Desa Wonorejo jadi Desa Fiktif, Gara-gara Warga Tergiur Ganti Rugi dari Perusahaan Tambang Batu Bara

Desa Wonorejo jadi Desa Fiktif, Gara-gara Warga Tergiur Ganti Rugi dari Perusahaan Tambang Batu Bara

Editor: Samir Paturusi
TribunKaltim.CO/HO/Kompas.Com
Desa Wonorejo, Kalimantan Selatan yang menjadi desa fiktif 

TRIBUNKALTIM.CO-Desa Wonorejo jadi desa fiktif, gara-gara warga tergiur ganti rugi dari perusahaan tambang batu bara

Presiden Joko Widodo yang mencurigai adanya desa fiktif dan tetap menerima Dana Desa setiap tahun mulai terungkap.

Desa Wonorejo yang berada di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan ini ternyata sudah dua tahun menerima dana desa dari pusat, sementara para warganya atau penghuninya telah meninggalkan desa tersebut.

Warga meninggalkan desa ini bukan tanpa sebab. Mareka menjual lahan kepada perusahaan tambang batu bara, karena diiming-iming harga ganti rugi yang cukup besar.

Bahkan sejak dibeli lahan warga, sejak dua tahun desa ini tak berpenghuni lagi dan warga memilih untuk pindah ke desa lain. 

Firasat Guru Desak Putu Tiara Pembawa Baki Paskibra Meninggal Misterius, Sekolah Sempat Gelar Ritual

Hari Jumat Telah Tiba Amalan- amalan dan Waktu yang Sangat Mustajab, Doa - doa Kita Bakal Dikabulkan

Hari Pahlawan, Enam Tokoh Bakal Terima Gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Jokowi, Ini Agendanya

Dilansir dari Kompas.Com, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kalsel Zulkifli mengatakan, penduduk Desa Wonorejo tergiur dengan besaran ganti rugi yang disodorkan perusahaan tambang.

"Kan masyarakat diiming-imingi nih dapat duit instan dengan cara cepat, akhirnya satu persatu warganya pindah ke desa-desa yang lain," ujar Zulkifli, saat dihubungi, Jumat (8/11/2019).

Walaupun penghuninya sudah tidak ada, Zulkifli menyebut, Desa Wonorejo selama 2 tahun terakhir tetap menerima dana desa.

Tetapi, lanjut Zulkifli, dana desa tersebut tidak digunakan sama sekali, melainkan dikembalikan ke pemerintah pusat.

"Jadi, memang selama 2 tahun desa itu menerima dana desa, tapi oleh pemerintah Kabupaten Balangan tidak dicairkan, tetapi dikembalikan ke pusat," terang dia.

Zulkifli mengatakan, akan segera memverifikasi ulang seluruh desa yang ada di Kalsel.

Menurutnya, apa yang terjadi pada Desa Wonorejo yang ditinggal penghuninya demi rupiah bisa juga terjadi pada desa-desa lainnya.

Apalagi, di Kalsel masih banyak perusahaan tambang yang lahannya berseberangan dengan lahan milik warga.

Bukan tidak mungkin, akan ditemukan lagi desa yang bernasib sama dengan Desa Wonorejo.

"Itu tidak menutup kemungkinan, tapi kalau masyarakatnya masih ada yang tinggal banyak, itu masih layak selama masih memenuhi persyaratan jumlah penduduk, tapi kalau penduduknya tinggal sedikit, itu enggak bisa lagi disebut desa," tegas Zulkifli.

Untuk tahun 2020 terdapat 1.874 desa di Kalsel yang menerima dana desa, besarannya mencapai Rp 800 juta hingga Rp 900 juta rupiah per desa dengan total anggaran 1,5 triliun rupiah.

Zulkifli pun yakin jika di Kalsel, hanya 1 desa fiktif yang masih menerima dana desa.

Kabupaten Konawe Ditemukan Tiga Desa Fiktif

Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara mengatakan, tiga desa yang disebut fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), tidak pernah menerima bantuan dana desa dari Kementerian Desa.

Tiga desa tersebut yaitu Desa Uepai dan Desa Morehe, di Kecamatan Uepai, serta Desa Ulu Meraka di Kecamatan Onembute.

Keputusan itu berdasarkan hasil rekomendasi pemeriksaan Inspektorat Provinsi Sultra pada tanggal 27 Juli 2018, sehingga tiga desa itu tidak boleh mendapat bantuan dana desa.

"Jadi tiga desa itu memang tidak ada, sesuai dengan hasil pemeriksaan Inspektorat Pemprov Sultra. Jadi dana desa sebesar Rp 5,8 miliar itu tidak boleh dicairkan sejak tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018," ungkap Gusli, Kamis (7/11/2019).

Dana desa sebesar Rp 5,8 miliar masih tersimpan di kas daerah, dan tidak dipergunakan untuk kegiatan apapun.

Jika ada pernyataan yang menyebutkan bahwa tiga desa itu masih menerima dana desa, Gusli meminta untuk menanyakan langsung ke Kemendes.

Desa Uepai dan Morehe Gusli menjelaskan, Desa Uepai tercantum karena faktor human error. Ada kesamaan nama antara Desa Uepai dan Kelurahan Uepai.

"Kenapa bisa? Karena nama Kelurahan Uepai sama dengan nama Desa Uepai, sementara kelurahan tidak bisa terima dana desa," ujar dia.

Sedangkan Desa Morehe di Kecamatan Uepai juga tidak diberi dana desa karena terdaftar di wilayah Kabupaten Kolak Timur.

"Desa Morehe juga disebabkan oleh karena pemekaran Kolaka Timur, sehingga wilayah administrasi Kabupaten Konawe masuk ke dalam koordinat Koltim. Sehingga kami akan sanggah nanti di kementerian," ujar Gusli.

Camat Uepai Jasman menjelaskan, Desa Morehe tidak pernah menerima dana desa terhitung sejak 2015.

“Wilayah Desa Morehe tidak jelas, karena berada di kawasan hutan lindung setempat,” ucap dia.

Pada umumnya warga Desa Morehe hidup berpindah-pindah alias tidak menetap. Sebagian warga berkebun dan tinggal di desa lain.

Desa Morehe, kata Jasman, berstatus sengketa. Desa ini menjadi perebutan antara Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Timur pada tahun 2014.

Sementara Desa Uepai tidak mendapat pengakuan karena terdaftar sebagai desa definitif.

Sebelumnya, Uepai merupakan nama desa yang pada tahun 2003 berubah status menjadi kelurahan, dana akhirnya menjadi kecamatan.

"Pemekaran Kecamatan Uepai tahun 2003, sebelumnya Uepai statusnya masih desa. Waktu berjalan, Desa Uepai naik status menjadi kelurahan.

Setelah mekar jadi kelurahan, Uepai menjadi Desa Tangkondimpo pada tahun 2007,” kata Jasman.

Pernyataan tersebut senada dengan keterangan Kepala Desa Tangkondimpo, Budusila. Ia menjelaskan, desa yang ia pimpin sebelumnya bernama Desa Uepai.

Namun, mengalami pemekaran sehingga berganti nama menjadi Desa Tangkondimpo.

“Yang saya tahu, Desa Uepai pernah ada, tapi sekarang saya tidak tahu lagi karena sudah diduduki oleh kelurahan," ucap dia.

"Yang saya tahu sebelumnya ini Desa Uepai, karena Uepai sudah berubah menjadi kelurahan, lalu mengalami pemekaran dan Tangkondimpo menjadi satu desa," kata Budusila menambahkan.

Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara mengatakan, Desa Ulu Meraka tak lagi ada karena desa ini sama dengan nama desa yang ada di Kecamatan Onembute.

Hal itu juga sejalan dengan penjelasan Camat Lambuya, Jasmin. Jasmin menyampaikan, Desa Ulu Meraka dulunya berada di Kecamatan Lambuya.

Namun, kini nama Ulu Meraka terdaftar sebagai nama desa di Kecamatan Onembute, bukan lagi di Lambuya.

“Dulu masih bergabung kecamatan di Kecamatan Induk Lambuya, Puriala, dan Onembute.

Memang masih ada Desa Ulu Meraka, tapi ketika mekar ini dua kecamatan, Puriala dan Onembute. Desa Ulu Meraka sudah ada di Onembute," ujar Jasmin seperti dilansir Kompas.Com (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved