Lebaran 2019

Wajah Harmonis Balikpapan, Muda Mudi Kristen dalam Idul Fitri 1440 H Berbeda Tetapi Tetap Bersaudara

Lebaran 2019 sudah bergulir, muda mudi Kristen di Balikpapan, Kalimantan Timur, ikut bantu persiapkan sholat Ied, Idul Fitri 1440 H.

Penulis: Ilo | Editor: Doan Pardede
Dok Tribunkaltim.co
Pemuda pemudi Kristen Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur yang diprakarsai oleh Badan Kerjasama Gereja Balikpapan turut membantu pelaksanaan sholat Ied Idul Fitri 1440 H di Lapangan Apel Bekangdam VI/Mulawarman, Jalan Jenderal Sudirman Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada Rabu (5/6/2019). 

Namun, apakah tradisi tahunan memaafkan ini hanya sebuah rutinitas belaka?

Pernahkah kita berpikir sejenak mengenai makna dari ritual ini? Apakah kita sudah benar-benar memaafkan?

Dilansir dari Kompas.com, Maaf adalah konsep yang universal dan dapat ditemukan di berbagai kepercayaan serta aliran pemikiran sepanjang masa yang tersebar di berbagai penjuru.

Semua ajaran tersebut menempatkan sikap memaafkan sebagai suatu bentuk kebaikan.

Termasuk Mengenang Masa Kecil Saat seseorang diperlakukan tidak adil, maka orang tersebut perlu berjuang untuk melawwan niatan dendam yang timbul akibatnya, berusaha untuk memaafkan, bahkan menggunakan pengalaman tersebut untuk menolong dan melawan ketidakadilan yang dijumpainya.

Memaafkan tidak berarti menyetujui, membenarkan, membiarkan, atau melupakan kesalahan yang telah diperbuat orang lain terhadap kita.

Lebih dari itu, memaafkan merupakan cara mengasah pengendalian diri dan nilai moral yang kita miliki.

Agar benar-benar saling memaafkan, hendaknya ikuti saran yang diberikan oleh pakar sains.

Seperti dilansir dari Kompas.com, eorang psikolog dari University of Wisconsin-Madison, Robert Enright memberikan saran yang dapat diikuti, seperti dilansir dari HuffPost.

Pertama, kita perlu mengukur sebesar apa dampak kesalahan dan ketidakadilan yang dilakukan orang lain terhadap kehidupan kita.

Apakah hal tersebut memicu beragam emosi, seperti marah, dendam, dengki, dan sebagainya.

Kita perlu menyadari bahwa emosi tersebut mengonsumsi energi dalam jangka panjang, dan juga dapat mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain yang tidak bersalah pada kita.

Perlahan, kita akan sadar bahwa emosi ini ingin kita lenyapkan, dan kita ingin lepas dari kondisi ini.

Kedua, setelah muncul keinginan untuk merubah kondisi dalam hati, kita juga perlu paham bahwa dengan memaafkan, tidak lantas kesalahan tersebut impas begitu saja.

Memaafkan tidak berarti bahwa kita memaklumi dan membenarkan kesalahan. Tapi, kita tidak ingin kesalahan itu terus mempengaruhi kehidupan, sehingga kita mengambil langkah untuk menawarkan maaf dan melangkah menuju masa depan.

Ketiga, kita perlu melihat dengan pandangan baru, dan sadar bahwa orang yang melakukan kesalahan hanyalah manusia biasa yang tidak jauh berbeda dengan kita.

Hal ini dapat menimbulkan empati dan belas kasih, yang dapat digunakan untuk mengajak dan membimbing orang tersebut agar mau memperbaiki dirinya sendiri.

Langkah-langkah tersebut dapat membantu kita agar dapat lebih berimbang dalam memandang suatu permasalahan, mengurangi perasaan negatif serta melatih rasa belas kasih, dan menghilangkan keinginan untuk balas dendam.

Namun tentu saja, langkah-langkah tersebut tidak begitu saja kita lalui dengan mudah.

Bisa saja kita merasionalisasi hal tersebut dalam pikiran, namun ketika tiba saatnya untuk mengambil sikap, bisa jadi kita ragu dan malah terjebak pada kenangan buruk yang membekas hingga saat ini.

Maka dari itu, sebelum kita memaafkan orang lain, kita perlu memaafkan diri sendiri terlebih dahulu.

Menurut Rubin Khoddam, psikolog dari University of Southern California, kendala pertama dan terbesar dalam proses memaafkan adalah ketakutan dianggap sebagai pihak yang lemah.

Kondisi ini terus menempatkan kita sebagai korban yang tidak berdaya dan didominasi oleh orang lain. Padahal dengan mengambil keputusan untuk memaafkan, kita kembali mengambil kendali atas kehidupan kita sendiri.

Tidak masalah jika pada awalnya, proses ini akan membuat kita marah dan mendendam, namun perlahan kita masalah tersebut telah membentuk pribadi kita saat ini yang telah berani mengambil langkah untuk berubah memperbaiki diri.

Efek fisik dan mental sikap memaafkan bukan hanya dapat membawa rasa tenang dan damai. Namun, hal tersebut juga baik untuk kesehatan fisik dan mental seseorang.

Secara psikologis, orang yang pemaaf memiliki frekuensi dan tingkat depresi yang rendah.

Dalam kasus permasalahan internal keluarga, pasangan yang mengambil inisiasi untuk saling memaafkan dan berekonsiliasi akan memiliki hubungan yang lebih erat serta membentuk persepsi yang sehat bagi perkembangan emosional anak.

Sedangkan secara fisiologis, sikap memaafkan berhubungan dengan kadar sel darah putih dan jumlah sel darah merah dalam darah. 
Artinya, kondisi mental ini memiliki kaitan dengan kekuatan sistem imun yang melindungi kita dari penyakit.

Memaafkan adalah suatu proses yang tidak instan dan memerlukan waktu.

Namun, dalam jangka panjang hal tersebut banyak memberi kebaikan dalam kehidupan kita, juga orang-orang di sekitar.

(Tribunkaltim.co/Budi Susilo)

Subscribe official YouTube Channel Tribun Kaltim

 

Kumpulan Kalimat Bermakna tuk Ucapan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H, Ada 45 Kata Mutiara Loh!

Jadwal Lokasi Sholat Idul Fitri 1440 H, Agenda Walikota Samarinda Sampai Open House Lebaran 2019

Ivan Kolev Mundur dari Persija, Ini Deretan Pelatih yang Out di Awal Musim Liga 1 2019

Tiada Disangka, Malam Takbiran Lebaran 2019, Mess Perusahaan Tambang di Samarinda Ini Terbakar

Begini Keistimewaan Shalat Ied Idul Fitri 1440 H di Islamic Center Kota Samarinda, Yuk Datang Kesini

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved