Dari Sisi Psikologis, Pemuda Makan Sendok di Samarinda Masih Bisa Diobati
mengingat usia Jahrani sudah 26 tahun, kebiasaan aneh ini juga perlu ditelisik lebih jauh.
Penulis: Doan E Pardede | Editor: Januar Alamijaya
Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Doan Pardede
TRIBUNKALTIM.CO - Keinginan seseorang untuk mengonsumsi benda-benda aneh (bukan makanan) seperti yang dialami Jahrani, warga Kutai Kartanegara (Kukar) bisa digolongkan ke dalam gangguan PICA. Hal ini diungkapkan Ayunda Rahmadani, Psikolog Klinis Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Atma Husada Mahakam Samarinda kepada Tribunkaltim.co, Jumat (23/2/2018) malam.
"Sebenarnya kalau dilihat dari gejalanya yang suka memakan benda-benda tidak lazim (bukan makanan) dan tidak ada nilai gizinya bagi perkembangan tubuh, maka dikategorikan gangguan PICA," jelas Ayunda.
Namun mengingat usia Jahrani sudah 26 tahun, kebiasaan aneh ini juga perlu ditelisik lebih jauh. Pasalnya, gangguan PICA umumnya terjadi pada anak-anak.
Baca: Mama Rieta Mertua Raffi Ahmad Hidup Mewah, Begini Kabar Ayah Nagita Slavina yang Diceraikan
"Jadi kalau pernah dengar kasus anak-anak makan kertas, tanah, rambut dan sebagainya, ini merupakan diagnosis yang sama yaitu gangguan PICA. Hanya pada kasus ini yang dimakan adalah logam," imbuhnya.
Terkait usia yang sudah 26 tahun ini, yang paling penting adalah memeriksakan kondisi kejiwaan yang bersangkutan, apakah memang yang bersangkutan memiliki gangguan kejiwaan atau gangguan mental. Apalagi, yang bersangkutan juga menyebut bahwa tindakan itu dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Pengakuan seperti ini bisa mengindikasikan bahwa yang bersangkutan memang mengalami gangguan jiwa.
Dan juga apakah kebiasaan aneh tersebut memang sudah dilakukan sejak kecil, atau hanya sesudah menginjak usia dewasa.
Dia menyarankan agar yang bersangkutan dilakukan assesment (penilaian) secara mendalam, yang dilakukan oleh psikolog klinis atau pun psikiater. Sementara untuk penanganan atau pencegahan, bisa menggunakan farmakoterapi (obat-obatan) yang diresepkan oleh psikiater.
Baca: Nusyirwan Jatuh Sakit, Pasangan Rusmadi-Safaruddin Langsung Beri Komentar Begini
"Sehingga tadi saya katakan perlu segera dicek baik secara medis maupun psikologis. Sehingga dapat ditemukan apa alasan dan motif dari perbuatan tersebut. Itu maksud saya yang seharusnya segera ditindaklanjuti oleh pihak keluarga. Apakah ada suara-suara yang menyuruh (halusinasi) ataukah ada keterbelakangan mental? Sehingga dia menelan benda-benda yang sudah jelas membahayakan keselamatannya," katanya.
Selain itu, juga ada metode lain, yakni menggunakan psikoterapi dari psikolog dengan teknik modifikasi prilaku. Salah satu caranya, orangtua atau lingkungan harus menjauhkan benda-benda selain makanan tersebut dari jangkauan pasien.
"Atau mencegah jangan sampai benda tersebut diambil oleh pasien," jelasnya.
Baca: Nusyirwan Jatuh Sakit, Pasangan Rusmadi-Safaruddin Langsung Beri Komentar Begini
Terkait "kerankeng" yang dilakukan orangtua saat ini akan cukup efektif ?, Ayunda mengaku tak sependapat. Walaupun di satu sisi bisa efektif, tapi cara ini tak menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya.
"Jika saat ini orangtua mengkerangkeng dengan tujuan agar pasien tidak makan logam lagi, sebenarnya bisa saja dilakukan. Namun tentu atas pertimbangan kemanusiaan sangat perlu untuk diperiksa, baik secara medis dan psikologis agar dapat tertangani secara tuntas," ujarnya.
Dan perlu diketahui juga kata dia, jika ternyata yang bersangkutan memang mengalami gangguan kejiwaan, maka kerangkeng malah akan semakin memperparah gangguan yang ada.
"Jadi saran saya, lebih baik segera diperiksa kejiwaannya," katanya.
Belajar dari kasus ini, dia sangat menyayangkan hal ini masih bisa terus terulang. Padahal, kata dia, kasus seperti sebenarnya bisa diobati. Apalagi saat ini, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan untuk menangani hal tersebut sudah cukup memadai di Kota Samarinda.
"Bisa sekali (diobati). Apalagi sebenarnya psikiater dan psikolog di Kaltim khususnya Samarinda ini sudah cukup memadai. Saya prihatin kejadian ini sudah berulang, 2016 pernah, 2018 ini diulangi lagi. Jadi mungkin keluarga pada waktu pertama kali pasien memakan logam, tidak melakukan upaya pencegahan atau pun memeriksakan lebih lanjut. Sehingga ini berulang lagi," sesalnya.