Sidang Lanjutan Perusda PT AKU, JPU Panggil Lima Saksi mulai Rekanan, Mantan Karyawan hingga ASN
Dua terdakwa kembali dihadirkan bersama, yakni Yanuar, mantan Direktur Utama dan Nuriyanto, mantan Direktur Umum PT AKU.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Adhinata Kusuma
Saksi mengaku mengenal dengan terdakwa saat dirinya masih menjabat sebagai Kasubag Perusahaan Daerah.
Saat itu, Suriansyah bertugas melakukan koordinasi dan pembinaan pada delapan Perusda milik Pemprov Kaltim.
Salah satunya ialah PT AKU.
Perusda PT AKU yang bergerak di bidang usaha pertanian, perdagangan, perindustrian, dan pengangkutan darat, berdiri di bawah Setdaprov Kaltim.
PT AKU didirikan pada 31 Agustus 2000.
Dibentuk, bertujuan membidangi perkebunan sawit dan pupuk serta diharapkan Pemprov Kaltim dapat memberikan sumbangsih pendapatan asli daerah (PAD).
Dijelaskan saksi, terkait mekanisme penyertaan modal.
PT AKU lebih dulu mengajukan usulan dalam bentuk proposal kepada Pemprov Kaltim, dalam hal ini Gubernur.
Pengajuan penyertaan modal, kemudian di disposisikan hingga ke Biro Ekonomi dan dirapatkan.
Selanjutnya, usulan pun diterima, PT AKU mendapatkan penyertaan modal.
Apabila kegiatannya mendapatkan laba, maka masuk dalam dividen PAD.
Pada 2003, PT AKU mendapatkan kucuran dana modal sebesar Rp 5 milliar.
Penyertaan modal itu diberikan dengan rincian, pada 23 Juli sebesar Rp 250 juta, 20 November sebesar Rp 750 juta, serta 29 Desember sebesar Rp 4 miliar, di tahun yang sama.
Namun, dengan modal tersebut, PT AKU hanya dapat menyetorkan keuntungan laba ke PAD sebesar Rp 3 miliar, tepatnya di tahun 2005.
Dari awal Perusda ini berdiri, Pemprov Kaltim sudah mengalami kerugian.
Dividen yang diserahkan ke kas daerah tak sebanding dengan modal yang sudah dikucurkan.
Namun, pada 15 Desember 2008, PT AKU kembali diberikan suntikan dana penyertaan modal sebesar Rp 7 miliar dari Pemprov Kaltim.
Uang dengan jumlah besar itu habis tak tersisa.
Hanya dipergunakan untuk biaya kas Perusda PT AKU sebesar Rp 911 juta, dan membayar deposito berjangka sebesar Rp 3 miliar.
Kemudian, uang sebesar Rp 8,8 miliar dipergunakan untuk membayar piutang usaha ke sembilan perusahaan berbeda.
Sehingga, tak ada keuntungan laba yang dapat disetorkan ke PAD.
Meski begitu, selang dua tahun kemudian, Pemprov Kaltim tak kapok mengucurkan dana penyertaan modal ke PT AKU.
Terakhir, Pemprov memberikan dana suntikan sebesar Rp 15 miliar, tepatnya pada 30 September 2010.
Total sudah Rp 27 miliar yang dikucurkan Pemprov Kaltim ke Perusda tersebut.
Tetap saja, tak ada sepersen pun keuntungan yang masuk ke dalam kas daerah.
Alih-alih hendak dipaksa tetap beroperasi, PT AKU malah pailit atau jatuh bangkrut.
Modal usaha yang dikucurkan pun tidak jelas keberadaannya, dan dilaporkan sebagai piutang dengan total modal sekitar Rp 31 miliar.
Hal tersebut terungkapnya di 2014. Dimana Perusda PT AKU yang telah berhenti beroperasi.
Lantaran tak dapat mempertanggungjawabkan keuangannya di dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) yang telah disetujui di dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).
Pemprov Kaltim saat itu meminta pertanggungjawaban PT AKU, dengan membuat laporan keuangan yang telah diaudit oleh Konsultan Akuntan Publik (KAP) di setiap tahunnya.
Penunjukan KAP ini langsung dari direksi PT AKU.
Dari hasil audit tahun keuangan 2008 dan 2010 terungkap.
Penyebab kerugian pada PT AKU lantaran adanya kerja sama yang menyebabkan piutang.
Laporan audit ditindaklanjuti oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Provinsi Kaltim tahun 2018 silam.
Yang menilai, bahwa berhenti beroperasinya PT AKU tidak dapat dinilai kewajarannya sebesar Rp 31 miliar, sesuai laporan keuangan internal tahun 2014.
"Kalau Kabag ekonomi, dia ditanya terkait masalah pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah Pemprov Kaltim. Dia Hanya menerangkan bahwa benar PT AKU dari 2003 sampai dengan 2010 itu ada menerima penyertaan modal secara bertahap. Yaitu dengan jumlah keseluruhan sebanyak 27 Miliar," jelas JPU Rofiq.
Usai meminta keterangan dari Suriansyah, majelis hakim kemudian menghadirkan saksi kedua atas nama Fahmi Prima Laksana, selaku Sekretaris Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemprov Kaltim.
Singkatnya, saksi saat itu bertugas sebagai Kasubag Akuntansi Biro Keuangan Setprov Kaltim di 2002 hingga 2009.
Saksi mengaku hanya mengetahui perihal penyertaan modal yang dikucurkan Pemprov Kaltim ke PT AKU.
"Nah dari Rp 27 miliar itu, kemudian ada dilakukan Audit oleh BPK tahun 2018. Ditemukan ada nilai yang tidak wajar, sebesar Rp 31 miliar sekian. Itu termasuk Rp 27 miliar serta bunga yang kemudian diputar lagi buat dilakukan kerja sama lagi (dengan perusahaan). Itulah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh direksi PT AKU. Kalau kerugian negaranya, itu Rp 29 miliar," tandas Rofiq.
Setelah mendengarkan seluruh saksi yang dihadirkan, Hongkun Ottoh kemudian menutup persidangan dan akan kembali dilanjutkan pada Selasa (11/1/2021) mendatang.
Masih dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, JPU dipersilkan mempersiapkan saksi-saksi yang akan dihadirkan.
Sidang ditutup sebutnya sembari mengetuk palu.
Diberitakan sebelumnya, Perusda PT AKU yang bergerak di bidang usaha pertanian, perdagangan, perindustrian dan pengangkutan darat, mendapatkan penyertaan modal dari Pemprov Kaltim sebesar Rp 27 miliar pada medio 2003 hingga 2010.
Anggaran itu disetorkan dalam tiga tahap. Pada tahap awal, pemerintah menyetor Rp 5 miliar. Empat tahun kemudian, di 2007 kembali diserahkan Rp 7 miliar. Terakhir pada 2010, pemerintah kembali menyuntik PT AKU sebesar Rp 15 miliar.
Yanuar yang kala itu sebagai pucuk pimpinan Perusda PT AKU, bersama dengan rekannya, Nuriyanto selaku Direktur Umum PT AKU, menyalahgunakan penyertaan modal yang dikucurkan Pemprov Kaltim.
Keduanya melakukan praktik korupsi dengan modus investasi bodong. Dalam aksi keduanya, PT AKU dibuat seolah-olah melakukan kerja sama dengan sembilan perusahaan lain. Namun sembilan perusahaan tersebut adalah fiktif, yang tak lain adalah buatan mereka sendiri.
Investasi bodong yang dimaksud ialah, terdakwa dengan sengaja melakukan kerja sama perjanjian terhadap sembilan perusahaan buatannya tersebut, tanpa persetujuan Badan Pengawas dan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Anggaran yang didapatkan dari Pemprov Kaltim, diinvestasikan ke sembilan perusahaan. Kemudian mereka gunakan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan perusahaan buatan mereka dibuat seolah-olah bangkrut.
Dari sembilan perusahaan yang diajak kerja sama, dalam praktiknya, enam perusahaan palsu. Perusahaan fiktif yang mereka buat salah satunya PT Dwi Palma Lestari. Di perusahaan ini, total modal usaha yang mengalir sebanyak Rp 24 miliar.
Terungkap, Nuriyanto tercatat sebagai Direktur PT Dwi Palma Lestari. Sedangkan Yanuar selaku komisaris. Dalam jangka waktu empat tahun, keduanya selalu bergantian menjadi direktur dan komisaris. Tujuannya agar perusahaan yang mereka dirikan tersebut dianggap memang ada dan masih aktif.
Akibatnya, modal usaha itu tidak jelas keberadaannya dan dilaporkan sebagai piutang dengan total modal sekitar Rp 31 miliar. Cara mark up seperti itu dilakukan agar dana jumlah besar yang dikucurkan Pemprov Kaltim dapat dengan mudah mereka kuasai bersama-sama.
PT AKU yang diharapkan Pemprov Kaltim agar dapat memberikan sumbangsih pada pendapatan asli daerah, justru ikut berakhir bangkrut. Akibat perbuatan terdakwa maupun rekannya itu, Pemprov Kaltim harus menderita kerugian sebesar RP 29 miliar.
Kerugian itu sesuai perhitungan dari pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kerugian negara sebesar Rp 29 miliar, dengan perincian penyertaan modal Rp 27 miliar ditambah laba operasional PT AKU yang digunakan kembali dalam kerja sama dengan pihak ketiga, kurang lebih sebesar Rp 2 miliar.
Atas perbuatan kedua terdakwa, JPU menjeratnya dengan pasal 3 Juncto pasal 18 Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI nomor 31 tahun 1999, Juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
( TribunKaltim.co/ Mohammad Fairoussaniy )