KPK Jadi Contoh Negara Lain hingga Penghargaan dari PBB, Tapi Ini Yang Membuat La Ode Masih Prihatin

ada satu hal utama yang menjadikan Singapura dan Malaysia selalu tinggi indeks perspesi korupsinya.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief dalam Rapat Kerja bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017)(Rakhmat Nur Hakim/Kompas.com) 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menilai, ada satu hal utama yang menjadikan Singapura dan Malaysia selalu tinggi indeks perspesi korupsinya.

Di kedua negara tetangga tersebut, kata Laode, lembaga pemberantasan korupsinya tak bersifat ad hoc.

"Mengapa selalu Singapura, Malaysia yang tinggi. Bahwa CPIB (Corrupt Practice Investigation Bureau) Singapura dan (Malaysia Anti-Corruption Commission) Malaysia sudah 50 tahun (lebih) dan tak pernah dibilang ad hoc," kata Laode dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Saat ini, lanjut Laode, KPK telah mendapat predikat "best practice" dari PBB yang diwakili oleh United Nation Against Corruption (UNCAC).

Bahkan, kata Laode, saat ini KPK kerap dijadikan contoh oleh negara lain dalam pemberantasan korupsi, terutama dengan keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi (tipikor).

Ia menegaskan, hal itu terjadi karena adanya lembaga khusus dalam memberantas korupsi.

"Dan ditulis di UNCAC, harus ada lembaga khusus untuk memberantas korupsi. Saya pikir itu perlu kita pikirkan," lanjut dia.

Kontraproduktif

Sebelumnya, dalam berbagai wacana publik, kerap dilontarkan gagasan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga ad-hoc dan karenanya bersifat sementara.

Gagasan bahwa KPK bersifat sementara adalah gagasan yang kontraproduktif, karena faktanya korupsi terus menjadi permasalahan yang sangat besar di Indonesia dan kebutuhan akan adanya lembaga independen seperti KPK akan selalu ada.

Hal tersebut mengemuka antara lain dalam diskusi media bertajuk "Eksistensi KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia", yang diselenggarakan KPK pada Selasa (7/8/2012) di Auditorium KPK, Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta. Diskus menghadirkan pimpinan KPK periode 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas.

Erry mengatakan  istilah “ad-hoc” sendiri sama sekali bukan berarti bersifat sementara. Kata “ad-hoc” yang merupakan bahasa latin, menurut Black’s Law Dictionary berarti “formed for a particular purpose” atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”.

“Dalam kaitannya dengan KPK, maka KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi di negeri ini,” paparnya.

Menurutnya, dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada satu pasal, ayat, kalimat, atau apapun yang menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga ad-hoc, bersifat sementara, atau memberikan tenggat waktu keberadaan KPK.

“Saat ini KPK dianggap sebagai lembaga sementara hanyalah penafsiran dari beberapa pihak semata atas beberapa penjelasan dalam UU KPK, khususnya penafsiran atas konsideran Menimbang huruf (b) UU KPK yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum secara efektif dan efisien memberantas korupsi,” lanjutnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, KPK haruslah dimaknai sebagai lembaga permanen. Hal ini juga sejalan dengan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi (2010-2025) yang meliputi upaya memperkuat kelembagaan lembaga antikorupsi, membangun KPK perwakilan di daerah, mengangkat penyidik KPK, memperkuat koordinasi dan supervisi kasus korupsi, memperkuat Pengadilan Tipikor, dan reformasi birokrasi.

“Jadi, gagasan KPK sebagai lembaga yang bersifat sementara adalah kontraproduktif, tidak memiliki dasar hukum, dan juga tidak berdasar argumentasi yang memadai,” tandas Erry Riyana.

[Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim/Sumber Lainnya]

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved