Pesona Borneo
Tari Perang Ulong Da’a, Simbol Penghormatan Suku Dayak Sambut Pejuang Menang dari Medan Tempur
Tari Perang Ulong Da’a, Simbol Penghormatan Suku Dayak Sambut Pejuang Menang dari Medan Tempur
Penulis: Tribun Kaltim |
TRIBUNKALTIM.CO, MALINAU - Tari Perang Ulong Da’a, Simbol Penghormatan Suku Dayak Sambut Pejuang Menang dari Medan Tempur.
Pertunjukan utama dimulai. Sontak, suasana berubah tegang. Gerak tarian berubah menyesuaikan tempo musik iringan.
Seketika, barisan penari mengatur jarak membentuk lingkaran. Dua penari mengisi ruang tengah, mulai memerankan adegan puncak.
Keduanya saling serang-bertahan, dipersenjatai perisai dan senjata tradisional, golok khas suku dayak. Keduanya berganti peran, saling serang dan bertahan.
Lantunan musik pengiring terdengar bertambah cepat, suara senjata saling beradu menambah tegang suasana.
Sesekali penari meneriakkan suara melengking. Denting besi dan dentum golok bertemu perisai membuat pertunjukan semakin mencekam.
Pertunjukan berhasil menyihir khalayak, membuat siapapun yang menyaksikan adegan serasa sedang berada di medan perang.
Adegan tersebut merupakan cuplikan sajian utama sekaligus adegan penutup tarian tradisional khas suku adat Dayak, Tari Perang Ulong Da’a.
Seni gerakan tradisional tersebut sangat terkenal di Kabupaten Malinau. Kesenian daerah tersebut diperankan oleh pegiat kesenian daerah, Sanggar Seni Dayak lengilo’ Ulong Da’a Malinau.
Tari Perang Ulong Da’a merupakan warisan budaya leluhur masyarakat adat Dayak yang mendiami dataran tinggi Borneo.
Tari tradisional mulai mencuri perhatian publik setelah sukses dipertontonkan saat kunjungan pertama Presiden RI, Joko Widodo di Bumi Intimung tahun 2019 silam.
Kesenian daerah tersebut sarat filosofi dan menyimpan sejarah panjang bagian kehidupan suku adat di wilayah Kalimantan Utara.
TribunKaltara mewawancari salah satu generasi perintis Sanggar Seni Ulong Da’a di Kabupaten Malinau, Tirusel Samuel Tipa Padan.
Panglima Sanggar Seni Dayak Lengilo’ Ulong Da’a Malinau tersebut bercerita, dulunya tari perang tersebut merupakan bagian dari prosesi kebesaran masyarakat adat Dayak di dataran tinggi Borneo.
Tari Perang hanya digelar dalam upacara khusus. Prosesi selebrasi perang untuk menyambut pejuang yang memenangkan peperangan di medan tempur.
Dahulu kala, prosesi tersebut menjadi bagian dari upacara sebagai simbol kebesaran dan kehormatan terhadap pejuang masyarakat adat yang menghuni dataran tinggi Kaltara, yang kini merupakan bagian dari wilayah administrasi di Kabupaten Nunukan, Krayan.
“Dulu, Tari perang merupakan bagian dari prosesi penyambutan khas yang diwariskan leluhur kami. Jadi tarian ini adalah bagian dari upacara kesyukuran atas keberhasilan dan jasa pejuang mempertahankan martabat masyarakat adatnya,” ujarnya.
Seni gerak tradisional daerah tersebut sebelumnya hanya dinikmati kalangan terbatas.
Pertunjukan seni terbatas tersebut kini bisa dinikmati oleh semua golongan. Tari perang kerap dipertontonkan saat penyambutan tamu kehormatan yang berkunjung ke kabupaten Malinau.
Menjadi simbol kemuliaan dan penghormatan masyarakat Malinau kepada tamunya.

Prosesi Pemotongan Rotan
Sanggar seni yang kini beranggotakan 26 orang tersebut juga kerap mengisi prosesi penyambutan tamu di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara.
Tari perang merupakan jenis tarian khas yang menjadi kesenian daerah unggulan Sanggar Seni Dayak Lengilo’ Ulong Da’a.
Tari-tarian ini dipadu dengan iring-iringan musik khas daerah. Koreografi dengan ciri khusus budaya masyarakat adat Dayak juga dikenal dengan nilai filosofinya. Tarian dibuka dengan prosesi pemotongan rotan oleh tamu undangan.
Tirusel menjelaskan prosesi tersebut bermakna penerimaan masyarakat kepada tamu. Menandakan sekat antara “pemilik rumah” dan pelaksana prosesi pemotongan rotan telah diputus.
Menandakan tamu undangan adalah satu bagian Tamu beserta rombongannya berada di bawah perlindungan masyarakat adat selaku pemilik rumah.
“Prosesi pemotongan rotan ini menandakan pemotongnya merupakan bagian dari kami. Ini juga melambangkan tidak ada sekat setelah rotan diputus. Bentuk kemuliaan dan kehormatan tamu yang datang berkunjung ke Bumi Intimung,” ungkapnya.
Pria bertubuh tinggi semampai tersebut merupakan Panglima atau perwakilan masyarakat adat dalam prosesi sakral tersebut.
Diantara barisan pelaksana prosesi, Tirusel berdiri di barisan paling hadapan, menyambut sekaligus mengiringi kedatangan tamu kehormatan.
Prosesi tarian perang tersebut terdiri dari sejumlah komponen wajib yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upacara tersebut.
Diantaranya, iring-iringan musik, atribut yang dikenakan pelaksana prosesi, perlengkapan perisai dan senjata tradisional dan monumen khusus yang menginspirasi penamaan sanggar seni tersebut, Ulong Da’a.
Dijelaskan Tirusel, Ulong Da’a merupakan lambang kebesaran suku Dayak di Dataran Tinggi Borneo, Kalimantan Utara. Monumen tersebut tersusun dari tulang belulang, tengkorak, rahang, tanduk dan bagian dari tubuh satwa yang menghuni dataran tinggi Borneo.
Secara tersirat, Monumen Ulong Da’a mencirikan kesinambungan kehidupan manusia dan alam. Melambangkan kekuatan pangan, dan tersedianya sumber daya alam yang melimpah di wilayah hutan masyarakat adat. Bahwa alam dan hutan merupakan bagian yang menyatu dari kehidupan masyarakat adat.
“Ulong Da’a tersusun dari tulang, kerangka dan bagian tubuh satwa yang hidup di tanah kelahiran kami, di dataran tinggi Borneo. Ulong Da’a menceminkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Ini menandakan bagaimana kita menghargai alam sebagai bagian yang menyatu dengan kehidupan,” katanya.

Gunakan Senjata Tajam Betulan
Menurut Tirusel, tak seperti yang dipersepsikan khalayak umum, esensi tari perang bukanlah soal kekerasan.
Melainkan, ketegasan, ketangguhan dan kematapan hati masyarakat adat. Nilai-nilai sejarah yang diadopsi dan diwujudkan melalui seni banyak menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sanggar Seni Dayak lengilo’ Ulong Da’a saat ini diketuai oleh Simson, dan Panias Pelatus selaku pelatih dan penari utama penopang sanggar seni tersebut.
Pemeran utama dalam adegan puncak tari perang tersebut diperankan oleh Panias bersaudara.
Panias menerangkan, hal terpenting bagi penari dan pelaksana prosesi adalah keseriusan, ketangguhan dan penghayatan.
Menurutnya, pemeran dalam tari tradisional tersebut adalah satu kesatuan. Jika seorang saja berbuat kesalahan, keseimbangan tari perang turut terpengaruh.
Dalam adegan puncak, pemeran utama menggunakan senjata tajam dan perisai yang memang digunakan pada saat perang. Sehingga, sedikit saja kesalahan dapat berakibat fatal terhadap pemerannya.
“Seluruh bagian adalah satu kesatuan, satu saja salah, jalannya prosesi bisa timpang. Makanya, penari dan seluruh harus serius, sungguh-sungguh. Karena kita memang benar-benar menggunakan senjata tajam, sedikit saja kesalahan bisa fatal. Hal terpenting adalah penghayatan seni,” ujar Panias.

Dari aspek sejarahnya, Sanggar Seni Dayak lengilo’ Ulong Da’a telah berdiri sejak lama.
Namun, secara resmi Sanggar Seni tersbut mulai membuka pagelaran seni di depan public pada tahun 2012 silam. Di Kalimatan Utara, ada dua Sanggar Seni Ulong Da’a, di kabupaten Malinau dan kabupaten Nunukan. (Mohammad Supri)