Aplikasi

Analisis Rhenald Kasali, Gojek tak Punya Motor, Manfaat Asetnya Lebih Besar dari Garuda Indonesia

Ini Gojek tak punya satu pun motor, tapi valuasinya melebihi Garuda Indonesia. Rhenald Kasali mengatakan, valuasi Gojek lebih besar.

Editor: Budi Susilo
Kompas/Priambodo
Logo baru Gojek di helm dan jaket pengemudi saat acara pergantian logo (rebranding) Gojek bersama Pendiri dan CEO Gojek Group Nadiem Makarim, di Jakarta, Senin (22/7/2019). 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Saat ini zaman milenial sekarang ini, aplikasi Gojek bisa dibilang sedang bomming di Indonesia, awal mula muncul di Jakarta, apalagi kabarnya juga aplikasi seperti Gojek ini juga melebarkan sayap bisnis digital ke luar negeri. 

Keberadaan Gojek di jagad transportasi Indonesia awalnya ditentang namun perlahan namun pasti diterima sebab banyak masyarakat juga yang setuju ada Gojek, sempat ramai di Jakarta. Bisa disebut Gojek lakukan revolusi transportasi.

Kali ini pegiat aplikasi Gojek pun mendapat penilaian dari Rhenald Kasali, membandingkannya dengan maskapai Garuda Indonesia.

Berdasarkan data CB Insight, beberapa investor telah menyuntikkan dana kepada Gojek hingga mampu menyandang status decacorn, yang bervaluasi 10 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 142 triliun.

Hal ini membuat valuasi Gojek 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai Garuda Indonesia yang berada di angka Rp 11,07 triliun.

Lantas, mengapa valuasi Gojek lebih besar dibanding Garuda, padahal Garuda memiliki 142 pesawat dan aset senilai 4,5 miliar dollar AS.

Sementara Gojek tak memiliki satu pun motor untuk mengoperasikan bisnisnya.

Akademisi dan Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, valuasi Gojek lebih besar karena analisis bisnis di era digital sudah berubah.

Saat ini, aset tak lagi tangible seperti yang dimiliki Garuda Indonesia.

Ada aset intangible yang tak bisa diukur dan dicatat pada balance sheet akuntansi seperti yang dimiliki Gojek.

Ini Gojek tak punya satu pun motor, tapi valuasinya melebihi Garuda Indonesia.

Apa asetnya? Intangible, bentuknya seperti brand, skill, inovasi, dan keterampilan yang akhirnya menciptakan platform berbasis ekosistem," kata Rhenald Kasali di Jatiwarna, Bekasi, Selasa (13/8/2019).

Adapun aset intangible adalah aset yang tidak bisa dijamin perbankan, tapi melekat di diri seseorang ataupun pelaku usaha, yaitu keterampilan, inovasi, ide, dan sebagainya.

Meski tak bisa dicatat dengan metode akuntansi, aset ini justru memang digunakan pada bisnis dalam era digital.

"Hal inilah yang menyebabkan teori bisnis lama menjadi usang dan model bisnis tak lagi relevan di era digital," kata Rhenald.

Network effect Selain itu, Gojek dinilai lebih tinggi karena memiliki nilai network effect yang lebih besar ketimbang perusahaan konvensional yang berdiri sendiri (stand alone).

Network effect itu bisa dilihat pada jejaring super apps-nya yang menyatukan ekosistem pemilik warung, pengemudi, restoran, dan sebagainya.

"Memang benar, platform tidak untung dan bakar duit terus.

Ada yang menuding valuasinya manipulatif.

Pokoknya platform ini dihadang terus sama perusahaan yang stand alone.

Tapi mereka (platform) efeknya banyak, melibatkan UKM, membuka lapangan kerja. Lihat berapa banyak yang terbantu," ucap Rhenald.

"Ini yang dibilang Presiden Joko Widodo, gunakan cara-cara baru dalam berbisnis," katanya.

Luncurkan buku Kemarin, Rhenald Kasali kembali meluncurkan buku terbaru dalam seri disrupsi berjudul Seri on Disruption #MO, Sebuah Dunia Baru yang Membuat Orang Gagal Paham.

Buku ini merupakan hasil riset terbarunya yang memetakan dengan jelas gejala mobilisasi dan orkestrasi yang belakangan marak dilakukan dengan dukungan teknologi digital untuk berbagai kepentingan, tak terkecuali bisnis.

Ilustrasi cara panggilan bantuan darurat untuk pengemudi Gojek.
Ilustrasi cara panggilan bantuan darurat untuk pengemudi Gojek. (Gojek)

Buku ini seri disrupsi di mana mobilisasi dan orkestrasi sangat berperan dalam era digital.

Ada 20 orang yang bantu menulis, dan saya jadi mentornya," kata Rhenald Kasali.

Dia mengungkapkan, kata #MO sendiri merupakan singkatan dari "Mobilisasi" dan "Orkestrasi" yang masing-masing membawa perubahan signifikan terhadap banyak hal.

Mulai dari marketing, komunikasi publik, pelayanan jasa publik, leadership, hingga pengelolaan ekonomi.

Perubahan dalam mobilisasi misalnya munculnya isu melalui media sosial yang digaungkan menggunakan tagar sehingga menggiring opini publik ke dalam berbagai kepentingan.

Belum lama ini sempat heboh soal pemilik para unicorn lokal yang menjadi kebanggaan Presiden Joko Widodo ternyata sudah milik asing tepatnya Singapura.

Informasi tersebut terlontar dari hasil riset Google Temasek.

Sempat mendukung informasi tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong akhirnya meralat ucapannya sambil menyebut bahwa para unicorn lokal.

Yakni Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak, adalah milik lokal dan berbasis di negeri ini.

Para pihak unicorn sendiri juga membantah persoalan tersebut dan memastikan bahwa mereka merupakan perusahaan yang berbasis di Indonesia.

Salah satunya adalah Gojek.

Dalam catatan Kontan.co.id, Chief of Corporate Affairs Go-Jek Nila Marita menyatakan bahwa Gojek adalah perusahaan yang terdaftar di Indonesia dengan nama PT Aplikasi Karya Anak Bangsa.

Seluruh penanaman modal dan investasi ditanamkan dan dibukukan secara penuh di perusahaan tersebut.

Ia pun memastikan Gojek tidak memilik induk perusahaan di Singapura.

Menurut penelusuran Kontan.co.id dari data dari Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Gojek memang tercatat sebagai PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan berstatus sebagai penanaman modal asing alias PMA.

Alamatnya berada di Gedung Equity Tower Lantai 35, Jenderal Sudirman.

Yang menarik dari data tersebut adalah ternyata cukup banyak pemegang saham dari perusahaan aplikasi tersebut.

Selain ada nama pendiri seperti Nadiem Makarim yang masih punya tiga seri saham, terdapat juga beberapa pribadi dan perusahaan yang tercatat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Sebut saja ada Allianz Strategic Investments SARL, Anderson Investment Pte Ltd, Asean China Investment Fund (US) III LP, Gamvest Pte Ltd, Golden Signal Limited, dan Google Asia Pacific Pte Ltd.

Kemudian, ada pula KKR Go Investment Pte Ltd, London Residential II SARL, Natural Plus Holdings Limited, OZ GOJ Sculptor Investments SARL, dan investor asing lainnya.

Ada juga investor dalam negeri. Sebut saja PT Astra International Tbk, PT Asuransi Jiwa Sequis Life, PT Chandramahkota Prima, PT Global Digital Niaga, PT Northstar Pacific Investasi, PT Sigmantara Alfindo, PT Union Sampoerna, PT Radianx Capital LP, dan lainya.

Kemudian ada Rakuten Europe SARL, Sequoia Capital India Growth Investments, Sixteen Dragonfruit SARL, Tencent Mobilty Limited, WP Gojek Investments Partnership LP, WP Investments VI BV, dan lainnya.

Para pemegang saham tersebut mempunyai saham dalam seri yang berbeda dengan jumlah yang beragam. Dengan jumlah per seri dari puluhan juta rupiah hingga puluhan miliar rupiah.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Valuasi Gojek Lebih Besar dari Garuda, Ini Sebabnya." 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved