Menyayat Hati! Kisah Kasih tak Sampai Kapten Pierre Tendean, Hingga Utang Merayakan Ulang Tahun Ibu
Usianya masih sangat muda saat menjadi korban G30S/PKI, ia juga memiliki paras yang tampan
TRIBUNKALTIM.CO - Pernah mendengar tentang pahlawan revolusi satu ini?
Seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Usianya masih sangat muda saat menjadi korban G30S/PKI, ia juga memiliki paras yang tampan.
Siapa lagi kalau bukan Kapten Pierre Andreas Tendean?
Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution ini memiliki kisah yang amat memilukan.
Pierre, perwira kelahiran 21 Februari 1939 menjadi orang pertama yang menghadapi gerombolan Tjakrabirawa saat mendatangi rumah Jenderal A.H. Nasution.

Bahkan dirinya mengaku sebagai Nasution saat didatangi mereka, hingga akhirnya dibawa ke Lubang Buaya.
Pierre mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan sang Jenderal beserta keluarganya.
Baca: Beri Bantuan Alat Musik, Bupati Canangkan Germas di Long Mesangat
Baca: Hayo, Pakai Jam Tangan di Tangan Kanan atau Kiri? Ini Karaktermu Berdasarkan Pemakaian Jam Tangan
1. Kisah Cinta tak Sampai Sang Perwira Tampan

Kisah pilu lain mengiringi kematian perwira berusia 26 tahun kala itu.
Menjalin kasih dengan seorang wanita dan siap untuk menikah, namun takdir berkata lain.
Pierre tak pernah bisa kembali untuk mengikat janji suci bersama wanita bernama Rukmini, gadis asal Deli, Sumatera Utara.
Rukmini Chaimin adalah putri sulung keluarga Chaimin di Medan. Mereka saling berkenalan ketika Pierre menjadi Komandan Peleton Zeni di Kodam II Sumatera Utara.
Kisah cintanya tak begitu mulus, karena Pierre kemudian mengikuti pendidikan intelijen di Bogor.
Hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship (LDR) mereka lakukan. Saling berkirim surat dengan sang kekasih.
Meskipun ketampanan Pierre tak dapat diragukan, bahkan dirinya pun menjadi idola para wanita sejak di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Tapi Pierre bukan seorang pria tipe playboy.

Baca: Mengejutkan! Istri Sutradara G30S/PKI Ungkapkan Tujuan Film Ini Dibuat
Dalam buku 'Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam', adik bungsu Pierre Tendean Rooswidiati mengatakan Pierre tak mau menggunakan kelebihan fisiknya.
Hanya Rukmini yang membuat Pierre serius dan berlanjut pada lamaran ketika menemani Jendral A.H Nasution berkunjung ke Medan.
Tanggal 31 Juli 1965 menjadi pertemuan terakhir Pierre dan Rukmini. Padahal keduanya merencanakan pernikahan pada November 1965.
Beberapa bulan lagi sebelum akhirnya Pierre harus mati di tangan PKI.
2. Berhutang Merayakan Ulang Tahun Ibu
Kisah lain tentang korban termuda dalam peristiwa G30S ini pernag dituturkan oleh kakanya, Mitzi Farre dan adiknya Ny Roos Jusuf Razak. Dimuat Majalah Intisari edisi September 1989.
Sebelum Pierre pergi untuk selamanya, ia berjanji kembali pulang ke Semarang untuk merayakan ulang tahun sang ibunda.

Berikut ini cerita dari adik Pierre:
Tanggal 30 September adalah hari ulang tahun ibu kami. Beberapa hari sebelum tanggal 30 September 1965, Pierre memberi tahu ia tidak bisa pulang ke Semarang untuk merayakan hari itu bersama seluruh keluarga, karena ia harus bertugas sampai siang hari.
Pierre adalah salah seorang ajudan Jenderal A.H. Nasution. Ia berjanji akan pulang bersama suami saya keesokan harinya, tanggal 1 Oktober.
Tanggal 1 Oktober 1965, ketika suami saya datang menjemput ke rumah Pak Nas di Jl. Teuku Umar, ia heran sekali karena banyak tentara berjaga-jaga.
Suami saya bahkan ditodong dengan senjata ketika memasuki rumah Pak Nas. Pierre tidak ada. Kata salah seorang penjaga, Pierre dan Pak Nas sedang pergi bertugas.
Jadi suami saya pun pulang sendiri ke Semarang. Begitu penuturan Ny. Roos Jusuf Razak, adik Kapten Anumerta Pierre Tendean.
Ternyata hari itu terjadi suatu kudeta oleh PKI, yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Beberapa orang jenderal, dan juga Pierre, menjadi korban keganasan mereka.
Baca: Siapa Sosok Dibalik Penghentian Tayang Film G30S/PKI? Netizen Tanya ke Akun Twitter TNI AU
Berikut ini cerita kakak Pierre, Mitzi.
Sementara itu kami sekeluarga di Semarang tentu saja resah, karena Jenderal Nasution merupakan salah seorang yang diincar oleh manusia-manusia haus darah itu. Saya berusaha mencari informasi ke sana-kemari.
Pada tanggal 2, 3 dan 4 Oktober radio mulai menyiarkan secara lebih jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.
Menurut berita, yang menjadi korban tujuh orang. Salah seorang di antaranya adalah Lettu CPM Pierre Tendean.
Walaupun nama adik saya disebut, saya masih belum yakin 100%, karena adik saya bukan dari CPM, tetapi Zeni.
Tak lama kemudian telepon berdering. Jenderal Suryo Sumpeno mengabarkan Pierre sudah tiada. Meledaklah tangis kami.
Pierre dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.(*)