Darurat Kabut Asap

Jarak Pandang Sudah di Atas 5 Kilometer, BMKG Berau Mengakhiri Peringatan Dini Kabut Asap

BMKG Berau, Tekad Sumardi menjelaskan, masa darurat kabut asap ini diakhiri setelah dua hari berturut-turut, kabut asap berkurang dan jarak pandang.

Editor: Budi Susilo
TribunKaltim.Co/Geafry Necolsen
Tugboat penarik tongkang batu bara di Berau Kalimantan Timur pada Senin (23/9/2019) pagi. Kabut asap yang sejak bulan Agustus 2019 lalu menyelimuti wilayah Berau, akhirnya berangsur normal. Jatak pandang punencapai 5 kilometer dan masyarakat kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. 

TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG Berau, Kalimantan Timur pada Senin (23/9/2019) akhirnya mengakhiri masa darurat kabut asap yang telah ditetap sejak Jumat (13/2019) lalu.

Kepala BMKG Berau, Tekad Sumardi menjelaskan, masa darurat kabut asap ini diakhiri setelah dua hari berturut-turut, kabut asap berkurang dan jarak pandang kembali normal.

"Berdasarkan analisa atmosfer, pantauan sebaran asap melalui citra satelit dan berkurangnya titik panas (hot spot) di wilayah Kalimantan, termasuk di Kabupaten Berau, maka peringatan dini cuaca ekstrim akibat kabut asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan telah diakhiri," kata Tekad Sumardi.

Pagi hari, wilayah Berau Kalimantan Timur masih semoat diselimuti kabut, namun bukan kabut asap dari sisa pembakaran, melainkan kabut akibat kondensasi.

Dijelaskannya, setelah diguyur hujan lebat pada hari Sabtu (21/9/2019) kemarin, kabut asap berangsur-angsur normal. Jarak oandang yang semula di bawah 1 kilometer, kini mencapai 5 kilometer.

Langit juga sudah terlihat biru cerah. Aktivitas masyarakat pun sudah kembali normal, setelah proses belajar-mengajar di semua sekolah sempat diliburkan karena kabut asap pekat.

Tekad Sumardi berharap, kondisi cerah seperti ini tetap terjaga.

Namun pihaknya mengingatkan, agar tetap mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan, mengingat Kabupaten Berau masih mengalami kekeringan hingga puncak musim kemarau pertengahan bulan Oktiber 2019 ini.

"Puncak musim kemarau ini yang harus diwaspadai, agar tidak sampai terjadi kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali," tegasnya. 

Karena itu pihaknya mengimbau kepada pemerintah daerah dan juga masyarakat Berau untuk agar mewaspadai segala bentuk potensi kebakaran hutan dan lahan, serta pemukiman.

"Hentikan aktivitas membakar lahan. Jangan membakar sampah, jangan membuangbpuntung rokok sembarangan," tegasnya.

Dalam satu dasarian atau 10 hari ke depan, Kabupaten Berau akan mengalami hari tanpa hujan. Tekad Sumardi menjelaskan, selama musim kemarau ini memang tetap terjadi hujan, meski durasinya sangat singkat dan jarang.

"Hasil monitoring hari tanpa hujan, di dasarian periode kedua di bulan September (2019) ini, secara umum, termasuk wilayah Kabupaten Berau berada dalam kriteria panjang dan menengah," kata Tekad Sumardi.

Sebelumnya, BMKG Berau menerbitkan peringatan dini tentang kabut asap pada hari Jumat (13/9/2019). Surat kedua diterbitkan hari Sabtu (14/9/2019) dan peringatan kabut asap ini berlaku selama 4 hari, hingga Selasa (17/9/2019) kemarin.

BMKG kembali menyampaikan peringatan dini dengan perihal yang sama. Kali ini, peringatan dini bencana kabut asap ini berlaku hingga Jumat (20/9/2019) nanti.

Meski kabut asap pada hari Rabu (18/9/2019) sudah mulai berkurang, namun pihaknya tetap belum mencabut status cuaca ekstrem kabut asap, dan mengatakan layanan penerbangan masih belum beroperasi.

"Karena jarak pandang masih 1.500 meter," ujarnya.

Kemudian pada 20 September 2019, BMKG Berau kembali memperpanjang peringatan dini kabut asap hingga 24 September namun masa darurat kabut asap ini berakhir lebih awal.

Di tempat terpisah, fenomena perubahan warna langit merah di Desa Pulau Mentaro, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi yang terjadi pada Sabtu (21/9/2019) mulai pukul 10.42 WIB menjadi viral.

Perubahan warna ini bahkan sempat membuat warga setempat tidak berani keluar rumah, di samping karena kondisi udara masih berasap.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ( BMKG), Siswanto mengungkapkan bahwa warna merah yang tampak di langit Jambi merupakan adanya sejumlah titik panas dan sebaran asap yang sangat tebal.

"Hasil analisis citra satelit Himawari-8 tanggal 12 September di sekitar Muaro Jambi, tampak terdapat banyak titik panas dan sebaran asap yang sangat tebal," ujar Siswanto dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com pada Minggu (22/9/2019).

Menurutya, asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Muaro Jambi berbeda dari daerah lain yang juga mengalami kebakaran.

Sebab, daerah lain yang mengalami kebakaran pada nampak berwarna cokelat, sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Muaro Jambi berwarna putih saat dilihat melalui satelit.

Warna putih ini mengindikasikan bahwa lapisan asap di Muaro Jambi sangat tebal. Hal ini dimungkinkan karena di daerah tersebut ada karhutla, terutama pada lahan-lahan gambut.

Selain itu, Siswanto menjelaskan bahwa tebalnya asap juga didukung oleh tingginya konsentras debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikron atau PM10.

"Hari ini, Sabtu (21/9/2019), tengah malam di Jambi, pengukuran konsentrasi PM10 = 373,9 ug/m3, menunjukkan kondisi tidak sehat," ujar Siswanto.

Sementara itu, kondisi polutan udara di Pekanbaru, Riau dilaporkan lebih parah, yakni konsentrasi debu polutan PM10 sebesar 406,4 ug/m3 yang termasuk kategori berbahaya.

Mengenal hamburan mie

Tak hanya itu, penyebab langit di Muaro Jambi menjadi kemerahan, karena adanya hamburan sinar matahari yang berukuran kecil atau dikenal dengan istilah hamburan mie.

"Jika ditinjau dari teori fisika pada panjang gelombang sinar tampak langit berwarna merah ini disebabkan oleh adanya hamburan sinar matahari oleh partikel mengapung di udara yang berukuran kecil (aerosol), dikenal dengan istilah hamburan mie (Mie Scattering)," ujar Siswanto.

Ia juga menjelaskan bahwa fenomena Mie Scattering ini terjadi saat diameter aerosol dari polutan di atmosfer sama dengan panjang gelombang dari sinar tampak matahari.

Diketahui, panjang gelombang sinar merah terdapat di ukuran 0,7 mikrometer.

Dari informasi tersebut, Siswanto menyampaikan, pihaknya mengetahui bahwa konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikrometer sangat tinggi terjadi di sekitar wilayah Jambi, Palembang, dan Pekanbaru.

Meski begitu, yang terdampak perubahan langit menjadi meah hanya Muaro Jambi saja.

Siswanto menjelaskan bahwa penyebab langit merah ini merupakan kondisi debu polutan di Muaro Jambi dominan berukuran 0,7 mikrometer atau lebih dengan konsentrasi sangat tinggi. "Selain konsentrasi tinggi, tentunya sebara partikel polutan ini juga luas untuk dapat membuat langit berwarna merah," ujar dia.

Tidak hanya terjadi sekali ini, ternyata Indoneia juga pernah mengalami kejadian serupa. Pada tahun 2015, daerah Palangkaraya, Kalimantan Tengah sempat mengalami beberapa kali perubahan warna langit menjadi warna orange akibat karhutla.

Perubahan warna langit ini juga berarti ukuran debu partikel polutan (aerosol) saat itu dominan berukuran lebih kecil daripada fenomena langit merah di Muaro Jambi.

Ada cerita pilu dari para petugas pemadam kebakaran hutan dan lahan atau karhutla di Kalimantan Timur.

Para pemadam terdiri dari petugas Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Timur yang notabene sebagai calon lokasi ibu kota baru Repubulik Indonesia. 

Dan ditambah relawan yang tergabung dalam Zero Fire Forest.

Saat berjuang melakukan pemadaman, tak jarang mereka kehabisan stok makanan, tersesat di tengah hutan, hingga kelelahan karena terpapar terlalu banyak asap.

Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim Shahar Al Haqq mengatakan, tim pemadam kadang berjalan kaki puluhan kilometer untuk menuju titik api.

Shahar yang juga sebagai koordinator tim Zero Fire Forest itu mengatakan, anggota tim pemadam kemudian membangun posko di sekitar titik api.

Kehabisan makanan persedian air, beras dan makanan ringan menjadi bekal setiap kali turun ke lokasi.

Setelah habis bahan makanan, mereka harus kembali ke pos terdekat atau pemukiman warga.

"Kalau kami sudah masuk hutan, jaraknya misalnya 100 kilometer. Tak mungkin energi kita dihabiskan hanya pikul makanan. Terpaksa stok seadanya. Setelah habis, terpaksa kembali," kata Shahar, Sabtu (21/9/2019).

Alat komunikasi menggunakan radio komunikasi (HT) hanya berjarak maksimal 5 kilometer.

Jika jarak sudah melebihi batas maksimal, HT tak berfungsi.

Pengiriman stok makanan pun menjadi terkendala.

Otomotis kami balik ke pemukiman yang jaraknya puluhan kilometer.

Kadang waktu habis hanya di jalan kaki masuk keluar hutan, kendaraan enggak bisa masuk, karena enggak ada akses," kata Shahar.

Untuk itu, biasanya disepakati menggunakan petunjuk waktu jika alat komunikasi tak berfungsi.

"Gantian antar regu. Kami janjian dengan regu lain. Sekitar jam sekian kami harus kembali, regu lain masuk. Begitu seterusnya.

Memadamkan api di hutan itu setengah mati, bukan perkara mudah," ujar Shahar.

Tersesat di hutan Tak hanya habis makanan, Shahar menyebut, masalah lain yang juga dialami tim adalah tersesat di dalam hutan.

Shahar mengatakan, ada anggota tim yang hendak keluar hutan usai pemadaman.

Namun tak sampai ke posko. Jalan kaki sudah berjam-jam, tapi tetap kembali ke tempat semula. Awalnya, dua tim sama-sama beranjak dari titik api yang sama menuju posko, karena api sudah padam. Jarak antar tim hanya 100-300 meter.

Namun, suatu saat, ketika dipanggil untuk mendekat, tim yang satu lagi justru menjauh sampai sahutan suara mereka hilang.

Menurut Shahar, hampir 4 jam, tim yang menghilang tidak juga kembali.

"Ternyata mereka berputar-putar tapi tetap kembali ke tempat semula, ini peristiwa aneh, pasti ada penunggu," kata Shahar.

Kejadian itu terjadi di daerah Labanan, Kabupaten Berau. Pingsan akibat asap Kemudian masalah lain, banyak tim kelelahan, bahkan pingsan karena asap.

Beberapa anggota tim harus dievakuasi keluar hutan, karena tak mampu berjalan akibat kelelahan.

Menurut Shahar, anggota yang kelelahan sampai pingsan harus digendong oleh rekan-rekan yang lain hingga keluar dari kabut asap.

Untuk itu, menurut Shahar, anggota tim yang ikut dalam pemadaman kebakaran hutan harus benar-benar diseleksi.

"Kondisi harus fit dan diberi pelatihan khusus. Kalau yang sakit-sakitan, lebih baik jangan ikut, malah kita yang repot di dalam hutan," kata Shahar.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "BMKG Ungkap Langit Merah di Muaro Jambi Akibat Titik Panas."

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved