Praktik Sirkus Hewan Masih Ada, Salah Satu Alasannya Regulasi Masih Lemah
Praktik sirkus masih ada di Indonesia. Banyak penyebab hal ini berlangsung. Satu di antaranya regulasi yang tidak bertaji. Berikut ulasannya.
TRIBUNKALTIM.CO - Walaupun jumlahnya cenderung menurun dari tahun ke tahun, keberadaan sirkus yang melibatkan hewan di Indonesia masih tetap ditemukan hingga saat ini.
Banyak penyebab praktik yang menjadikan hewan liar dan langka ini sebagai obyek tontonan, terutama untuk mendapatkan keuntungan.
Direktur Investigasi Scorpion Wildlife Monitoring Group, Marison Guciano menilai bahwa regulasi masih terbilang lemah, sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap hewan dalam sirkus atau pertunjukan terjadi.
Video - Jumat Berbagi, Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda Kunjungi Saksi Hidup Zaman Penjajahan
Ular Piton 4 Meter Terkam Ternak Warga di Bontang, Lengan Petugas Sempat Dililit
Polres Bontang Beri Santunan ke Pemulung yang Tinggal di Gubuk Sisa-sisa Kayu Bekas
Salah satu regulasi adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-II/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Aturan itu kerap digunakan para pengelola untuk menghadirkan sirkus hewan. "KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berperan memberi izin konservasi, para pengelola sirkus diperkenankan untuk melakukan peragaan satwa, tapi kan yang terjadi itu sirkus," kata Marison, saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (22/2/2019).
Hewan-hewan yang jatuh ke tangan para pengelola pertunjukan kemudian dilatih dengan sedemikian rupa hingga mampu melakukan sesuatu di luar perilaku alamiahnya.
Menurut Marison, hewan-hewan ini diberikan pelatihan yang menyiksa tubuh juga kebebasan mereka.
LSI Sebut Elektabilitas di Bawah 1 Persen, Partainya Tempat Grace Natalie Optimis Lolos ke Parlemen
10 Unggahan Kocak Cabai Kena Tilang di Medsos: Khawatir Sambal Langka hingga Jateng Harus Tahu
Seputar Bank Sampah Unmul, Jam Operasional hingga Gelas Air Mineral Dihargai Rp 3 Ribu Per Kilogram
Mereka diajari untuk mematuhi perintah dan melaksanakannya. Apa yang diajarkan pada mereka adalah segala sesuatu yang tidak pernah dan sebenarnya tidak akan pernah mereka lakukan di alam liar.
Misalnya, gajah dipaksa berdiri dengan dua kaki, beruang naik sepeda, monyet menghitung, lumba-lumba melompat lingkaran api, dan sebagainya. Semua itu di luar perilaku alamiah para hewan.
Melihat Makam Tua Belanda di Asrama Bukit Balikpapan, Batu Nisan Bertuliskan Gaya Belanda
Untuk bisa melakukan itu semua, tentu mereka harus melewati pelatihan yang keras dan mengerikan. Jadi, menurut Marison, keliru jika kita menyebut hewan di panggung sirkus itu bertingkah "lucu dan menggemaskan".
Mereka teraniaya tanpa kita tahu. Alasan hewan taati pelatih Ada juga pertunjukan lumba-lumba yang siap menghibur wisatawan.
Update Hasil Akhir Arema vs Persib, Imbang 2-2 Maung Bandung Lolos Babak 8 Besar Piala Indonesia
Eks Lokalisasi Bayur Jadi Lokasi Tambang, Jatam Kaltim Beri Komentar Terkait Izin
Marison menyebut ada tiga sebab mengapa hewan menaati setiap perintah sang pelatih.
Tiga faktor itu adalah lapar, takut, dan sakit.
"Kenapa setiap pelatih binatang membawa makanan di panggung pertunjukan? Itu untuk memaksa si hewan melakukan atraksi.
Hewan ini kelaparan, mereka belum diberi makan. Dan melakukan atraksi adalah satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mendapatkan makanan," ujar Marison.
Alasan kedua dan ketiga sedikit banyak berhubungan, takut dan sakit. Hewan-hewan sirkus akan mengikuti perintah pelatih karena terbayang kesakitan yang diterimanya selama pelatihan.
Cambuk, angkusa (palu lancip untuk gajah), rantai, dan semua peralatan yang digunakan pelatih menyisakan trauma dan rasa sakit pada hewan-hewan ini.
Kalimantan Timur Jarang Terjadi Gempa Bakal Dapat Dua Sensor Gempa, Ini Kegunaan Alatnya
Syahrini dan Reino Barack Menikah 27 Februari? Keluarga: Doakan yang Terbaik dan Semoga Lancar
Karena alasan-alasan itulah mereka menuruti setiap perintah sang pelatih. Tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan makan dan terbebas dari hukuman.
Peran balai konservasi Gajah dipukul dengan angkusa Gajah dipukul dengan angkusa (Marison Guciano) Berdasarkan data yang diberikan Marison, Asia for Animal Coalition pernah melayangkan surat kepada Taman Nasional Balai Konservasi Gajah Way Kambas, Lampung, 11 Februari lalu, karena ditemukan terjadi kekerasan terhadap gajah-gajah di sana.

Dalam surat itu dituliskan, setelah dilakukan observasi, banyak ditemukan bekas luka pada tubuh gajah akibat dipukul menggunakan angkusa.
Luka itu diakibatkan oleh perlakuan pegawai yang bertugas di sana. Gajah-gajah juga terlihat dirantai, sehingga pergerakannya sangat terbatas.
Ia tidak bisa bersosialisasi, berjalan, dan beristirahat di tempat yang ia kehendaki. Ini bisa menyebabkan kebosanan dan stres.
Di Way Kambas, gajah dimanfaatkan untuk menjadi alat transportasi dan ditunggangi oleh manusia. Mereka menjadi satu wahana wisata tersendiri.
Padahal, gajah tidak memiliki kemampuan untuk itu. Tulang belakangnya tidak kuat menopang manusia dalam waktu berkepanjangan.
Gajah bukan kuda yang secara fisik memang bisa digunakan sebagai hewan tunggangan. "Gajah-gajah yang ada di Way Kambas, banyak yang ditangkap karena berkonflik dengan masyarakat," kata Marison.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Berbagai Alasan Sirkus Hewan Masih Ditemukan, Salah Satunya Regulasi Lemah", https://nasional.kompas.com/read/2019/02/22/17354871/berbagai-alasan-sirkus-hewan-masih-ditemukan-salah-satunya-regulasi-lemah.
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Bayu Galih