Dari Sampah di Gunung Sampai Jokowi Harus Nonton, Begini Kata Pemeran Film Negeri Dongeng

Film dokumenter perjalanan ini ingin memperlihatkan kepada anak muda tentang keindahan Indonesia dan bagaimana bisa menikmatinya dengan baik.

TRIBUN KALTIM/MUHAMMAD FACHRI RAMADHANI
Teguh Rahmadi selaku salah satu ekspeditor di Film Negeri Dongeng persembahan AKSA 7 turut hadir dalam Gotong Royong Nonton Bareng di XXI Balcony, Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (22/10/2017) malam. 

Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Muhammad Fachri Ramadhani

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - "Melihat, merasakan, bergerak, sebuah perjalanan untuk kehidupan," begitu kata Teguh Rahmadi, salah satu ekspeditor di Film Negeri Dongeng persembahan AKSA 7 untuk anak muda Indonesia.

Proses ekspedisi 7 gunung tertinggi di Indonesia dalam film tersebut banyak menuangkan falsafah kehidupan. 

Kerinci, Mahameru, Rinjani, Bukit Raya, Latimojong, Binaiya, dan Cartenz, semuanya memiliki kisah masing-masing bagi 7 sineas muda yang berupaya merekam perjalanan mereka menuju puncak gunung tersebut.

Film dokumenter perjalanan ini ingin memperlihatkan kepada anak muda tentang keindahan Indonesia dan bagaimana bisa menikmatinya dengan baik (pendakian).

Banyaknya permasalahan di gunung membuat mereka, ke tujuh sineas muda tertantang membuat film.

Baca: Pilih ke Labuan Bajo Dibanding Hadiri Pelantikan Anies, Djarot Ungkapkan Hal Ini

"Kenapa, sih, di Indonesia belum ada karya dokumenter yang bisa masuk di bioskop, yang bisa dinikmati dan mengedukasi generasi muda," kata alumnus IKJ usai Gotong Royong Nonton Bareng Film Negeri Dongeng usai di XXI Balcony, Balikpapan.

Berangkat dari sana, mereka tahu apa yang mau digambar dari film yang turut menghadirkan aktor seperti Darius Sinatria, Medina Kamil, dan Nadine Chandrawinata.

Menariknya, ke tujuh ekspeditor dalam film tersebut bukan seorang pendaki.

Murni mereka adalah film maker. 

Proses sebelum melakukan ekpedisi tersebut yang mahal bagi mereka.

Mempersiapkan diri tak hanya pengetahuan dan fisik, tapi juga faith atau keyakinan.

"Tujuh gunung ini proses belajar dan penemuan dari perjalanan, dimana kita berusaha jadi film maker yang jujur. Buat film yang jujur yang bisa disampaikan ke generasi muda di Indonesia," ungkapnya.

Banyaknya anak muda yang berkeinginan melakukan pendakian namun minim akan pengetahuan, jadi keresahan mereka.

Baca: Sempat Bersitegang, Sekarang Begini Hubungan Krisdayanti dan Ashanty, Warganet pun Bereaksi!

Bagaimana melakukan pendakian dengan cara yang benar cukup tergambarkan dari film tersebut.

"Supaya alam bisa terjaga, pendakian aman, kita pulang dengan selamat. Pada dasarnya kita ingin menyampaikan, pendakian itu memang sulit. Dibutuhkan keilmuan yang memang harus kita ketahui dulu," katanya.

Banyak hal yang didapat secara tak sengaja dari perjalanan ini.

Mulai dari konflik dari setiap individu, maupun peristiwa yang hadir begitu saja di hadapan AKSA 7 dalam ekspedisinya.

"Itu akhirnya jadi story lain. Jadi bentukan cerita yang kita temukan di akhir perjalanan," tuturnya.

Terlepas dari unsur estetika bentuk visual, banyak otokritik yang terselip di beberapa adegan dalam film tersebut.

Kendati Teguh mengakui hal itu bukan jadi sasaran utama dalam film yang mereka garap.

Namun sisi lain selalu menarik digali, apalagi didapatkan secara alamiah alias tanpa dirancang.

Baca: Doyan Banget Makan Telur? Ternyata Ini 6 Manfaatnya untuk Kesehatan!

"Itu bagian yang tanpa sengaja kita temukan selama perjalanan. Kita gak tahu, yang kita tahu kita mau kemana dan apa yg kita lakukan. Apa yang kita temui di tengah jalan, sama sekali tidak dirancang, itu nature. Terjadi dengan sendirinya," bebernya.

Seperti cuplikan adegan yang dilakukan ABK kapal membuang sampah di laut dalam ekspedisi Kalimantan.

Kendati aturan dan komitmen berisi larangan membuang sampah di laut terpampang jelas di setiap sudut kapal. 

Namun ABK kapal tersebut tanpa berat tangan membersihkan gunungan sampah yang ada di kapal, lalu membuangnya ke laut. Kendati tak lebih 5 detik, namun adegan tersebut punya nilai mahal.

"Kita harus naik kapal karena kita gak punya uang. Ya sudah, pada saat di kapal itu yang terjadi," ucapnya.

Lain hal dengan fenomena sampah yang mereka coba angkat ke permukaan.

Baca: Mirip Cari Jodoh, Beginilah Kebingungan Generasi Milenial Beli Rumah Pertama

Di perjalanan menaiki puncak Mahameru, kritik tentang sampa jelas jadi penekanan. 

"Kita lihat banyak sampah, menurut mata kita itu sesuatu yang mesti diperlihatkan. Bukan melihat kotornya (gunung), tapi bagaimana ruang penyadaran itu dibangun. Untuk apa kita egois ke gunung, kalau kita saja belum siap, malah banyak membawa sampah," ungkapnya.

Lain hal ekspedisi Maluku saat di Kanike.

Selain larut melihat Darius yang harus menghentikan perjalanannya, akibat mendapat kabar duka dari Jakarta.

Pemandangan yang juga dapat membuat kita mengelus dada, tak lain belajar terhadap pengabdian seorang guru. 

Dimana dalam sceen adegan ia sampai duduk di teras kelas, bukan di dalam kelas.

Di antara 2 ruangan yang berisi para siswa yang belajar.

Setiap hari ia lakukan hal itu di sekolah, mengawasi muridnya saat tugas diberikan. 

"Ada seorang guru yang tiba-tiba kita tahu mengajar di 2 kelas. Kita sebagai orang kota terlalu banyak mengeluh, sementara ibu ini bisa komitmen. Dia merasa punya tanggungjawab mendisdik generasi muda. Total meninggalkan keluarga, melakukan perjalanan dan mengajar," ucapnya.

Cerita pembalakan hutan di Kalimantan juga tak lepas disoroti.

Baca: Menang 3-0, Zidane Masih Kurang Puas dengan Performa Real Madrid

Bahkan setiap batang pohon yang menjulang tinggi dijadikan bahan candaan yang segar oleh para tim ekspedisi dalam film itu.

Satu pohon bila dirobohkan bisa membeli barang-barang mewah, sukses mengocok perut penonton saat itu.

Namun di antara gelak tawa terdapat kesatiran yang hendak disampaikan. 

"Kita gak bisa menentukan siapa salah dan enggak. Kita coba berikan perspektif alasan kenapa warga melakukan hal itu. Di film ini kita tidak menggambarkan siapa yang baik dan salah," tegasnya 

"Ini semua perspektif yang dikembalikan kepada diri sendiri agar menjadi pembelajaran. Kita gak akan bisa merubah apapun, kalau kita sendiri gak berubah," lanjutnya.

Di akhir menonton film Negeri Dongeng ratusan penonton yang hadir diminta partisipasi membuat videogram, yang meminta Jokowi harus menonton film tersebut.

Saat ditelisik, Teguh mengungkapkan pihaknya merasa bahwa mereka tak punya banyak layar untuk mempertontonkan film ini kepada masyarakat Indonesia.

Mereka butuh dukungan dari Pemerintah.

Lalu meyakini Presiden Indonesia ke 7 tersebut memiliki histori kuat tentang petualangan dan perjalanan dalam hidupnya.

"Dia bisa melihat alam, sebuah pendakian. Sedikit menggali empati dari dia, bisa membantu menyuarakan film ini agar bisa lebih banyak ditonton oleh masyarakat," harapnya.

Untuk diketahui, film dokumenter persembahan AKSA 7 yang disutradarai Anggi Friska tersebut bakal tayang menjelang hari Sumpah Pemuda di beberapa layar bioskop tanah air.

Saat ini pihaknya masih melakukan riset dimana saja daerah yang berpotensi membuat film tersebut bertahan lama di bioskop. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved