Berita Nasional Terkini
Peneliti LIPI Ingatkan Dampak Negatif, Ajak Berpikir Rasional Tak Satukan Pilkada-Pileg-Pilpres 2024
Yang lalu sudah borongan 5 kotak (suara), jangan ditambah lagi dengan dua kotak. 5 kotak saja sudah luar biasa ampun-ampun,
TRIBUNKALTIM.CO - Jadwal atau waktu pilkada serentak masih jadi salah satu isu perdebatan yang sengit dalam RUU Pemilu di fraksi-fraski DPR RI.
Sebagian fraksi menginginkan pilkada tetap sesuai jadwal semula tahun 2024. Namun sebagian lainnya meminta dilaksanakan tahun 2022 dan 2023.
Dalam perkembangannya, ada salah satu pasal krusial yang alot diperdebatkan oleh anggota dewan. Yakni tentang penentuan tahun 2022 sebagai tahun pelaksanaan pilkada. Aturan ini diatur dalam pasal 731 draft RUU Pemilu.
Pasal 731
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020.
(2) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.
(3) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.
Jika pasal itu disetujui, maka ada 101 daerah di Tanah Air yang akan menggelar pilkada tahun 2020. Plt Ketua KPR RI Ilham Saputra menyebut, tujuh di antaranya menggelar Pilkada Gubernur Provinsi. Yakni Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
DKI Jakarta termasuk yang harus menggelarnya pada 2022 karena Pilkada terakhir digelar tahun 2017.
Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro merekomendasikan agar Pemilu dan Pilkada tidak dilakukan berbarengan pada 2024 atau istilahnya Pemilu borongan.
Ia mengusulkan agar Pemilu Presiden didahulukan sebelum pemilu legislatif dengan presidensial treshold (PT) 0 persen.
"Atau kalaupun diterapkan, PT itu kecil saja, di mana Pasangan calon diajukan oleh partai-partai politik yang ada di DPR, yang sudah lolos itu punya kewenangan untuk mengajukan calon," kata dia dalam diskusi yang digelar LHKP, Minggu, (7/2/2021).
Ia mengusulkan agar Pilkada serentak tetap digelar pada 2022 yang digelar di 101 daerah. Selain itu Pilkada serentak 2023 yang digelar di 171 daerah dimajukan di 2022.
"Sehingga jumlahnya menjadi 271 daerah untuk Pilkada 2022. Pilkada serentak kemarin kita 270, sekarang 271," katanya.
Alasannya menurut Siti, karena 2023 merupakan waktu untuk persiapan Pilpres dan Pemilu Legislatif 2024. Para stakeholder menurut Siti fokus pada Persiapan Pemilu 2024.
"Argumentasi saya itu bahwa karena di 2024 itu kita memerlukan jeda menjelang Pilpres dan Pileg 2024, agar semua tahapan, proses tahapan itu lebih rapi ya," katanya.
Selain itu dengan disatukannya Pilkada ke 2022 maka partai politik memiliki waktu untuk melakukan kaderisasi. Partai Politik tidak hanya memikirkan manuver atau taktik agar memenangkan Pemilu atau Pilkada.
"Menurut saya ajarilah masyarakat Indonesia ini berpikir rasional, berpikir logis gitu ya, berpikir kritis karena itu yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sangat terhormat," pungkasnya.
Sebelumnya Siti Zuhro menilai bahwa Pemilu dan Pilkada Serentak tidak perlu disatukan pada tahun 2024 atau istilahnya Pemilu borongan. Menurut dia, menyatukan Pilkada dengan Pileg dan Pilpres sangat besar biayanya.
"Yang lalu sudah borongan 5 kotak (suara), jangan ditambah lagi dengan dua kotak. 5 kotak saja sudah luar biasa ampun-ampun, kita sudah membuktikan bahwa terlalu berat, terlalu besar costnya, terlalu mahal biaya yang harus kita tanggung, baik itu biaya yang bersifat mental maupun biaya fisik, biaya dampak dampak terhadap bangsa dan masyarakat," kata Siti.
Ia mengatakan menyatukan Pemilu dan Pilkada sangat tidak realistis. Selain itu menyatukan pemilu dan Pilkada tampak hanya untuk sekedar uji coba saja.
"Uji coba yang tak mempertimbangkan dampak dampak negatif," kata dia.
Selain itu menurutnya menyatukan Pemilu dan Pilkada juga bertentangan dengan mindset dan culturset new normal yang didengungkan Presiden Jokowi. Mindset tersebut yakni, bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi tidak menentu.
"Kita memasuki era disrupsi yang real, yang disitu kita dihadapkan pada satu realitas atau kenyataan, ketidakpastian yang sangat menyeruak," katanya.
Seharusnya kata dia, Mindset dalam menyelenggarakan pesta demokrasi harus berubah. Menurutnya tidak bisa mindset pesta demokrasi hanya politik praktis yang berdurasi pendek seperti selama ini terjadi.
Desain Pemilu dan Pilkada seharusnya rasional, berkualitas dan berdampak positif terhadap pemerintahan.
"Jangan sampai ada bad governace, pemerintah yang buruk sehingga menimbulkan tadi itu yang saya sebutkan, seperti divide governance. Jadi kita tidak mau, terpuruk. Kita ini sedang berkompetisi, berkontestasi dengan negara-negara ASEAN dan lebih luas lagi ke Asia Pasifik," pungkasnya.
Sikap PDI-P
Menurut draft RUU Pemilu itu, jadwal pilkada 2022 bisa ditunda dengan catatan jika terjadi bencana nonalam seperti yang termaktub di Pasal 732. Saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nonalam.
PDI-P telah menegaskan sikapnya menolak usulan Pilkada 2022 itu. Ketua DPP PDI-P Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, sikap partainya tidak ada kaitannya dengan upaya untuk menghambat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.
Dalam draf RUU Pemilu memang dimuat ketentuan bahwa Pilkada digelar 2022 dan 2023. Namun dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.
"Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UUnya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," kata Djarot dikutip dari Kompas.com, Jumat (29/1/2021)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Djarot Syaiful Hidayat (Kolase Tribun Kaltim)
Djarot mengatakan, sebaiknya pelaksanaan Pilkada tetap dilangsungkan pada 2024 sesuai amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Sebab, hal ini salah satu bentuk konsolidasi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
Selain itu, ia mengatakan, saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak dapat diprediksi kapan bisa diatasi. Oleh karenanya, menurut Djarot, sebaiknya energi pemerintah digunakan memperkuat penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"Di samping kita juga harus mengevalusi pelaksanaan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan di masa pandemi," ujarnya.
Momentum
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, gelaran pilkada serentak di 2024 bisa membuat calon presiden potensial dari kepala daerah kehilangan momentum. Sebab, pilkada serentak di tahun tersebut akan berbarengan dengan pemilihan presiden.
Sementara, sejumlah nama yang belakangan masuk bursa calon presiden, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyelesaikan masa jabatannya pada 2022 dan 2023.
"Anggap Anies 2022 selesai, lalu baru dilaksanakan pilkada serentak 2024, itu momentumnya akan susah lagi didapat. Kalau momentum susah didapat, maka karier politik akan sulit dikejarnya," kata Hendri saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).
Ia mengatakan, dalam politik, kekuasaan atau kemenangan merupakan tujuan akhir. Menurut Hendri, pro dan kontra antarpartai soal revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bisa juga dilihat sebagai bagian dari upaya meraih atau mempertahankan kekuasaan itu.
Salah satu agenda revisi UU Pemilu adalah mengubah jadwal pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Maka, akan ada perubahan pada UU Pilkada.
"Dalam politik, kekuasaan atau kemenangan adalah tujuan akhir. Maka ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dari petahana," ucap Hendri.
Hendri berpendapat lebih baik jadwal pilkada serentak dikembalikan menjadi 2022 dan 2023. Hal ini bercermin dari gelaran Pemilu Serentak 2019 yang menyebabkan banyak petugas kelelahan hingga meninggal dunia.
[Sumber: Tribunnews/Taufik Ismail]
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Peneliti LIPI Usulkan Pilkada Digelar 2022, Tidak Disatukan dengan Pilpres dan Pileg.