Derita Warga Pegat Batumbuk, Punya Hunian tanpa Kuburan hingga Melahirkan di Atas Speed Boat

Pun demikian halnya dengan persoalan listrik. Selama puluhan tahun warga di kampung ini merasakan hidup gelap gulita.

Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
Facebook
Proses pengantaran jenazah di kampung Pegat Batumbuk, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. 

Ia bersama rekan-rekannya di Forum Lingkungan Mulawarman (FLIM) melakukan pendampingan terhadap warga setempat pada Program Karbon Hutan Berau (PKHB).

Selama dua tahun berinteraksi dengan warga kampung, banyak hal menarik yang ia temukan di lapangan.

Rekan Fachri, Supriadi Syam, turut menceritakan bahwa persoalan kematian sama repotnya dengan kelahiran.

Ibu-ibu yang hendak melahirkan harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa sampai ke Puskesmas atau Rumah Sakit yang berada di kota Tanjung Redeb. 

Di kampung Pegat tidak ada bidan yang stand by, hanya ada seorang mantri yang kerap mengurusi kesehatan warga.

Bidan terdekat berada di permukiman Batumbuk, lokasinya terpisah oleh gugusan delta. Butuh waktu 1-2 jam untuk bisa sampai ke kampung Pegat.

"Kalau bidan itu dipanggil, tak ada pilihan lain dia juga harus naik transportasi air agar bisa sampai ke Pegat. Nah, ini butuh waktu lumayan lama," ungkap Supriadi.

Mirisnya lagi, tahun lalu ada seorang ibu yang melahirkan di atas speed boat saat menempuh perjalanan menuju rumah sakit.  

"Bayinya lahir kembar. Syukurnya ibu dan anak selamat. Dia hanya didampingi seorang mantri saat di atas speed boat," tutur Supriadi.

Baca: Teripang Seukuran Mobil Innova Ditemukan di Biduk-biduk

Tak hanya soal kematian dan kelahiran, warga di kampung Pegat Batumbuk bertahun-tahun juga merasakan krisis air bersih dan listrik.

"Untuk mendapatkan air bersih, masyarakat harus berebut pada saat musim penghujan. Kalau kemarau tiba, masyarakat terpaksa mengambil air di gunung Padai yang terletak di Desa Pelinjau, juga menggunakan transportasi air jenis Ketinting, menyusuri sungai dan hutan mangrove dengan jarak tempuh 1-2 jam," beber Achmad Fachri.

Facebook
Facebook/Achmad Fachri

Bahkan pernah satu waktu, warga harus merogoh kocek Rp 10.000 untuk mendapatkan 20 liter air bersih dari gunung Padai. Meski ekonomi sulit, mereka tetap membelinya demi bertahan hidup.

Pun demikian halnya dengan persoalan listrik. Selama puluhan tahun warga di kampung ini merasakan hidup gelap gulita.

Barulah beberapa tahun terakhir, masalah ini sedikit terpecahkan.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved