Soal Pengawasan KPK, Novel Baswedan: Ada Kelompok yang Dapat Uang Banyak dan Takut Ditangkap
Penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan ada upaya sistematis menghancurkan lembaga antirasuah itu.
TRIBUNKALTIM.CO - Penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan ada upaya sistematis menghancurkan lembaga antirasuah itu.
Dia merasa ada persekongkolan jahat para pejabat membuat korupsi di Indonesia tetap subur.
“Belakangan ini ada upaya sistematis, terencana yang dilakukan dengan berkolaborasi, atau persengkokolan para pejabat membuat korupsi di Indonesia aman dan nyaman,” kata Novel kepada wartawan, Senin (16/9/2019).
Upaya merusak KPK, menurut Novel, terus dilakukan melalui upaya pecah belah dari dalam internal KPK.
Caranya dengan memberikan stigma radikal dan taliban bagi sebagian pegawai KPK.
Selain itu, disebar stigma lain agar seolah-olah KPK terlalu kuat melalui kewenangan penyidikan dan penyadapan.
Isu KPK telah melampaui batas dan melanggar HAM juga ditempel lewat pernyataan-pernyataan tersebut.
“Ini nampak sekali kepentingan SP3 bukan kepentingan KPK. Soal penanganan di KPK di pembuktian bermasalah tidak dibolehkan bebas. Ini jahil murokab. Bodoh keterlaluan,” tegasnya.
Dia menampik tuduhan yang dialamatkan bahwa KPK menggunakan instrumen penyidikan untuk alat menekan.
Soal penyadapan, Novel menyatakan bahwa kewenangan tersebut telah lumrah bagi lembaga penegak hukum, bahkan di negara lain.
“Penyadapan di Indonesia bukan cuma KPK, ada penegak hukum lain. Kedua, penyadapan oleh KPK digunakan dengan memenuhi ketentuan (lawfull), ikuti ketetapan perundangan yang legal. Tapi inlawfull di lembaga lain terjadi tapi tak dipermasalahkan,” katanya.
Masih soal penyadapan, lanjut Novel, KPK selalu meminta agar IT KPK di-coding agar aman dan tidak dilacak pihak lain.
Dia mempertanyakan tujuan pihak lain yang menyebut kewenangan KPK ini berlebihan.
“Kok cuma KPK yang dipermasalahkan. Alasannya biar tak boleh terjadi sehingga tidak ada yang tertangkap. Agar bertransaksi masalah tertentu jangan tahu dulu. Hal hal seperti ini yang saya sebut jahil murokab,” ujar Novel.
Begitu juga dengan pengawasan yang dilakukan KPK Novel menyatakan bahwa pihaknya pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban.
“Kami ungkap ke publik. Sementara penegak hukum lain dalam menyelesaikan perkara banyak yang tak tuntas, tak jelas tak ada pengawasan justru tak dipermasalahkan. Saya khawatir ada kelompok tertentu dapat duit banyak, ketakutan kekhawatiran ditangkap,” kata Novel.
Dukungan dari eks pimpinan KPK
Sementara itu, komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid I dan II mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Senin (16/9/2019) pagi guna membahas terpilihnya pimpinan baru dan pembahasan revisi Undang-Undang KPK di DPR.
"Kami datang ke KPK untuk berkomunikasi dengan pimpinan KPK untuk menggali lebih dalam apa, mengapa, dan bagaimana," ujar Ketua KPK periode 2003-2007 Taufiequrachman Ruki dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Senin siang.
Pertemuan itu dikatakan oleh pensiunan inspektur jenderal polisi tersebut didasari rasa kecintaan para mantan Pimpinan KPK kepada KPK serta komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi.
Sejumlah komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid I dan II mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Senin (16/9/2019) pagi.

Pertemuan dipicu polemik mengenai revisi UU KPK dan lima pemimpin baru KPK yang baru dipilih oleh DPR.
Kedua hal itu dituding sebagai upaya melemahkan pemberatasan korupsi.
Ruki hadir bersama Chandra M Hamzah, Tumpak Hatorangan Panggabean, Erry Riyana Hardjapamekas, Junino Jahja, Eko Soesamto Tjiptadi, Roni Ihram Maulana, dan Ina Susanti.
"Jangan sampai kendor dan pesan ini harus disampaikan kepada siapapun. Kepada KPK, pegiat anti-korupsi, dan semua pihak yang harus punya komitmen yang sama, termasuk Pemerintah dan DPR," ucap Ruki.
Chandra M Hamzah, Wakil Ketua KPK periode 2007-2011, menambahkan pertemuan hari ini menegaskan bersama bahwa gerakan pemberantasan korupsi tak boleh berhenti.
"Tidak ada negara maju yang tingkat korupsinya tinggi. Ini komitmen bersama," kata Chandra menanggapi polemik seputar revisi UU KPK dan pimpinan baru di lembaga antirasuah.
Jokowi tegaskan revisi UU KPK tetap jalan
Presiden Joko Widodo menegaskan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jalan terus meski mendapat kritik dari banyak pihak.
Jokowi pun mengajak semua pihak untuk mengawasi jalannya pembahasan revisi UU KPK antara pemerintah dan DPR.
"Mengenai revisi UU KPK itu kan ada di (gedung) DPR (pembahasannya). Marilah kita awasi bersama-sama, semuanya awasi," kata Jokowi di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Jokowi juga menegaskan bahwa substansi revisi UU KPK yang diinginkan pemerintah sampai saat ini tidak berubah dari yang sudah disampaikan sebelumnya.
Pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Pengawas, penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, wewenang KPK bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), hingga status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara.
Substansi yang disusulkan pemerintah itu hanya sedikit berubah dari draf RUU KPK yang diusulkan di DPR.
Misalnya, jangka waktu penghentian penyidikan yang diperpanjang dari satu tahun menjadi dua tahun.
Lalu, Jokowi juga menolak KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melakukan penuntutan.
Jokowi juga tidak setuju jika pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK.
"Saat ini pemerintah sedang bertarung memperjuangkan substansi-substansi yang ada di revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR seperti yang sudah sampaikan beberapa waktu yang lalu," kata Jokowi.
Salah satu kritik terhadap revisi UU KPK adalah berpotensi hilangnya KPK sebagai lembaga yang independen.
Sebab, revisi UU KPK akan menghapuskan frasa KPK sebagai lembaga negara yang independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".
Meski demikian, Jokowi tetap mengklaim bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu.
Harapan itu kembali diungkap Jokowi.
"KPK tetap dalam posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi. Ini tugas kita bersama," tuturnya.
Sebelumnya, revisi UU KPK mendapat kritik dan penolakan dari kalangan akademisi, aktivis antikorupsi, hingga pimpinan KPK sendiri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai klaim Presiden Joko Widodo yang ingin memperkuat KPK lewat revisi Undang-Undang hanya delusi semata.
Donal menilai, sikap Presiden Jokowi atas revisi Undang-Undang KPK sebenarnya tak berbeda jauh dari draf yang disusun DPR.
Ia menyimpulkan Presiden dan DPR sama-sama ingin merevisi UU untuk melemahkan KPK.
"Kalau DPR itu drafnya sangat melemahkan, presiden kadarnya lebih kecil dari DPR. Itu saja. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah," ucap Donal.
Sementara itu, tiga pimpinan KPK menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan lembaganya ke Presiden karena merasa tidak pernah diajak bicara dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK.
Tiga pimpinan KPK itu yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode Syarif.
Ketiganya juga beranggapan revisi UU yang dilakukan bisa melemahkan KPK.