Virus Corona
Tak Ada Calon Vaksin yang Tunjukan Sinyal Manjur, WHO tak Yakin Vaksin Corona Ditemukan Sampai 2021
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pesimis atas ketersediaan vaksin Covid-19 hingga pertengahan 2021.
TRIBUNKALTIM.CO - Pandemi virus Corona masih terus terjadi di berbagai belahan dunia.
Hingga saat ini sejumlah negara masih terus melakukan uji coba calon vaksin covid-19.
Meski demikian belum ada vaksin yang bisa didistribusikan ke masyarakat
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pesimis atas ketersediaan vaksin Covid-19 hingga pertengahan 2021.
"Sejauh ini, tak satu pun dari calon vaksin dalam uji klinis yang menunjukkan sinyal jelas kemanjuran pada tingkat setidaknya 50% yang dicari oleh WHO, kata juru bicara WHO Margaret Harris, seperti dikutip Reuters, Minggu (6/9/2020).
Harris mengatakan, bahwa pentingnya pemeriksaan ketat terhadap keefektifan dan keamanan vaksin. Ia merujuk pada fase dalam penelitian vaksin di mana uji klinis besar-besaran di antara manusia dilakukan.
"Tahap 3 ini harus memakan waktu lebih lama karena kita perlu melihat seberapa protektif vaksin itu dan kita juga perlu melihat seberapa aman vaksin itu," tambahnya dalam press briefing di PBB.
• Makin Akrab dengan Putri Sirajuddin Mahmud, LIHAT Momen Lucu saat Zaskia Gotik Challenge Aqila
• UPDATE Klasemen MotoGP 2020 Marc Marquez Posisi 24, Rossi? Ini LINK Live Streaming MotoGP San Marino
• INI Kode Redeem Free Fire Terbaru yang Bisa Bikin Elite Pass Gratis, UPDATE Periode September 2020
• Kenakan Baju Tahanan Oranye, Reza Artamevia: Izinkan Saya Minta Minta Maaf pada Aaliyah dan Zahwa
Ia melanjutkan, semua data dari uji coba harus dibagikan dan dibandingkan.
"Banyak orang telah divaksinasi dan apa yang kami tidak tahu adalah apakah vaksin itu bekerja ... pada tahap ini kami tidak memiliki sinyal jelas apakah itu memiliki tingkat kemanjuran dan keamanan yang bermanfaat ...,".ungkapnya.
Sebelumnya, Rusia melakukan uji vaksin Covid-29 selama kurang dari dua bulan pengujian pada manusia.
Hal itu mendorong beberapa ahli Barat untuk mempertanyakan keamanan dan kemanjurannya.
Tak lama berselang, Amerika Serikat juga menyatakan siap mendistribusikan vaksin paling cepat akhir Oktober atau menjelang pemilihan AS pada 3 November mendatang, kepada tenaga medis dan pekerja di perbatasan.
Aliansi vaksin WHO dan GAVI memimpin rencana alokasi vaksin global COVAX, untuk membantu membeli dan mendistribusikan vaksin secara adil.
Fokusnya adalah memvaksinasi orang-orang yang paling berisiko tinggi di setiap negara seperti petugas kesehatan.
COVAX bertujuan untuk mendapatkan dan mengirimkan 2 miliar dosis vaksin yang disetujui pada akhir 2021, tetapi beberapa negara telah mengamankan pasokan mereka sendiri melalui kesepakatan bilateral.
"Pada dasarnya, pintunya terbuka. Kami terbuka. Yang dimaksud dengan COVAX adalah memastikan semua orang di planet ini akan mendapatkan akses ke vaksin," tutur Harris.
Sementara Indonesia diketahui sedang mengembangkan kerjasama internasional. Kerjasama yang pertama yang sudah dalam pendampingan BPOM yakni PT Sinovac dengan PT Biofarma, lalu kerjasama kedua Sinopharm dengan Kimia Farma bersama Grup 42 dari Uni Emirat Arab dan kerjasama ketiga ialah Genexine dengan PT Kalbe Farma.
• Harga Tertinggi Rp 439 Ribu, Erick Thohir Beber 2 Cara Dapatkan Vaksin Virus Corona dari Bio Farma
• Mendadak Heboh, Jadi Trending Topic, Klarifikasi Tara Basro tentang Unggahannya soal Vaksin Covid-19
• Ridwan Kamil Jadi Mudah Ngantuk Seusai Disuntik Vaksin Covid-19, 2021 Jadi Target Erick Thohir
Vaksin Corona Buatan China dan Rusia Disebut Ilmuwan Punya Kelemahan,Tak Miliki Kemanjuran 70 Persen
Para ilmuwan dari Universitas Johns Hopkins mengungkapkan sejumlah kelemahan vaksin buatan China dan Rusia.
Mereka berasumsi vaksin tersebut tak memilik kemanjuran sampai 70 persen.
Hal tersebut didasari atas sejumlah fakta yang didapat.
Vaksin covid-19 yang dikembangkan di Rusia dan China disebut memiliki potensi kelemahan yang sama.
Sebab, vaksin tersebut didasarkan pada virus flu biasa yang telah terpapar sebelumnya oleh banyak orang.
Oleh karena itu, beberapa ahli mengatakan potensi keefektivitas dari vaksin tersebut terbatas.
Vaksin asal China bernama CanSino Biologics ini telah disetujui untuk penggunaan militer di China.
Para ahli menuturkan, vaksin tersebut merupakan bentuk modifikasi dari adenovirus tipe 5 atau Ad5.
Sedangkan perusahaan tersebut tengah dalam pembicaraan untuk mendapatkan persetujuan darurat di beberapa negara.
Padahal mereka belum menyelesaikan uji coba vaksin dalam skala besar, Wall Street Journal melaporkan.
Hal yang sama juga terjadi pada vaksin yang dikembangkan oleh Institut Gamaleya Moskow.
Vaksin tersebut disetujui di Rusia pada awal bulan ini meskipun pengujian dilakukan terbatas.
Vaksin itu juga didasarkan pada Ad5 dan adenovirus kedua yang kurang umum.
"Ad5 mengkhawatirkan saya hanya karena banyak orang memiliki kekebalan," kata Anna Durbin, peneliti vaksin di Universitas Johns Hopkins, dikutip dari CNA, Selasa (1/9/2020).
"Saya tidak yakin apa strategi mereka, mungkin (vaksin) tidak akan memiliki kemanjuran 70 persen."
"Mungkin memiliki kemanjuran 40 persen dan itu lebih baik daripada tidak sama sekali, sampai sesuatu yang lain muncul," tuturnya.
Vaksin dipandang penting untuk mengakhiri pandemi yang telah merenggut lebih dari 845.000 nyawa di seluruh dunia.
Gamaleya mengatakan, pendekatan dua virusnya akan mengatasi masalah kekebalan Ad5.
Kedua pengembang memiliki pengalaman bertahun-tahun dan menyetujui vaksin Ebola berdasarkan Ad5.
Namun hingga berita telah tersebar, baik CanSino maupun Gamaleya tidak menanggapi komentar.
Para peneliti telah bereksperimen dengan vaksin berbasis Ad5 untuk melawan berbagai infeksi selama beberapa dekade, tetapi tidak ada yang digunakan secara luas.
Mereka menggunakan virus yang tidak berbahaya sebagai "vektor" untuk membawa gen dari virus target (dalam hal ini virus corona) ke dalam sel manusia.
Lalu mendorong respons kekebalan untuk melawan virus yang sebenarnya.
Tetapi banyak orang sudah memiliki antibodi terhadap Ad5, yang dapat menyebabkan sistem kekebalan menyerang vektor alih-alih merespons virus corona.
Hal itu lah yang disebut para ahli membuat vaksin menjadi kurang efektif.
Beberapa peneliti telah memilih adenovirus alternatif atau mekanisme pengiriman.
Universitas Oxford dan AstraZeneca mendasarkan vaksin COVID-19 mereka pada adenovirus simpanse, untuk menghindari masalah Ad5.
Kandidat Johnson & Johnson menggunakan Ad26, strain yang relatif langka.
Dr Zhou Xing, dari Universitas McMaster Kanada, bekerja dengan CanSino untuk vaksin pertama berbasis Ad5, untuk tuberkulosis, pada tahun 2011.
Timnya sedang mengembangkan vaksin COVID-19 Ad5 yang dihirup, berteori hal itu dapat menghindari masalah kekebalan yang sudah ada sebelumnya.
"Kandidat vaksin Oxford memiliki keuntungan yang cukup besar" dibandingkan dengan vaksin CanSino yang disuntikkan," katanya.
• BLT Rp 600 Ribu Tahap 2 Cair, Kemnaker Selesai Cek Data Calon Penerima Tahap 3, Kapan Ditransfer?
• Bukan Kembalikan SK PDIP, Bacagub Sumbar Mulyadi Bongkar Hal Sebenarnya, Bela Ucapan Puan Maharani
• Akhirnya Nadya Mustika & Rizki D Academy Berkomunikasi Lewat Medsos, Ada Kata-kata yang Tuai Sorotan
Xing juga khawatir vektor Ad5 dosis tinggi dalam vaksin CanSino dapat menyebabkan demam, yang justru memicu skeptisisme vaksin.
"Saya pikir mereka akan mendapatkan kekebalan yang baik pada orang yang tidak memiliki antibodi terhadap vaksin, tetapi banyak orang memilikinya," kata Dr Hildegund Ertl, direktur Pusat Vaksin Wistar Institute di Philadelphia.
Di China dan Amerika Serikat, sekitar 40 persen orang memiliki tingkat antibodi yang tinggi dari paparan Ad5 sebelumnya, sedangkan di Afrika, bisa mencapai 80 persen, kata para ahli.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul WHO Pesimis Vaksin Corona Tersedia Sampai Pertengahan 2021, https://www.tribunnews.com/corona/2020/09/06/who-pesimis-vaksin-corona-tersedia-sampai-pertengahan-2021.