Alamak, Tersinggung Gegara Tak Disebut Yang Terhormat, Anggota DPR Protes Pimpinan KPK

Rupanya, sepanjang pimpinan KPK menjawab pertanyaan dan memaparkan hasil kerja, Arteria menunggu-nunggu dipanggil "Yang Terhormat"

Arteria Dahlan, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP 

 TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Politisi PDI Perjuangan  Arteria Dahlan protes atas sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kali ini bukan soal kinerja KPK, tapi soal tidak adanya sapaan 'Yang Terhormat' untuk dirinya dan anggota DPR lain.

Saat itu, Arteria mengikuti rapat kerja Komisi III dengan pimpinan KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017).

Arteria sebenarnya Anggota Komisi VIII. Namun, ia ditugaskan fraksinya mengikuti rapat kerja di Komisi III.

Ketika diberi kesempatan bicara, Ia memprotes kelima pimpinan KPK yang sejak awal tak memanggil anggota Dewan dengan sebutan "Yang Terhormat".

Rupanya, sepanjang pimpinan KPK menjawab pertanyaan dan memaparkan hasil kerja, Arteria menunggu-nunggu dipanggil "Yang Terhormat".

"Ini mohon maaf ya, saya kok enggak merasa ada suasana kebangsaan di sini. Sejak tadi saya tidak mendengar kelima pimpinan KPK memanggil anggota DPR dengan sebutan 'Yang Terhormat'," ujar Arteria, Senin malam.

Menurut dia, sudah sepantasnya pimpinan KPK memanggil anggota DPR dengan sebutan 'Yang Terhormat' selama rapat.

Bahkan, kata Arteria, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Presiden Joko Widodo juga memanggil anggota DPR dengan sebutan 'Yang Terhormat' sebagai penghormatan.

"Malahan Pak Tito memanggil kita kadang dengan sebutan 'Yang Mulia'. Ini pimpinan KPK sejak tadi enggak ada yang memanggil kita dengan sebutan 'Yang Terhormat'," ucap politisi dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.

Mendengar protes tersebut, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan lantas mengucapkan sebutan 'Yang Terhormat' setiap menjawab pertanyaan dalam rapat tersebut.

"Yang terhormat anggota Dewan," ucap Basaria saat memulai menjawab pertanyaan.

RDP Komisi III Berasa Pansus Angket KPK

Rapat kerja Komisi III DPR yang berlangsung pada Senin (11/9/2017) dan berlanjut Selasa (12/9/2017) menghadirkan dua mitra kerja komisi hukum tersebut, yakni Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kiri), Saut Situmorang (kedua kiri), Basaria Panjaitan (kedua kanan) dan Alexander Marwata (kanan) bersiap mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017). Rapat kerja Komisi III dengan KPK tersebut membahas sistem pengawasan terhadap pengelolaan dan manajemen aset hasil tindak pidana korupsi di lembaga tersebut.(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kiri), Saut Situmorang (kedua kiri), Basaria Panjaitan (kedua kanan) dan Alexander Marwata (kanan) bersiap mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017). Rapat kerja Komisi III dengan KPK tersebut membahas sistem pengawasan terhadap pengelolaan dan manajemen aset hasil tindak pidana korupsi di lembaga tersebut.(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI) 

Rapat kerja dengan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dimulai lebih dulu. Rapat dimulai sekitar pukul 10.00 WIB, dimulai dengan pemaparan dari Jaksa Agung terkait kinerja Korps Adhyaksa.

Namun, dalam pemaparannya Prasetyo banyak menyinggung ihwal kewenangan penuntutan tindak pidana korupsi yang dimiliki kejaksaan, dengan keberadaan KPK.

Alih-alih membahas kinerja kejaksaan dalam beberapa bulan terakhir, rapat justru terpusat pada isu kewenangan penuntutan tindak pidana korupsi yang juga menjadi topik pembahasan di Panitia Khusus Angket KPK.

Opsi pengembalian kewenangan penuntutan tindak pidana korupsi sepenuhnya pada kejaksaan sempat muncul seusai Pansus menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Persatuan Jaksa Indonesia.

Selain dipenuhi pertanyaan mengenai kemungkinan pengembalian kewenangan penuntutan kepada kejaksaan sepenuhnya, para anggota Komisi III DPR juga menanyakan proses operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Kejaksaan Negeri Pamekasan, Madura, Jawa Timur.

Ketua Komisi III Bambang Soesatyo sempat menanyakan apakah kejadian tersebut bisa digolongkan dalam OTT karena ada beberapa pihak yang tidak terlibat namun ikut ditahan.

Menjelang pukul 13.00 WIB, pertanyaan berganti ke kasus penembakan yang dilakukan penyidik senior KPK Novel Baswedan saat masih bertugas sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.

Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, menanyakan apakah kasus tersebut masih layak secara hukum untuk dilanjutkan.

Prasetyo menjawab saat ini kasus tersebut telah dianggap kedaluarsa sehinga disetujui untuk dihentikan. Kendati demikian ia mengetahui keluarga korban memenangi proses praperadilan terkait penghentian kasus yang dilakukan kejaksaan.

"Tapi kalau ada desakan luar biasa saat ini sesuai pertumbuhan situasi dan kondisi, apalagi kalau ada desakan dari DPR kami akan mempertimbangkan lagi," kata Prasetyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017).

Pertanyaan Rapat Kerja yang tak kunjung membahas kinerja Kejaksaan Agung akhirnya disinggung oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Harman.

Menurut dia, semestinya rapat kerja itu fokus membahas evaluasi kinerja kejaksaan, bukan malah mengomentari kinerja lembaga lain dan OTT KPK di Kejaksaan Negeri Pamekasan. [RAKHMAT NUR HAKIM]

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved