Jelang Deadline, Presiden Joko Widodo Belum Terbitkan Perppu KPK, Ini Dugaan Ray Rangkuti
Jelang deadline, Presiden Joko Widodo belum terbitkan Perppu KPK, dugaan Ray Rangkuti tersandera partai pendukung Jokowi
TRIBUNKALTIM.CO - Jelang deadline, Presiden Joko Widodo belum terbitkan Perppu KPK, dugaan Ray Rangkuti tersandera partai pendukung Jokowi.
Diketahui, banyak elemen mahasiswa dan masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK, untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menduga Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan mengeluarkan Perppu UU KPK.
• Berita terkini Gunung Merapi, Semburan Awan Panas Kali Ini Lebih Besar dari 2009
• Ramalan Zodiak Selasa (15/10/2019): Aquarius Gila Pekerjaan, Pisces dalam Masalah Keuangan
• Sebelum Bunuh Diri, Sulli Ungkap Sederet Kabar Buruknya, Menari Setengah Hati dan Fobia Sosial
Pasalnya, Ray Rangkuti menyebut, 3 hari menjelang deadline UU KPK, Presiden Joko Widodo masih diam dan tak membuat peryataan apapun.
Hal itu disampaikan Ray Rangkuti saat diskusi bertajuk 'Wajah baru DPR: antara Perppu dan Amandemen GBHN' di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Senin (14/10/2019).
"Tinggal 3 hari lagi tanggal 17 UU ini berlaku Perppu seperti yang dijanjikan Pak Jokowi seperti makin hari makin menguat.
Saya merasa bukan makin menguat akan dikeluarkan, tetapi terlihat makin menguat makin menjauh menjadi awan-awan nasib Perppu KPK ini," kata Ray.
Selain itu, Ray melihat ada kondisi yang berbeda saat ini dengan Jokowi.
Ia menilai seluruh kebijakan Jokowi dikontrol oleh partai pendukungnya sehingga tidak berani melawan kepentingan partai politik dan menuruti desakan masyarakat.
"RUU KPK, Presiden sama sekali tidak berani berlawanan dengan koalisi.
Saat ini situasi dimana presidennya dikontrol oleh partai dan Presiden bekerja untuk kepentingan partai bukan bekerja untuk kepentingan publiknya.
Artinya bukan mendukung langkah presidennya tetapi sebaliknya adalah partainya menguasai presidennya," ucap Ray Rangkuti.
"Dan inilah kali pertama setidaknya dua bulan terakhir ini kita melihat Presiden tidak dijaga oleh partai koalisinya.
Sebaliknya presiden menjaga kepentingan koalisinya di legislatif wabil khusus lagi koalisi itu PDIP," tambahnya.
Ray juga melihat, ada kondisi dimana terjadi desakkan oleh berbagai elemen masyarakat sudah cukup menjadi pertimbangan agar Perppu KPK dikeluarkan.
"Secara konstitusional cukup alasan presiden keluarkan Perppu KPK karena memang betul situasinya sudah mendesak dan sekian orang dipenjara gara-gara memperjuangkan Perppu.
Saat bersamaan ada beberapa orang setidaknya 5 mahasiswa dalam konteks memperjuangkan kembali KPK dengan versi lama saya kira itu lebih cukup untuk situasi genting," jelas Ray Rangkuti.
Ditertawakan Orang Luar Negeri
Kembali bicara soal Perppu KPK, Arteria Dahlan: kita ditertawakan orang luar negeri.
Diketahui, polemik mengenai revisi UU KPK, masih bergulir.
Berbagai elemen masyarakat berharap Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK, agar UU KPK hasil revisi tak berlaku.
• Setelah Mata Najwa, Arteria Dahlan Kembali Buka Suara di Forum Ini soal UU KPK
• VIDEO Saat Arteria Dahlan Protes tak Dipanggil Yang Terhormat oleh Pimpinan KPK
• Setelah Tunjuk-tunjuk Emil Salim, Arteria Dahlan Dicap Pembohong oleh Laode M Syarif KPK
Politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan menyebut bahwa polemik revisi Undang-Undang tentang /Komisi Pemberantasan Korupsi membuat Indonesia menjadi tertawaan orang di luar negeri.
Sebab, UU hasil revisi yang baru saja disahkan DPR dan pemerintah itu justru ditolak oleh masyarakat dan mahasiswa lewat aksi unjuk rasa.
Padahal, Indonesia sudah memiliki Mahkamah Konstitusi yang bertugas untuk menguji materi UU yang dipermasalahkan oleh masyarakat.
Menurut Arteria Dahlan, banyak orang luar yang justru mempertanyakan kenapa masyarakat justru mendesak Presiden untuk mencabut UU KPK hasil revisi lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( perppu).
"Saya baru dari luar negeri, kita ini diketawain orang luar.
Kenapa di negaramu orang complain atau keberatan terhadap produk undang-undang kok turun ke jalan?
Padahal negara sudah mempunyai yang namanya Mahkamah Konstitusi, sudah memiliki yang namanya Ombudsman untuk memeriksa maladministrasi," ujar Arteria Dahlan saat dihubungi, Jumat (11/10/2019).
"Ini menjadi pertanyaan dunia internasional, bagaimana legitimasi negara, bagaimana komitmen kebangsaan yang dibuat pemerintah bersama DPR bisa dinihilkan begitu saja oleh dengan orang turun ke jalan," kata dia.
Arteria Dahlan mengatakan, ia akan menghormati apa pun keputusan yang akan dibuat Presiden Joko Widodo terkait polemik UU KPK.
Namun, Arteria Dahlan menilai alangkah baiknya jika pihak yang tidak puas dengan UU KPK hasil revisi mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
"Saat ini kan kanal yang paling pas konstitusional itu adalah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dalam konteks permohonan uji materi (judicial review) undang-undang," kata dia.
Arteria Dahlan menilai mengajukan uji materi ke MK akan jauh lebih baik ketimbang kisruh menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK.
Apalagi, tuntutan tersebut dilakukan dengan aksi turun ke jalan atau demonstrasi.
Ia mengimbau, agar masyarakat tidak meniadakan instrumen-instrumen lembaga resmi negara.
"Ketimbang kita kisruh gaduh di Perppu KPK, sekarang ini kita juga jangan sampai kita meniadakan instrumen dan kanal-kanal demokrasi yang sudah ada," ujarnya.
Arteria Dahlan mengaku tetap menghormati beragam pendapat masyarakat yang menganggap UU KPK hasil revisi dapat melemahkan kerja komisi antikorupsi.
Namun ia ingin segala permasalahan termasuk kisruh revisi UU KPK diselesaikan secara hukum.
"Kita juga harus lihat apapun pendapat kita harus berlandaskan pada hukum.
Indonesia negara hukum, kanalnya sudah jelas.
Akan menjadi masalah tatkala kita menyelesaikan masalah dengan masalah lain," kata Arteria Dahlan.
Pelemahan KPK jadi sorotan dunia revisi UU KPK memang jadi sorotan dunia internasional.
Akan tetapi, sorotan tertuju karena revisi dinilai malah melemahkan lembaga antirasuah yang merupakan produk reformasi itu.
Misalnya, kekhawatiran datang dari sejumlah lembaga antikorupsi dari berbagai negara yang tergabung dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
UNCAC khawatir penerapan UU KPK hasil revisi menggerorogoti kemampuan KPK dalam mencegah, menyelidiki, dan menuntut kasus korupsi secara efektif.
Koalisi UNCAC pun menyinggung Konvensi PBB Melawan Korupsi yang ditandatangani pada 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
"Pasal 6 dan 36 dari UNCAC mengharuskan setiap negara untuk memastikan keberadaan badan antikorupsi khusus dalam mencegah korupsi dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan kemandirian yang diperlukan dan dapat melaksanakan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh yang tidak semestinya," tulis Koalisi UNCAC dikutip dari situs resmi UNCAC.
Koalisi UNCAC pun menyoroti sejumlah poin dalam UU KPK hasil revisi yang dianggap bermasalah.
Poin itu antara lain kedudukan KPK sebagai cabang lembaga eksekutif, keberadaan dewan pengawas, serta proses kilat pembuatan UU KPK.
"Kami menyerukan kepada (lembaga) eksekutif dan legislatif Indonesia untuk menegakkan 'The Jakarta Principles' pada independensi dan efektivitas lembaga anti-korupsi," kata Koalisi UNCAC.
Di samping itu Koalisi UNCAC juga mendukung langkah sejumlah kelompok masyarakat sipil yang hendak mengajukan judicial review terkait UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami berharap, keputusan pengadilan akan membantu untuk memastikan KPK dapat melanjutkan perang melawan korupsi di Indonesia secara efektif dan independen," tutur Koalisi UNCAC. (*)