Facebook dan Twitter Hapus Video Kampanye Donald Trump Soal Kasus George Floyd, Kena Gugat Hak Cipta
Dua raksasa media sosial, Facebook dan Twitter hapus video kampanye Donald Trump terkait kasus George Floyd karena terkena gugatan hak cipta.
"Pilihan yang dibuat Twitter ketika mereka menekan... (adalah) keputusan editorial murni dan sederhana," ujar Trump.
"Di saat-saat itu, Twitter berhenti menjadi platform publik yang netral dan mereka menjadi editor dengan sudut pandang, dan saya pikir kita dapat mengatakan itu ke platform lain juga."
"Apakah Anda sedang melihat Google, apakah Anda sedang melihat Facebook, mungkin Anda sedang melihat Facebook, mungkin orang lain."
Menurut Donald Trump, perintah eksekutifnya bertujuan "menegakkan kebebasan berbicara dan Hak-Hak rakyat Amerika."
Dari akun Instagramnya, ini pengumuman Donald Trump saat mengumumkan perintah eksekutif tersebut:
Namun sebelum perintah eksekutif ini berlaku, Donald Trump menyadari akan ditentang di pengadilan oleh kubu oposisi.
Oposisi mengatakan, tujuan Donald Trump adalah untuk menjinakkan platform media sosial agar memudahkan dirinya menjadi raksasa politik terbesar senegara.
Meski Donald Trump mengeluh para pimpinan media sosial condong ke arah liberal, ia sangat menikmati bermain Twitter, Instagram, Facebook, dan kanal-kanal lainnya, yang terkadang ia isi dengan disinformasi atau penghinaan kepada oposisi.
Saat ditanya mengapa dia tidak pergi begitu saja dari Twitter, di mana dia memiliki 80 juta followers, Donald Trump mengatakan dia akan pergi, jika sudah tidak bergantung pada platform itu untuk memotong akses ke media tradisional, yang dia keluhkan tidak adil.
"Ada begitu banyak berita palsu, ini memalukan," ujarnya kepada wartawan yang meliputnya di Oval Office.
Donald Trump bahkan memiliki keinginan untuk menutup Twitter jika punya cara melakukannya.
"Jika itu bisa ditutup secara hukum, saya akan melakukannya."
Tanggapan Facebook dan Twitter
Sebelumnya, Bos Facebook Mark Zuckerberg mengatakan kepada Fox News, bahwa jejaring media sosial miliknya memiliki kebijakan berbeda.
"Saya sangat percaya bahwa Facebook seharusnya tidak menjadi penentu kebenaran dari semua yang dikatakan secara online," ujarnya pada Rabu (27/5/2020).