Berita Eksklusif

Pertumbuhan Ekonomi Merosot, Pengusaha Alat Berat Akhirnya Turun ke Sawah

Tetapi itu biasa. Maklum saja karena usaha tambang itu sama seperti bisnis kayu. Sifatnya gali, tebang dan dapat.

Penulis: tribunkaltim |
TRIBUN KALTIM/DOAN PARDEDE
Ilustrasi - Pertanian 

Laporan wartawan Tribun Kaltim, Anjas Pratama dan Rafan Dwinanto

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Anjloknya ekonomi sektor pertambangan batu bara dan migas di Kaltim dua tahun belakangan ini membuat sejumlah pengusaha banting setir sektor lain, seperti pertanian dan perkebunan atau biasa disebut ekonomi hijau.

Herry Johanes misalnya. Sekretaris DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltara yang juga pengusaha alat berat itu kini beralih menjadi pengusaha pencetakan sawah serta budidaya perkebunan kelapa sawit.

"Awalnya saya profesional, bekerja di perusahaan finance, kemudian mencoba beralih di perusahaan alat berat. Sempat menyewakan beberapa alat berat ke perusahaan tambang. Kini tak lagi dan sekarang kerja di sawah saja," ujarnya, Selasa (26/7/2016).

Meskipun diakui Herry, sektor tersebut bukan sektor unggulan saat ini, sifat masyarakat serta pengusaha diyakininya akan berubah.

"Orang kita itu, sifatnya latah. Kalau pas tambang semua main di tambang. Saat ini kuliner, semua ke kuliner. Nanti akan ada saatnya juga semua ke ekonomi hijau. Tak semua menerima, karena ada yang gampang, ngapain harus susah-susah," tuturnya.

Tetapi itu biasa. Maklum saja karena usaha tambang itu sama seperti bisnis kayu. Sifatnya gali, tebang dan dapat.

Sebelum gali, pengusaha sudah dapat melakukan pengukuran dan survei terkait potensi pendapatannya. "Tetapi kalau kerja seperti kami ini, waktunya panjang. Tak bisa langsung diketahui keuntungannya," ujarnya.

Baca: OJK Minta Pemda Jangan Lagi Andalkan Pertambangan Batubara

Usaha ekonomi hijau ini pun sudah ditekuninya selama beberapa tahun terakhir. "Saya tak main tambang, tetapi kebun sawit. Tidak terlalu banyak ke tambang. Dahulu ada rental-rental untuk ke tambang, sekarang saya kerja sawah. Seperti yang saya lakukan di Kalsel. Lahan sawit tak hanya ditujukan untuk tanaman sawit saja, tetapi juga bisa untuk budidaya ikan. Kami buat kanal dan tanggul pada lekukan lahan-lahan sawit, yang kemudian kami budidayakan ikan papuyu dan gabus. Awal bulan depan sudah kami aplikasikan," kata Herry.

Tak hanya itu, di Bulungan dan Malinau, ia pun kini sudah mulai bergerak dalam pengadaan sawah seluas 1.000 hektare, yang bekerja sama dengan pemerintah (TNI AD).

Selain itu, meskipun masih dalam tahapan, Herry sudah akan menggagas pemanfaatan sampah beku organik dan pemanfaatan lubang eks tambang sebagai pengusahaan baru dalam sektor hijau tersebut.

Inovasi-inovasi seperti itulah yang diharapkannya bisa dilakukan para pengusaha tambang/ batu bara jika nantinya beralih ke sektor pengusahaan ekonomi hijau.

Baca: Kabupaten Hasil Pemekaran Ini Tegas Menolak Pertambangan dan Perkebunan

Kaltim 20 Tahun
"Kalau mau tahu bagaimana Kaltim ke depan baca buku ini. Semua program dan rencana Gubernur ada. Memang program Awang itu tak ada yang dicapai dalam waktu sebentar, tetapi waktunya panjang, 10 tahun hingga 20 tahun baru terasa," Demikian ungkapan Gubenur Kaltim Awang Faroek Ishak kepada wartawan, belum lama ini.

Sebuah buku bersampul plastik diberikan kepada para jurnalis saat itu. Penulisnya Gubernur Awang sendiri dibantu Sekretaris Daerah Rusmadi, dan beberapa nama lain, seperti Daddy Ruhiyat dan Bohari Yusuf.

