Kolom Rehat
Tempat Tergelap di Neraka
Implikasi jumlah populasi berdasarkan penghitungan progresi geometis itu adalah ledakan jumlah penduduk yang mengerikan.
oleh ARIF ER RACHMAN
"Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral pada saat krisis moral."
- Bertrand Zobrist
LELAKI itu adalah ilmuwan brilian yang juga miliuner asal Swiss. Tubuhnya jangkung. Matanya hijau dan suaranya tajam.
Usianya akhir 30-an atau awal 40-an. Dan ia bersedia menjadi martir untuk menyelamatkan kelangsungsan hidup ras umat manusia yang dianggapnya sedang berada di ambang kepunahan akibat kelebihan penduduk atau overpopulasi.
Soal overpopulasi ini bukan persoalan sepele.
Badan Kesehatan PBB, WHO, pun memberi perhatian serius pada persoalan ini dengan berbagai cara, di antaranya dengan menghabiskan jutaan dollar untuk mengirim para dokter ke Afrika, membagikan kondom gratis sambil terus mendidik warga mengenai pengendalian kelahiran.
Coba bayangkan, menurut ilmuwan di atas, pada awal tahun 1800 jumlah manusia tercatat mencapai satu miliar jiwa.
Artinya butuh ribuan tahun sejak manusia ada di muka bumi untukmencapai jumlah satu miliar. Lalu secara menakjubkan, hanya dalam waktu sekitar 120 tahun, pupulasi manusia mencapai dua kali lipatnya pada 1920-an. Dan kemudian hanya dalam waktu 50 tahun, penduduk bumi telah mencapai empat miliar pada 1970-an.
Sebentar lagi penduduk dunia mencapai delapan miliar, dan PBB telah meningkatkan prediksinya dengan memperkirakan jumlah manusia akan mencapai sembilan miliar sebelum 2050.
Bagaimana dengan seratus tahun ke depan?
Implikasi jumlah populasi berdasarkan penghitungan progresi geometis itu adalah ledakan jumlah penduduk yang mengerikan.
Hal ini diperparah dengan kemungkinan spesies hewan akan punah dengan tingkat percepatan yang dramatis.
Sumber daya alam semakin merosot, langka, dan mahal. Air bersih semakin sukar didapatkan.
Overpopulasi, diyakini lelaki bermata hijau itu, adalah masalah kesehatan global terbesar saat ini.
Overpopulasi akan mempengaruhi jiwa manusia: mereka yang tidak pernah berpikir mencuri, akan mencuri untuk menghidupi keluarganya. Yang tidak terlintas di pikirannya untuk membunuh, akan membunuh untuk mempertahankan diri. Semua dosa besar akan dilakukan: pencurian, pembunuhan, pengkhianatan, dan lainnya.
Kita, kata lelaki itu, di ambang krisis moral dan spiritual. Dan kini saatnya untuk bertindak, karena orang yang tetap bersikap netral pada saat krisis moral hanya akan berada di tempat tergelap di neraka.
"Ketika semua tempat di dunia penuh sesak oleh penghuni sehingga mereka tak bisa bertahan hidup di tempat mereka berada dan juga tak bisa pindah ke tempat lain ... Dunia akan membersihkan diri. Dan epidemi wabah adalah cara alami dunia untuk membersihkan dirinya sendiri," kata lelaki itu mengutip Machiavelli.
Karena tak ingin berada di tempat terdalam di neraka, ilmuwan genetika yang kaya raya itu kemudian melakukan tindakan yang dianggapnya sebagai solusi untuk kelangsungan umat manusia.
Ia menciptakan virus vektor dan menyebarkannya hingga mewabah ke seluruh dunia.
Virus itu secara acak bisa memodifikasi DNA yang mengakibatkan sepertiga manusia steril atau mandul.
Dengan demikian pertumbuhan penduduk akan menncapai tingkatan yang lebih stabil.
Virus ini telah menyebar beberapa saat setelah ilmuwan itu terpaksa bunuh diri dan menganggap diri sebagai martir penyelamat manusia.
Syukurlah ilmuwan brilian yang juga 'gila' bernama Bertrand Zobrist ini hanyalah tokoh antogonis dalam novel "Inferno", karya Dan Brown yang namanya meroket setelah menulis novel kosntroversial The Da Vinci Code ini memang fiksi, tapi semua persoalan di dalamnya, terutama soal overpopulasi, adalah persoalan nyata yang harus kita hadapi saat ini.
Dan film adaptasi dari novel tersebut dengan judul yang sama sedang diputar di bioskop-bioskop Indonesia, termasuk Balikpapan, sejak Jumat kemarin.
Begitulah. Selamat berakhir pekan. (*)