Wisata Kaltim Ibarat Mawar Berduri, Semua Destinasi Ada tapi Biayanya Mahal
Pariwisata merupakan sektor potensi ekonomi yang harus digarap secara maksimal. Kaltim kaya akan potensi objek wisata, baik culture (budaya).
Penulis: tribunkaltim |
Laporan wartawan Tribun Kaltim, Rafan A Dwinanto dan Muhammad Afridho Septian
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Masa kejayaan logging (kayu) sudah lama tenggelam.
Disusul belum lama ini emas hitam alias batu bara yang menjadi andalan pundi-pundi pendapatan daerah Kaltim pun tumbang.
Pemprov Kaltim dan beberapa kabupaten/kota yang tergantung sektor tambang kebingungan, karena mengalami defisit anggaran.
Kini saatnya pemerintah daerah melirik sektor lain sebagai sumber pendapatan daerah.
Pariwisata merupakan sektor potensi ekonomi yang harus digarap secara maksimal. Kaltim kaya akan potensi objek wisata, baik culture (budaya), nature (alam), marine (kelautan) maupun objek satwa endemik lainnya.
Di bawah komando baru Syafruddin Pernyata, Dinas Pariwisata Kaltim mulai aktif mencari solusi menjual potensi wisata Kaltim ke luar.
Salah satunya, bersama Bunga Bangsa Society menggelar diskusi bertajuk "Kaltim Menuju Pariwisata Internasional" di Hotel Mesra Internasional, Sabtu (13/5/2017).
Menurut Syafruddin, Kaltim memiliki modal untuk menjadi destinasi wisata internasional.
Bumi Etam dianugerahi sumber daya pariwisata, berupa destinasi eksotis. Wisata alam, budaya, bahari, dan lainnya terkumpul di Kaltim.
"Kalau mau lihat terumbu karang jangan ke Kaltim. Tapi ke Raja Ampat, Wakatobi. Kalau mau wisata sungai ada di Kalsel. Mau ke goa, air terjun, di Jawa banyak. Mau wisata budaya dan sejarah juga di Jawa. Tapi, kalau mau menemukan semuanya di satu tempat, silakan datang ke Kaltim," kata Syafruddin, memulai paparannya.
Meski memiliki spot wisata lengkap, Syafruddin mengibaratkan Kaltim sebagai mawar. Cantik, namun berduri.
Perumpamaan ini dilontarkan Syafruddin melihat sejumlah tantangan yang dihadapi, menuju pariwisata internasional.
Pasalnya, untuk menikmati setiap jengkal keindahan Kaltim, diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
"Mau menikmati budaya dan keindahan alam di Mahakam Ulu, tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu tiga hari dua malam. Perjalanannya jauh dan mahal," katanya.
Begitu pula spot‑spot wisata lainnya, seperti goa purba di Kutai Timur, hingga wisata bahari yang terbentang mulai Kutai Timur, hingga Berau.
"Untuk destinasinya, sudah bisa dikatakan internasional. Tapi, untuk fasilitasnya, belum bisa," ucap Syafruddin.
Destinasi wisata yang paling siap secara infrastruktur di Kaltim, menurut Syafruddin, ada di Kepulauan Derawan, Berau. Pelancong dari dalam dan luar negeri bisa mendarat di Bandara Kalimarau, Berau atau, via Bandara Juwata, Tarakan.
Selanjutnya, turis bisa terbang langsung menuju Pulau Maratua.
"Memang saat ini baru penerbangan carter. Karena bandaranya belum resmi dioperasikan. Tapi, kalau Bandara Maratua sudah beroperasi, pasti luar biasa," katanya lagi.
Namun demikian, Syafruddin juga mengingatkan, salah kelola potensi pariwisata, katanya, Kaltim harus siap gigit jari.
"Pulau Derawan itu kalau dibiarkan, siap‑siap saja jadi masa lalu. Rumah‑rumah makin padat, dan menjorok ke laut. Sama halnya dengan Pesut. Dulu saya kecil selalu lihat Pesut di Pasar Pagi, depan Masjid Raya. Sekarang sudah tak ada. Karena, Sungai Mahakam tak lagi jadi rumah yang nyaman bagi Pesut," urainya.
Konektivitas antar objek wisata, diakui Syafruddin menjadi tantangan utama. Untuk mengatasi persoalan konektifitas tersebut, diperlukan kerjasama antar daerah di Kaltim.
"Jadi, bicara pariwisata itu bukan daerah. Tapi bicara objek. Contoh, orang ke Canopy Bridge di Samboja, Kukar. Kan bukan Kukar saja yang dapat untung, tapi Balikpapan juga dapat. Begitu juga mau lihat Pesut di Kota Bangun, kan harus dari Samarinda dulu," jelasnya.
Kehadiran bandar udara di beberapa destinasi wisata yang sulit dijangkau, juga sangat diperlukan. Pasalnya, kebanyakan wisatawan dipastikan hanya mengunjungi destinasi yang mudah dan murah dijangkau.
"Makanya perlu bandara. Di Maratua sudah ada. Menurut saya di Sangkulirang juga perlu. Karena banyak pantai bagus dan dekat dari goa‑goa bersejarah. Di Paser perlu juga dihidupkan lagi bandaranya, kemudian di Mahulu juga harus ada," kata Syafruddin.
Selain itu, Syafruddin juga mengajak pelaku wisata di Kaltim, jeli melihat objek wisata di sekitarnya.
"Kalau kita mau memasarkan wisata, kita harus berpikir sebagai orang luar Kaltim. Contoh, kapal wisata Sungai Mahakam, orang luar itu terkagum‑kagum lihat sungai sedemikian besar. Tapi, bagi orang Samarinda sendiri, ngapain naik kapal, kaya tidak ada kerjaan saja," tutur Syafruddin sambil tertawa.
Minim Kegiatan
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota Samarinda, H Rustam sempat mengemukakan pendapatnya kepada Tribun tentang kualitas pariwisata Kota Samarinda.
Sebagai salah satu ujung tombak pariwisata, ia kerap mendengar komplain dan celetukan dari para wisatawan, khususnya wisata mancanegara yang menyayangkan banyaknya atraksi namun kurangnya kesadaran menjaga kebersihan.
"Komplain tamu mancanegara itu biasanya masalah sampah. Contohnya saja pelabuhan di Tanjung Isui itu menumpuk sampah karena masyarakat buang sampah di sana. Kemudian Sungai Sangatta, itinerary atau program tur untuk melihat monyet hidung panjang di mangrove juga terkendala sampah. Karena sampah di sungai itu sangat susah hilangnya," tuturnya.
Tak hanya itu, ia pun mengungkapkan sebenarnya pariwisata Kaltim tak kalah dengan daerah‑daerah lain di Indonesia, tenaga ahli membawa turis ke lokasi wisata sangat sedikit.
Uniknya, yang jadi kendala bukan lagi perihal penguasaan bahasa asing, namun tenaga ahli yang lebih memilih bekerja di hotel daripada di lapangan.
"Yang kedua saran saya membuat lembaga pelatihan khusus dan lisensi guide. Karena kalau sudah peak season di bulan Juni sampai September, Amerika, Eropa, dan Australia itu libur tapi yang jadi guide orangnya itu‑itu saja. Kami pada bulan tersebut kekurangan guide," kata Rustam.
Yang ketiga, mungkin orang yang bisa berbahasa Inggris itu banyak, tapi yang bisa mendekatkan turis secara langsung dari mancanegara atau lokal itu sedikit sekali.
Sangat disayangkan, orang pariwisata banyak lari ke hotel.
Rustam juga mengutarakan jika dibandingkan dengan pulau‑pulau di luar Kalimantan, Kaltim juga masih minim event‑event khas.
Berkaca dengan daerah‑daerah kecil seperti Dieng yang menyelenggarakan festival atau Jazz Gunung di Bromo setiap tahunnya, Kaltim seharusnya dapat menyelenggarakan event‑event nasional rutin sebagai media crowd generator atau penarik massa.
"Jujur, aksi pemerintah daerah baru terlihat dalam beberapa tahun ini. Sebelumnya mereka dimanjakan dengan hasil alam. Waktu itu saya juga pernah mengenalkan pemilik Lonely Planet ke Hotel Mesra tapi sayangnya diacuhkan. Padahal itu yang merekomendasi tamu untuk datang kesini. Itu sepuluh tahun yang lalu. Untung kepala dinas sekarang sangat concern dengan hal tersebut," tandasnya. (*)