New Video
NEWS VIDEO Memetik Surga di Puncak Keramat Gunung Karst Mengkuris Kutai Timur
Panorama awan putih yang bergulung dengan kabut khas pegunungan karst menanti. Begitu pun dengan godaan matahari terbit dari atas puncak gunung.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani | Editor: Wahyu Triono
TRIBUNKALTIM.CO, KUTIM - Ada telapak tangan menampar dadaku berkali-kali. Tidak sakit. Namun cukup membuat mata terbuka. Masih penuh malas. Kuperiksa jam tangan yang lengket di pergelangan tangan. Lamat-lamat kuterawang.
Cahaya tipis memaksa mataku memicing dengan serius. Jarum jam hampir merapat ke arah angka empat. Astaga. Waktunya pendakian puncak keramat Gunung Karst Mengkuris.
Tiba-tiba kesadaran melompat drastis. Kontan tubuh beranjak melepas kelelahan. Terbangun dari nikmatnya dendang suara binatang malam di kaki Gunung Karst Mengkuris, Desa Batu Lepoq, Karangan, Kutai Timur.
Di salah satu sudut dinding triplek rumah, Minggu (52) masih dengan gelas kopinya tadi malam, terlihat senyum-senyum sendiri.
Ia tampak menikmati orang-orang yang mondar-mandir di depannya. Ada yang ke kamar kecil. Sebagian sibuk membangunkan rekan-rekan yang masih pada ngorok. Pun ada yang berkerumun di depan wajan berisi mie instan.
"Begini saja saya. Belum ada tidur. Nanti saja, daripada kalian kelewatan. Segera siap-siap, sebelum langit terang," tutur Minggu, penjaga Gua Karst Mengkuris.
Kata Pak Minggu, begitu diriku kerap memanggilnya, tak lengkap bila berkunjung ke Gua Karst Mengkuris tanpa mendaratkan kaki di puncak gunung.
Panorama awan putih yang bergulung dengan kabut khas pegunungan karst menanti. Begitu pun dengan godaan matahari terbit dari atas puncak gunung. Sensasi membayangkan saja sudah membuat jantung berdebar, apalagi merasakannya langsung.
Gayung bersambut. Saat disodorkan, Tim Ekspedisi Jurnalistik Karst Mengkuris menyambut tawaran tersebut. Nah, puncak Gunung Karst Mengkuris masuk dalam daftar lawatan kami sebelum sampai di Kecamatan Karangan, Kutai Timur.
Sabtu (27/6/2020) dini hari, Tim Ekspedisi sepakat pukul 04.00 Wita bergerak menuju puncak Gunung Karst Mengkuris. Usai mendengar perjalanan ke puncak memerlukan waktu 60 menit sampai 2 jam pada kondisi gelap.
"Normalnya 1 jam, bisa lebih cepat. Kalau lambat bisa sampai 2 jam," beber Minggu yang juga Ketua Pokdarwis Desa Batu Lepok, Kecamatan Karangan itu sebelum kami istirahat.
Persis di depan rumah kayu Pusat Informasi Pariwisata sekaligus Homebase Dinas Pariwisata Kutai Timur. Seluruh tim ekspedisi berjumlah 15 orang melingkar.
Jurnalis Tribunkaltim.co, Fachri Mahayupa selaku pimpinan rombongan memimpin doa. Tak lain agar semesta dan Tuhan memberi petunjuk dan keselamatan.
Kemudian dilanjutkan wejangan dari Pak Minggu yang ternyata menambah aksesoris pada pakaiannya. Rompi kulit pohon khas dayak basap dikenakannya. Tak ketinggalan topi kulit yang menetap di kepalanya.
"Luruskan niatnya. Hindari perkataan kotor. Jaga adab dan etika saat naik ke puncak," begitu pesan Pak Minggu sebelum memulai pendakian.
Sekira 04.35 Wita Tim Ekspedisi bergerak menuju puncak gunung Karst Mengkuris. Pak Minggu memimpin di depan. Sementara kami memanjang di belakang pria yang bersahabat dengan hutan dan gunung Karst Mengkuris lebih dari 40 tahun itu.
Tak ada yang bisa dilihat mata selain pundak rekan di depan. Benar-benar gelap. Penerangan hanya bersumber dari senter pendaki. Kudongakkan kepala ke atas, terlihat meski samar bayangan hitam tebing karst menjulang tinggi ke langit.
Entah kenapa, tak berani lama-lama pertahankan cahaya head lamp itu ke arah atas. Kembali fokus kepada pendakian. Cahaya sebagai penunjuk jalan, belum saatnya puncak itu dinikmati, pikirku saat itu.
Tiba-tiba rombongan yang mengular itu terhenti saat memasuki kawasan yang mulai dipenuhi bebatuan karst. Dari arah belakang terdengar rapalan semacam doa atau mantra. Bulu halus ditubuh langsung bereaksi mendengarnya sayup-sayup.
Rapalan tersebut berasal dari mulut Pak Minggu. Hampir 5 menit kami bertahan. Ada yang tertunduk, ada pula yang takzim memperhatikan bibir Pak Minggu yang fasih melafalkan doa-doa menggunakan bahasa adat Dayak Basap.
Belakangan diketahui, di sanalah pintu masuk pendakian Gunung Karst Mengkuris. Pria yang mengenakan pakaian adat, lengkap dengan mandau di pinggangnya kepada Tribunkaltim.co mengatakan izin kepada para datok dan nenek moyang penting didapat, sebelum menaiki puncak Gunung Karst Mengkuris.
"Alhamdulillah, sudah. Saya ingatkan untuk konsentrasi, karena jalur ke puncak menanjak dan curam, bersebelahan dengan jurang," serunya, diikuti anggukan kepala seluruh Tim Ekspedisi.
Di antara pepohonan tropis, bebatuan tajam jadi sajian utama pada jalur menuju puncak Gunung Karst Mengkuris. Medan terjal jadi tantangan pelengkap yang harus dihadapi pendaki.
Beruntung. Keberadaan rotan panjang yang menjulur di beberapa titik sedikit memudahkan pendakian. Namun, tak banyak. Di beberapa medan sulit pendaki mengandalkan ulurun tangan rekan yang berada di depan mereka masing-masing.
Untuk melemaskan kesunyian dan ketegangan, beberapa kawan mencoba untuk mencairkan suasana. Namun benar-benar, Pak Minggu yang berada di garis paling depan beberapa kali melontarkan peringatan kepada rombongan agar tetap fokus kepada pendakian.
Memang masuk akal. Semakin ke atas medan bukan semakin landai. Benar saja apa kata Pak Minggu saat di kaki gunung, jurang panjang menanti pendaki bila lengah dan tak konsentrasi. Jarak jurang dengan sepatu hanya berkisar 2 jengkal telapak tangan.
Pendakian sempat sekali terhenti. Beberapa orang mengaku kehabisan nafas. Sekira 10 menit kami memutuskan istirahat. Ujar Pak Minggu, puncak Gunung Karst Mengkuris tak jauh dari posisi Tim Ekspedisi istirahat. Informasi itu membuat lutut seketika langsung kuat.
Perjalanan berlanjut. Tak sampai 10 menit. Akhirnya rombongan jurnalis dari Bontang dan Samarinda itu sampai ke puncak. Nafas kelegaan terasa di setiap mulut para pendaki.
Puncak Gunung Karst Mengkuris tak terlalu luas. Namun untuk menampung badan 16 orang masih cukup lengang. Setidaknya 47 menit Tim Ekspedisi ini menorehkan catatan waktunya naik ke puncak. Memang tergolong cepat, hal itu diakui Pak Minggu saat berada di atas puncak.
"Lumayan cepat kita tadi mendaki. Nah, sekarang hati-hati, jangan terlalu ke pinggir. Itu jurang dalam. Duduk santai saja di tengah, sambil menunggu pagi," tuturnya.
Semua pendaki mencari posisi terbaik dalam keadaan masih gelap. Semua memanjang ke arah timur. Duduk di alas batuan karst.
"Perih tangan. Seperti luka sayat gitu di jari-jari ini. Batuan karst itu, kan, memang tajam, ya. Sementara kita nanjak bertumpu dengan mencengkran mereka, " kata Irwan Wahidin, Suport Local Tim Ekspedisi sambil memamerkan jarinya yang luka.
Tiga puluh menit sebelum langit benar-benar menerangi puncak gunung. Orang-orang tampak memunguti cerita pendakian. Saling bertukar cerita. Suhu dingin berubah hangat hanya dengan obrolan.
Ada pula yang sibuk persiapkan kopi panas, dengan senter mereka masih setia menyala di kepala. Sebagian ada yang penasaran menyenter ke arah sekeliling puncak, menerka-nerka pemandangan apa yang bakal didapat saat terang.
Waktu yang ditunggu tiba. Semua mata terperangah. Semesta memamerkan kemolekannya dari atas puncak Gunung Karst Mengkuris.
Bentang kemegahan pegunungan Karst persis berada di hadapan mata. Cadasnya bukit karst tampal digelayuti hijau pepohonan. Mereka bak sepasang kekasih yang berpautan mesra di pagi bening kala itu.
Gulungan kabut yang melayang di udara seperti gula kapas, menambah kemanisan hijaunya belantara hutan tropis. Setiap detiknya, kabut semakin menggila. Ia mengisi setiap ruang kosong pada lembah hutan.
Tak ada garis ujung sepanjang mata memandang. Gulungan kabut dari bawah bumi dan awan yang bergantung di langit tak ingin kalah romantis dari gunung dan pohon. Mereka melebur saling merekat. Sehingga sukar sekali membedakan mana awan dan kabut.
"Sebuah pemandangan eksotis. Tuhan sedang membocorkan kisi-kisi surganya kepada Tim Ekspedisi kali ini," kata Endar, jurnalis Ekspose Kaltim, salah satu penggagas perjalanan ini.
Kendati sunrise alias matahari terbit tak muncul, lantaran awan tebal mengepung langit Karangan kala itu. Tak lantas membuat hati mengecil. Orang yang kaya adalah ia yang mampu mensyukuri apa yang ia dapat dan miliki, dalam nalarku.
"Kecewa tidak (tak dapat sunrise). Sedih barangkali, iya. Tapi ini sudah lebih dari cukup. Di luar dari apa yang kita bayangkan sebelum naik," kata salah satu pendaki perempuan, Ave Valensia.
Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiran. Di sela keindahan panorama eksotis yang dinikmati pagi itu, di hadapan para pendaki tampak sebuah gua yang menganga persis menembus tebing karst. Gua itu meneror pikiran. Merangsang keingintahuan di setiap kepala yang duduk di atas puncak Gunung Karst Mengkuris.
Pak Minggu yang puluhan tahun tinggal di kawasan Karst Mengkuris saja tak tahu persis apa yang tersimpan di dalam gua tersebut.
"Belum pernah ada yang masuk ke sana. Lama saya dan penduduk sini mencari jalan menuju ke sana, tapi tak pernah sampai. Mungkin memang tak ada jalan, harus pakai alat turun dari puncaknya," bebernya penuh misteri. (*)
IKUTI >> News Video
IKUTI >> News Video