hibah itu dalam bentuk barang. Misalnya tahun 2012 tidak dapat, 2013 boleh dapat, demikain seterusnya. Untuk Panti jompo Tresna Werdha Sepinggan, pada tahun 2013 lalu dapat bantuan berupa ranjang, tahun 2014 tidak dapat dan harusnya tahun 2015 dapat.
“Namun sayangnya terkendala dalam sistem pelaporannya,” kata Ida.
Ida mengimbau seluruh lembaga–lembaga sosial yang mendapatkan hibah dan bantuan sosial untuk lebih konsentrasi terhadap sistem pelaporan sehingga tidak menjadi kendala dalam penerimaan hibah dan bantuan social di tahun berikutnya.
Selain di Balikpapan, pengelola panti sosial di Kota Samarinda pun mengalami nasib serupa. Di Kota Tepian ada sekitar 22 panti asuhan.
Namun sejauh ini, hanya panti jompo di Jalan Mayjen Sutoyo dengan sekitar 125 orang lansia (lanjut usia), yang disebut lembaga aktif oleh pemerintah.
“Untuk panti asuhan terdaftar ada 31 panti, tapi hanya 22 panti yang aktif, jumlah orangnya variasi, yang jelas istilahnya tidak sama disetiap panti. Tergantung kemampuan pembiayaan panti,” ujar Staf Dinas Kesejahteraan Sosial (Disnakersos) Saryata.
Menurut dia, defisitnya anggaran di Pemkot Samarinda, membuat Dinas Kesejahteraan Sosial (Disnakersos) tidak kebagian dan, dan berimbas pada operasional Panti.
"Kalau bantuan dari donatur langsung datang sendiri ke panti-pantinya, tidak pernah melalui Pemkot. Untuk laporannya mengenai bantuan tidak ada, itu kan interen dari panti, kami tidak mau tahu juga," kata Saryata. (*)