Breaking News

Berita Kaltara Terkini

Pandangan Saksi Ahli dari Iwan Setiawan di Sidang Pencemaran Nama Baik Gubernur Kaltara Irianto

Dua saksi ahli dihadirkan dari pihak Iwan Setiawan, terkait sidang lanjutan atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Gubernur

Editor: Budi Susilo
HO/MUMADDADAH
Mumaddadah, Ahli Pidana yang juga sebagai salah seorang dosen pascasarjana di Fakultas Hukum UBT Tarakan, Kalimantan Utara. 

TRIBUNKALTIM.CO, TARAKAN - Dua saksi ahli dihadirkan dari pihak Iwan Setiawan, terkait sidang lanjutan atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) periode 2016 hingga 2021, Irianto Lambrie.

Sidang itu merupakan sidang lanjutan yang digelar Selasa 15 Juni 2021 lalu oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor.

Dua saksi ahli yang dihadirkan yakni ahli bahasa dan ahli pidana. Salah seorang saksi ahli, yakni ahli pidana, Mumaddadah hadir dalam sidang tersebut. 

"Saya hanya diminta keterangan ahli sesuai keahlian saya," ungkap Mumaddadah kepada Tribunkaltim.co pada Jumat (18/6/2021). 

Baca Juga: Penuntut Umum Menolak Eksepsi Terdakwa Kasus Pencemaran Nama Baik Iwan Setiawan di Tanjung Selor

Adapun yang ia sampaikan dalam persidangan, kejahatan terhadap kehormatan itu hanya diatur dalam KUHP.

Meskipun lanjutnya dalam Undang-undang ITE disebutkan Pasal 27 ayat 3 dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.

Tapi dipenjelasannya, diperubahannya Undang-undang Nomor 19 tahun 2016, menjelaskan pasal 27 ayat 3, merujuk kepada KUHP.

"Artinya segala pencemaran nama baik yang ada di Undang-undang ITE kembali ke KUHP," beber Mumaddadah.

Baca Juga: Penuntut Umum Menolak Eksepsi Terdakwa Kasus Pencemaran Nama Baik Iwan Setiawan di Tanjung Selor

Lebih lanjut dikatakannya, melihat kasus posisi yang ada, yang ingin ia ajukan pertanyaan yakni, apakah perbuatan ini ditujukan kepada pribadi seorang Irianto atau pribadi dengan jabatannya, atau jabatannya sebagai penguasa.

"Ada tiga macam itu. Kalau dia misalkan pribadinya, ini bicara pasal di 310, 311 terkait pencemaran nama baik dan fitnah," ujarnya.

Adapun pembeda Pasal 310 atau 311 yang menyerang pribadi orang umum menyebutkan nama orang pribadi, menuduh sesuatu atau fitnah.  

Kemudian jika bicara dia sebagai seorang pejabat, lanjut Mumaddadah, karena kasus posisinya melekat di jabatannya.

"Harusnya dijuncto kan juga ke pasal 316. Ia mencontohkan bahasa, kepada pribadi pejabat yang melekat jabatannya yakni "Bupati tukang mabuk", "Bupati tukang kawin".  

Habis itu, kalau dia misalkan kekuasaannya, maka itu harusnya di Bab ke-8, terkait kejahatan terhadap kekuasaan di pasal 207.

"Contoh pasal 207, gubernur korupsi, Gubernur komunis, ini hanya contoh," lanjutnya.

Postingan Bukan Mengarah ke Pribadi

Melihat dokumen yang diterima dan setelah membacanya, menurut hemat dirinya, postingan Iwan Setiawan bukanlah mengarah kepada pribadi Irianto Lambrie

Lebih kepada kritik karena kebijakan. Makanya kalau misalkan pun ada kesalahan dalam postingan itu harusnya jaksa tidak mendakwa di pasal 27, tapi lebih ke KUHP-nya.

"Karena apa, karena kekuasaannya atau kebijakannya. Jadi pembedanya itu, kalau 316 lebih kepada pribadinya, orangnya, kalau di 207 lebih ke kekuasaannya, badan umumnya," tegas Mumaddadah.

Lebih lanjut ia mengatakan, jika semisalnya Iwan Setiawan dianggap bersalah, pasal dikenakan yakni 207.

Karena kekuasaan kewenangan yang disampaikan diposting tergugat. 

"Kalau saya baca secara data lebih kepada kritik sebenarnya," ungkap Mumaddadah.

Lebuh lanjut ia menjelaskan soal KUHP pasal 310 dan 311 isinya berbeda. 

Pada pasal 310 ayat 1 itu menjelaskan tentang menista secara lisan. "Kalau 310 ayat 2, menista  dengan lisan. Kalau  di 311, itu fitnah," ujarnya.

