Pilgub Kaltim 2018
Mengenal Andini Effendi, Host Debat Pilgub Kaltim 2018 Malam Ini
Di balik tubuh tinggi semampai dan wajah cantik, Andini Effendi punya nyali besar yang melebihi lelaki.
Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
TRIBUNKALTIM.CO - Debat perdana Pilgub Kaltim 2018 akan berlangsung malam ini pukul 19.00 WIB.
Debat yang disiarkan langsung MetroTV tersebut akan dipandu oleh presenter cantik Andini Effendi.
Baca: Live Streaming MetroTV Debat Perdana Pilgub Kaltim 2018, Malam Ini Pukul 19.00 WIB
Banyak yang penasaran, bagaimana sebenarnya rekam jejak Andini Effendi?
Wanita kelahiran 12 Desember 1982 itu memulai kariernya sebagai jurnalis pada 2005 silam.
Dimulai di Global TV. Kala itu, ia meliput berita politik, hukum, dan human interest. Juga menjadi presenter berita sore dan berita kriminal.
Setahun berselang, Andini pindah ke ANTV, menjadi jurnalis dan presenter berita.
Di ANTV ia hanya bekerja setahun, hingga akhirnya pada tahun 2007 ia berlabuh di MetroTV.
Di MetroTV, ia membawakan program Metro Malam, Metro Pagi, Metro Hari Ini, dan Primetime News.
Sebelumnya di tahun 2003 ia pernah magang di stasiun televisi tersebut ketika masih kuliah di Universitas Pelita Harapan.
Sejak lama ia memang ingin sekali bekerja di MetroTV.
Dulu saat magang sebagai staf produksi di sebuah program Famous to Famous, pekerjaannya hanyalah mengangkat-angkat kabel, serta membawakan minum dan baju presenter.
Andini juga adalah putri dari mantan anggota DPR-RI Fraksi Partai Golkar, Agusman Effendi yang pernah mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres Luar Biasa PSSI di Solo, Jawa Tengah, 2011 silam.
Pengalaman Mendebarkan di Libya
Di balik tubuh tinggi semampai dan wajah cantik, Andini Effendi punya nyali besar yang melebihi lelaki.
Salah satu pengalaman yang paling mengesankan baginya selama menjadi seorang jurnalis adalah ketika di tahun 2011 ia mendapat kesempatan meliput perang di Libya.
Awalnya MetroTV menyiapkan sebuah tim khusus untuk meliput situasi di Libya.
"Terdiri dari laki-laki semua," tutur Andini dikutip dari dewimagazine.com.

Menjelang berangkat, tim ini menemui pemilik dan pemimpin Media Group, Surya Paloh, yang mempertanyakan ketiadaan perempuan dalam tim.
Andini pun kemudian dipilih untuk masuk dalam tim tersebut.
Penunjukan itu jelas mengagetkannya.
Andini baru saja dalam perjalanan pulang dari studio, ketika tiba-tiba ditelepon agar esok hari sudah siap untuk berangkat ke Libya.
Liputan akan berlangsung satu minggu. Namun, praktiknya lebih panjang dari itu: tiga bulan.
Saat itu, ia sama sekali tidak tahu apa yang ia harapkan dari tugas itu.
Selama di sana, setiap jam 02.00 ia selalu dibangunkan oleh ledakan bom.
Hotel tempatnya menginap tidak jarang menjadi sasaran bom karena dekat dengan gedung pemerintahan.

Andini dan sejumlah wartawan asing menjadi tamu negara itu, sehingga berada di bawah perlindungan pemerintahan Muammar Khadafi.
Beberapa kali ia bertemu dengan Khadafi. Beberapa kali pula lelaki ini menyapanya.
Khadafi yang sangat mengagumi presiden Soekarno menerima Andini dengan baik. Karena Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, ia dan tim MetroTV dapat memasuki tempat-tempat atau lokasi-lokasi yang sukar dimasuki media asing lain.
Pemerintah Libya juga sudah mengatur jadwal kunjungan untuk para jurnalis dari seluruh media asing. Namun, perang tak pernah luput dari propaganda.
Suatu hari ia mendapat kabar bahwa telah terjadi ledakan bom antipemerintah yang merenggut 100 jiwa.
"Wah 100 orang kan banyak banget. Sebagai jurnalis yang sering melakukan liputan kriminalitas ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, aku langsung bilang ke tim untuk ke rumah sakit melihat kondisi mayat-mayat itu," katanya dikutip dewimagazine.com.
Para jurnalis media lain pergi ke lokasi ledakan, tapi Andini dan tim memilih berangkat ke rumah sakit naik taksi.
Ternyata tidak ada ambulans yang datang membawa jenazah.
Tiga jam kemudian. Lima jam sesudah itu. Lewat dini hari. Tidak ada korban-korban yang sampai. Mereka lantas memeriksa rumah sakit lain. Hasilnya, nihil.
Kepada seorang wartawan New York Times yang juga berada di Libya, ia bercerita bahwa kabar tentang jumlah korban pengeboman tidak terbukti.
Atas referensi wartawan itu pula, Andini memperoleh kesempatan diwawancarai untuk seleksi masuk New York University (NYU) di Amerika Serikat.
“Menjelang berakhirnya tugas kami di Libya, aku bercerita tentang keinginan untuk masuk ke New York University (NYU), tapi email-ku tidak dibalas NYU,” kata Andini.
Sang wartawan New York Times itu kemudian langsung mengirim email ke NYU.
Tidak butuh lama, keesokannya Andini langsung dihubungi NYU.
Wawancara dilakukan via Skype dan tembak-tembakan terdengar di luar hotel.
"Aku ditanya, itu suara apa. Aku bilang, suara tembakan. Wawancara kemudian ditunda, orang NYU tersebut mengatakan bahwa wawancara akan dilanjutkan di lain waktu, asalkan aku bisa selamat dulu dari zona perang," cerita Andini.
Ia akhirnya diterima kuliah di jurusan Resolusi Konflik di universitas idamannya itu. (*)