"Visi Kaltim 2030, Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang Berkeadilan dan Berkelanjutan", judul buku itu. Pemikiran kebijakan transformasi ekonomi Kaltim pasca migas dan batu bara dituangkan dalam buku tersebut.

Bukan tanpa alasan Gubernur Kaltim melakukan transformasi ekonomi di daerah kaya migas dan batu bara.

Komoditi yang terancam habis serta harga yang tidak sustainable menjadi penyebabnya.

Hal ini juga tercermin dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kaltim yang terus merosot tiap tahunnya akibat anjloknya komoditi migas dan batu bara tersebut.

Di 2012, LPE Kaltim berada di posisi 5, 26 persen, 2013 merosot pertumbuhannya ke 2, 25 persen. Tahun berikutnya, LPE juga tak menunjukkan perbaikan ekonomi dan akhirnya merosot minus -1, 28 persen pada 2015.

"Jika pada beberapa tahun sebelumnya LPE Kaltim tumbuh, meskipun tak banyak, tetapi 2015 perkembangannya negatif," ujar Syahril, petugas BPS Kaltim, Senin (18/7/2016).

Merosotnya LPE tersebut tak lepas dari merosotnya Produk Domestik Regional Bruto sektor pertambangan.

Sejalan dengan LPE Kaltim yang merosot, penguasaan ekonomi dalam sektor itu, ikut juga turun, yakni dari 57, 11 persen pada 2012 turun 55, 21 persen 2013, hingga akhirnya berada di angka 44, 91 persen pada 2015.

Sayangnya turunnya, persentase ekonomi sektor pertambangan tak dibarengi peningkatan sektor-sektor lain yang diharap mampu menjadi pengganti cooling down-nya sektor migas dan batu bara.

Hal ini terlihat dari sektor industri yang menjadi peringkat kedua penopang ekonomi Kaltim.

Sejak 2012 hingga 2015, kenaikan sektor tersebut tak pernah melebihi 5 persen.

Sementara sektor hijau, yakni pertanian, kehutanan dan perikanan yang digadang-gadang menjadi sektor baru sekaligus solusi ekonomi Kaltim, justru persentasenya tak pernah sampai 10 persen selama 5 tahun terakhir.

Baca: Wah, Baru 25 Persen Lahan Pertanian Kaltim yang Dioptimalkan

Kendala Infrastruktur
Mantan Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kaltim yang kini menjabat Kepala Disperindangkop dan UMKM Kaltim M Sabani pernah menjelaskan terkait pemerosotan ekonomi di Kaltim.

Selain itu, alasan belum bertopangnya Kaltim pada program-program yang dicanangkan juga ikut disampaikan.

"Semua orang ingin cepat selesai, tetapi realitanya tidak begitu. Prospeknya bagus, tetapi mencari investasi tak mudah. Contohnya investasi di Buluminung, secara angka sudah ada tetapi realita lapangannya baru melanjutkan pelabuhan yang dibangun. Selain itu infrastruktur. Di Maloy, listrik belum tersedia, kalau berinvestasi dari mana? Siapa yang bisa menyiapkan listrik jika skalanya besar," katanya.

Minimnya infrastruktur tersebut inilah yang membuat kalangan pengusaha terkesan ogah memulai usaha bidang ekonomi hijau.

Banyaknya pengusaha yang bukan orang Kaltim serta minimnya infrastruktur menjadi sebab.

"Sekarang begini, banyak pengusaha tambang yang bukan orang Kaltim. Jika diminta pindah ke ekonomi hijau, mereka tak mau karena bisa untung jangka waktunya lama. Beda dengan tambang. Selain itu, ekonomi hijau itu juga perlu akses ke gudang penyimpanan serta jalan, tetapi infrastrukturnya masih belum siap. Ini yang membuat belum banyak pelaku usaha di sektor hijau," kata Slamet Brotosiswoyo, Ketua Apindo Kaltim. (*)

***

Perbarui informasi terkini, unik, dan menarik melalui medsos.

Join BBM Channel, invite PIN BBM C003408F9, Like fan page Facebook TribunKaltim.co, follow Twitter @tribunkaltim serta tonton video streaming Youtube TribunKaltim


Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved