Milenial

Kemkominfo RI Tegaskan Pengawasan Tayangan Netflix dan YoTube Belum Masuk Kewenangan KPI

Sebelumnya, KPI mewacanakan mengawasi konten-konten dari media semisal YouTube, Facebook, Netflix dan media lain yang sejenis.

Editor: Budi Susilo
(IGN)
ILUSTRASI - Konten film di Netflix. Geralt from Riveradalam game The Witcher dan Henry Cavill sebagai Geralt di serial Netflix. 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia memastikan.

Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI) belum memiliki wewenang untuk mengawasi konten di platform streaming, misalnya Netflix dan YouTube.

Geryantika mengatakan, kewenangan seperti itu belum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Sebenarnya secara peraturan undang-undang, KPI itu tugasnya adalah melihat atau memonitoring free to air, seperti tv-tv gitu ya.

Aturan mainnya (untuk platform streaming) itu belum ada," ujar Geryantika di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2019), sebagaimana dikutip Antara.

Saat ini, pengawasan pada media-media baru dan platform streaming masih diserahkan kepada konsumen.

Apabila ada konsumen yang keberatan dengan konten, maka dilaporkan melalui fitur yang ada di media tersebut.

Kominfo sendiri terbuka apabila ada konten pada media baru tersebut yang dinilai melanggar norma yang ada di Indonesia.

Bahkan bukan hanya dari masyarakat, melainkan juga dari KPI.

"Sebenarnya Kominfo bisa mendapatkan saran dari mana pun juga, termasuk KPI.

Kalau KPI merasa bila di konten-konten media baru itu melanggar aturan, ya bisa disarankan ke Kominfo untuk ditindaklanjuti," lanjut Geryantika.

Nasib NET TV di Era Netflix dan Akan Dihadapi Industri Televisi Secara Keseluruhan

Sebelumnya, KPI mewacanakan mengawasi konten-konten dari media semisal YouTube, Facebook, Netflix dan media lain yang sejenis.

Pengawasan bertujuan agar siaran di media digital tersebut benar-benar layak ditonton dan memiliki nilai edukasi.

Selain itu, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.

Perlunya pengawasan media YouTube, Netflix, Facebook atau media sejenis menimbang sebagian besar masyarakat sudah beralih dari media konvensional televisi dan radio.

Terutama kalangan milenial, mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya untuk mengakses konten media digital.

Netflix
Netflix (HO Netflix)

Di tempat terpisah, peneliti Remotivi Firman Imaduddin mengatakan selera penonton TV boleh jadi alasan NET TV terseok-seok bersaing.

Buruknya selera masyarakat tak terlepas dari peran para pesaing NET yang membiasakan masyarakat dengan tayangan bermutu rendah.

"Yang jadi masalah ketika tayangan populer tapi sampah. Ya soal tidak sensitif gender, pembodohan umum, itu jadi masalah," kata Firman.

Konten baik ala NET kemungkinan tidak cukup menarik bagi penonton TV.

Namun bukan berarti NET harus tunduk mengikuti selera pasar.

Tantangannya, menyajikan hiburan bermutu namun tetap disukai masyarakat.

"PR-nya adalah bagaimana mendefinisikan tayangan bermutu tapi tetap sustain ke industri televisinya, tetap educating. Dulu mungkin dilakukan oleh Bajaj Bajuri," ujar Firman. Lari ke digital Dugaan lain soal terseok-seoknya NET TV, ada pada tren digital yang meroket tajam.

Penelitian lembaga rating AC Nielsen mengungkap pertumbuhan kepemilikan telepon seluler dalam lima tahun terakhir sangat pesat, mencapai 250 persen.

Waktu yang dihabiskan konsumen Indonesia untuk media digital pun meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Dari rata-rata 2 jam 26 menit menjadi 3 jam 20 menit per hari. Sementara waktu yang dihabiskan untuk media TV tidak bertambah, dari 4 jam 54 menit menjadi hanya 4 jam 59 menit pada periode yang sama.

"Jelas bahwa digital mulai mengejar TV, dan digital dipandang sebagai pendatang baru yang ‘seksi’ dalam media mix," kata Managing Director Media Nielsen Global, Matt O'Grady.

Kendati porsi kue iklan masih terbesar di televisi, tren digital ini bisa jadi membuat televisi tak lagi diminati oleh pengiklan. Pasalnya, di Amerika Serikat saja, aplikasi ponsel dan internet di komputer makin merongrong televisi.

Ini terjadi di kelompok usa 18-34, usia produktif yang notabene aktif berbelanja.

Masih berdasarkan data Nielsen, di Amerika Serikat, individu berusia 18-34 menghabiskan waktu di ponsel mereka dan komputer mereka selama 4 jam 2 menit sehari.

Sedangkan televisi hanya 1 jam 54 menit. TV hanya unggul di sebagian generasi X dan generasi Baby Boomers, atau yang usianya kini sudah 50 tahun ke atas.

Di Amerika Serikat, televisi gratis memang masih hidup. Namun kepemilikannya hanya berputar di lima jaringan besar yakni NBC, CBS, ABC, Fox, dan The CW.

Jika hari ini Indonesia baru dibuat pusing dengan meredupnya media konvensional, di Amerika Serikat, industri TV kabel atau TV berbayar sudah lama kehilangan pelanggannya dengan hadirnya Netflix dan kawan-kawan.

Terlepas dari usia dan tren global, Imaduddin mengingatkan ada juga bias kelas yang berpengaruh pada industri televisi. Mereka kemungkinan sudah meninggalkan televisi dan beralih ke ponsel untuk hiburan maupun informasi.

"Sebenarnya konten mereka baik, tapi dari segi masyarakat dominan mereka enggak menjawab demand. PR-nya bagaimana bikin tayangan bermutu tapi appealing ke market yang meninggalkan TV," kata Firman.

Masalah yang dihadapi NET kini, tak menutup kemungkinan akan dihadapi industri televisi secara keseluruhan. (Kompas.com)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved