Enggan Komentar Tapi Percaya Diri, Ini Tanggapan Unik Firli soal Revisi UU KPK saat Masih Capim
Sebelumnya, Firli enggan memberi komentar lebih jauh saat ditanya soal kewenangan dewan pengawas sesuai revisi undang-undang karena masih Capim KPK.
TRIBUNKALTIM.CO - Komisi III DPR menetapkan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.
Penetapan Ketua KPK baru ini dilakukan pada Rapat Pleno Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Jumat (13/9/2019) dini hari ini.
Proses penetapan perwira tinggi bintang dua tersebut jadi ketua KPK ini juga berlangsung cepat dan tidak ada perdebatan.
Berikut lima pimpinan KPK terpilih sesuai dengan yang dibacakan oleh Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin:
1. Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali) dengan jumlah suara 50,
2. Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018) dengan jumlah suara 44,
3. Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember) dengan jumlah suara 51,
4. Alexander Marwata (komisioner KPK petahana sekaligus mantan Hakim Tindak Pidana Korupsi) dengan jumlah suara 53,
5. Irjen (Pol) Firli Bahuri (Kepala Polda Sumatera Selatan) dengan jumlah suara 56.

Enggan Komentar tapi percaya diri bakal jadi ketua atau komisioner KPK
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irjen Firli Bahuri mengatakan, syarat-syarat penghentian suatu perkara telah diatur dalam undang-undang.
Ketentuan itu dimuat dalam Pasal 109 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Pernyataan Firli ini disampaikan saat menjawab pertanyaan wartawan tentang rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, perihal kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan ( SP3) untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai selama satu tahun.
"UU Nomor 8/81 menyatakan Pasal 109 Ayat 2 dikatakan apa saja yang harus dihentikan," kata Firli usai menjalani proses uji kepatutan dan kelayakan capim KPK di Komisi III DPR, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Firli mengatakan, dalam Pasal 109 Ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, disebabkan karena tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang diperiksa ternyata bukan tindak pidana, dan tersangka meninggal dunia.
Ketentuan tersebut, kata Firli, harus menjadi pedoman.
Kendati demikian, Firli enggan berkomentar tentang setuju tidaknya dia terhadap rencana DPR merevisi UU KPK.
Ia hanya menyebut, segala sesuatu harus dijalankan dengan landasan hukum.
"Negara kita adalah negara hukum dan dijamin UUD 1945, di situ Negara Indonesia berdasarkan hukum, artinya segala sesuatu dijalankan hukum, tidak ada yang menjadi persoalan," kata dia.
Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Salah satu aturan yang bakal direvisi adalah kewenangan KPK menerbitkan SP3.
Adapun SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 yang berbunyi
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."
Tak masalah ada dewan pengawas
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian, Irjen Firli Bahuri tak masalah akan rencana pembentukan dewan pengawas selama hal itu bertujuan memperkuat KPK.
Rencana pembentukan dewan pengawas ini menjadi salah satu rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
"Sejauh untuk memperkuat KPK, (pembentukan dewan pengawas) saya rasa tidak ada masalah," kata Firli selepas menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Firli pun enggan memberi komentar lebih jauh saat ditanya soal kewenangan dewan pengawas sesuai revisi undang-undang.
"Nanti kalau saya sudah ketua atau komisioner KPK baru ya, sekarang kan masih calon kita," ujar dia.
Semua fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Salah satu aturan yang bakal direvisi mengatur tentang pembentukan dewan pengawas.
Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, dewan pengawas berwenang dalam 5 hal lainnya, yakni memberikan izin atau tidak memberikan izin:
- penyadapan
- penggeledahan
- dan/atau penyitaan.
Kemudian, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.
Dewan pengawas juga bertugas untuk melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun, serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK. (*)
Tonton juga :