Dalam postingan yang dituntut itu, lebih jauh Mumaddadah mengungkap, selama Iwan Setiawan bisa membuktikan dan sesuai fakta, Iwan Setiawan, tidak akan dikenakan atau dimintakan pertanggungjawaban pidana seperti dijelaskan pasal 311 terkait fitnah.

Lebih lanjut ia mengatakan, pelapor mengakui semua bukti itu berdasarkan penasehat hukum dari Iwan Setiawan yang disampaikan ke pihaknya. 

"Saya tidak ikuti keseluruhan secara langsung, saya sempat ditanyakan bagaimana ahli pidana semisal saksi sebelumnya yang dihadirkan oleh jaksa mengakui semua.Itu saya bilang, selama bisa dibuktikan di pasal 311 itu maka dia bisa dikatakan tidak memfitnah. Artinya apa yang disampaikan itu benar adanya," tegas Mumaddadah.

Ia melanjutkan, misalnya pada kasus anak Irianto Lambrie sebagai Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).

Tim TGUPP ada SK-nya, dapatkan anggaran dari daerah. Kemudian postingan kedua terkait impor pejabat dari Kaltim, itu diakui juga.

Tanggapan Besaran Anggaran 

Ketiga berkaitan besaran anggaran kehumasan ketimbang sektor pelayanan publik. Itu diakui juga.

"Maka sekali lagi, selama bisa dibuktikan di pasal 311 itu maka dia bisa dikatakan tidak memfitnah," jelas Mumaddadah.

Lebih jauh ia mengungkapkan pada dasarnya setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum sudah dijamin juga dengan UUD  pasal 28 E. 

"Itu UUD, ada juga UU Nomor 9 tahun 1998. Memang dalam kritik yang tidak boleh itu jika mencela, mengeluarkan kata kasar hewan. Lalu bahasa misalnya bersinonim misalnya PSK. Bahasa yang dianggap mencela. Makanya 310 itu ada," urainya.

Dan yang paling harus dipahami adalah  hukum pidana ada namanya asas legalitas. Asas legalitas dalam perkembangan hukum pidana memiliki empat prinsip. Pertama lex scripta, kedua lex certa, ketiga lex stricta,dan keempat lex praevia.

Lex scripta artinya  hukum pidana tersebut harus tertulis. Kemudian lex certa,  rumusan delik pidana harus jelas tegas tidak boleh ada mengalami ambigu atau  ketidakjelasan. 

"Misalnya samar-samar, abu-abu, harus tegas. Artinya rumusan pidana harus dimaknai tegas. Tidak bisa ditafsirkan secara analogi," jelasnya.  Lalh lex praevia, yang artinya hukum pidana tidak dapat diberlakuman surut. 

Lebih jauh menyoal  pasal 207 dalam kUHP, bahwa  mengapa harus mengalami perubahan di UU Nomor 19 Tahun 2016, karena banyaknya kasus serupa dan mengalami kelenturan penafsiran. 

"Itu tadi saking banyaknya kita lihat kasus seperti Prita, kasusnya terakhir Baiq Nuril, ini kan ada leks certa, mengalami kelenturan penafsiran sehingga banyak oknum penguasa yang mudah dengan mudahnya menjerat seseorang dengan  UU ini," urainya.

Sehingga dalam hal ini lanjut Mumaddadah, ia juga dalam proses persidangan kemarin mengingatkan  kepada majelis hakim, bahwa pasal 27 ayat 3 dalam penjelasannya di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 itu merujuk lagi kembali kepada perbuatan pencemaran nama baik yang ada di KUHP. 

Artinya berlaku bab 18 tentang kejahatan terhadap kehormatan diatur dari  pasal 310-321. Itu masih berlaku.

Artinya rujukan pasal 207 itu masih kembali ke KUHP.

"Yang diatur dalam pasal 207 itu sarananya. Bagaimana perbuatan itu dilakukan. Perbuatan dilaukan melalui media. Tapi perbuatan pokok dikembalikan ke KUHP," tegasnya.

Masih soal Iwan Setiawan, jika kritik dianggap salah, harusnya bukan pada kasus pribadi melainkan dikenakan pasal 207 yang tepat di dalam KUHP. 

Karena kejahatan terhadap kekuasaan. Bukan pencemaran nama baik di ITE, karena yang diserang kebijakan bukan pribadi.

"Jadi memang saya ingatkan dalam ruang sidang untuk membaca teks pasal itu tidak hanya tekstual saja. Tapi lebih memahami kenapa ini ada," pungkasnya. 

Berita tentang Kalimantan Utara

Penulis Andi Pausiah | Editor: Budi Susilo

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved