Amalan dan Doa

Apakah Terinjak Kotoran Cicak Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Penjelasan Lengkapnya

Apakah Terinjak Kotoran Cicak Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Penjelasan Lengkapnya

Editor: Nur Pratama
wikimedia
Ilustrasi cicak 

TRIBUNKALTIM.CO - Apakah terinjak kotoran cicak bisa membatalkan wudhu? Ini penjelasan lengkapnya.

Cicak merupakan hewan reptil yang bisa merayap di permukaan dinding, baik vertikal maupun horizontal.

Cicak memiliki bulu-bulu halus di bagian kaki yang berfungsi untuk menahan tekanan gravitasi saat berjalan di dinding.

Sehingga tak heran jika cicak membuang kotoran tak kenal tempat.

Bisa jadi jatuh di kasur, lantai, meja bahkan di tubuh seseorang.

Lalu bagaimanakah hukum kotoran cicak yang jatuh tak kenal tempat tersebut?

Untuk lebih jelasnya, silakan simak penjelasan singkat dari Buya Yahya yang dikutip dari kanal YouTube Al-Bahjah TV berikut ini.

Baca juga: Bacaan Doa Ketika Menghadapi Orang yang Sedang Marah, Bahasa Arab, Latin dan Artinya

Sebelum menjelaskan hukum kotoran cicak, Buya Yahya menegaskan kepada seorang penanya telepon, apakah ia merupakan seseorang yang normal atau memiliki penyakit was-was.

Sebab jawaban atas pertanyaan tersebut untuk orang normal dan yang memiliki penyakit was-was memiliki perbedaan yang cukup mendalam.

Pertama, bagi orang normal, Buya menjelaskan untuk membawanya kepada yang tidak najis.

Sebab kotoran hitam kecil bukan hanya kotoran cicak, bisa saja itu kotoran yang lainnya.

"Kalau bingung antara najis dan tidak, dibawa ke yang tidak najis. Itu untuk orang normal," kata Buya.

Kemudian bagi orang yang memiliki penyakit was-was, Buya mengimbau untuk tidak berpikir yang macam-macam, termasuk kotoran cicak yang disebutnya tidak najis.

"Kalau anda orang was-was, jangan berpikir kalau kotoran cicak itu najis," ujarnya saat menjawab pertanyaan tersebut.

Kotoran cicak menurut mahzab Mahzab Syafii, disebutkan Buya Yahya memiliki hukum yang tidak najis.

"Kotoran cicak tidak najis, selain dari mahzab kita Mahzab Syafii. Seperti Mahzab Maliki dan yang lainnya," sambung Buya.

Ia menyarankan kepada orang yang memiliki penyakit was-was untuk mengikuti mahzab yang aman tersebut.

Buya menjelaskan apabila orang yang memiliki penyakit was-was jika dibiarkan begitu saja, maka hal tersebut justru dikhawatirkan.

Hal ini akan menyebabkan orang lain sakit hati atas pendapatnya.

Selain itu juga bisa merusak pahala yang dimiliki oleh orang yang memiliki penyakit was-was.

"Karena kalau dibiarkan itu yang rusak semua yang ada di kanan kiri Anda. Nanti dosa Anda lebih banyak lagi," katanya.

Namun, beberapa ulama juga ada yang berpendapat bahwa kotoran cicak memiliki hukum najis yang dimaafkan atau ma'fuat.

"Ada yang bilang itu juga najis. Tapi kami berikan langsung ulama yang mengatakan itu tidak najis.

Biarpun kotoran cicak itu Anda kumpulkan dan Anda taruh di muka Anda sekalipun," tandas Buya Yahya.

Bagi Buya, orang yang memiliki penyakit was-was harus diberikan perhatian khusus dalam pengetahuan agama.

Ia membeberkan terdapat orang was-was yang sampai tak mau bersalaman dnegan ibunya.

Hal itu dianggap Buya bisa menyakiti hati orang lain.

"Kalau tidak diginikan khawatir, karena orang was-was itu bahaya. Bahkan ada yang nggak mau salaman dengan ibunya.

Sampai ibunya dimarahi terus. Dia nggak sadar seolah-olah mau beribadah dengan Allah.

Pengen bersih suci tapi malah menyakiti banyak orang, mana bisa diterima oleh Allah," pungkasnya.

Dari jawaban Buya Yahya tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat para ulama terkait hukum kotoran cicak.

Hal itu dikarenakan oleh beberapa alasan yang logis.

Pertama, Cicak Adalah Hewan yang Tidak Berdarah

Dikutip dari laman muhammadiyahlamongan.com, menurut sebagian ulama termasuk madzhab syafi’i, serangga yang darahnya tidak mengalir dianggap tidak najis.

Ibnu Qudahah mengatakan sebagai berikut:

النَّوْعُ الثَّانِي، مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ

“Jenis yang kedua: hewan yang tidak memiliki nafs (baca: darah) yang mengalir, ia suci semua bagian tubuhnya dan semua yang keluar darinya”

Imam Nawawi -ulama Mazhab Syafii- dalam bukunya al-Majmu’ mengatakan:

وأما الوزغ فقطع الجمهور بأنه لا نفس له سائلة

“Untuk cicak, mayoritas ulama menegaskan, dia termasuk binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir.” (al-Majmu’, 1:129)

Imam ibnu qudamah juga mengatakan sebagai berikut:

مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ

“Binatang yang tidak memiliki darah mengalir semua bagian tubuhnya dan yang keluar dari tubuhnya (kotorannya) adalah suci.” (al-Mughni, 3:252).

Imam An Nawawi, ulama Madzhab Syafi’i, dalam kitab majmu syarah muhadzab mengatakan sebagai berikut:

وَأَمَّا الْوَزَغُ فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِأَنَّهُ لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ: مِمَّنْ صَرَّحَ بِذَلِكَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ فِي تَعْلِيقِهِ والبندنيجي والقاضى حُسَيْنٌ وَصَاحِبُ الشَّامِلِ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ كَالْحَيَّةِ وَقَطَعَ الشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ بِأَنَّ لَهُ نَفْسًا سَائِلَةً

“Adapun cicak, maka para jumhur ulama (Syafi’iyyah) berpendapat bahwa ia termasuk hewan yang tidak mengalir darahnya.

Di antara yang menegaskan hal tersebut adalah Syaikh Abu Hamid dalam Ta’liq-nya, Al Bandaniji, Al Qadhi Husain, penulis kitab Asy Syamil, dan selain mereka.

Dan dinukil dari Al Mawardi bahwasanya dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana ular. Dan Syaikh Nashr Al Maqdisi menguatkan bahwa cicak itu memiliki darah yang mengalir”

Kedua, Kotoran Cicak Digolongkan sebagai Najis yang Dimaafkan

Kotoran cicak itu dihukumi ma’fu atau kotoran yang dimaafkan.
Sehingga tidak perlu disucikan, cukup dibersihkan saja.

Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah Qolyubi juz 1 halaman 209:

(ويعفى) أي في الصّلاة فقط، أو فيها وغيرها ما مرّ على عامر. قوله: (عن قليل دم البراغيث) ومثله فضلات ما لا نفس له سائلة. قال شيخ شيخنا عميرة ومثله بول الخفّاش، كما في شرح شيخنا ورجّح العلّامة ابن قاسم العفو عن كثيره أيضا. قال وذرقه كبوله، وقال تبعا لابن حجر، وكذا سائر الطّيور، ويعفى عن ذرقها وبولها، ولو في غير الصّلاة على نحو بدن أو ثوب قليلا أو كثيرا رطبا أو جافّا ليلا أو نهارا لمشقّة الاحتراز عنها فراجعه مع ما ذكروه في ذرق الطّيور في المساجد

“Imam Ibnu Qasim berpendapat bahwa kotoran kelelawar sama halnya seperti kencingnya, pendapat beliau ini mengikuti Imam Ibnu Hajar, dan hal ini sama dengan jenis burung yang lainya.

Kotoran dan air kencingnya hukumnya dima’fu meskipun itu terjadi dalam selain shalat seperti terkena pada badan atau baju, baik najisnya sedikit atau banyak, basah ataupun kering, dan malam atau siang dikarenakan sulit untuk menjaganya, dan apa yang telah tertuturkan tadi itu hukumnya sama (dima’fu) dengan kotoran burung yang berada di dalam masjid.”

Saat seseorang sudah berwudhu ada sebagian yang mungkin tak paham tentang apa sebab batalnya wudhu.

Seseorang pun sempat menanyakan hal ini kepada Ustadz Adi Hidayat.

"Apakah saat kita menginjak tanah telanjang kaki dalam keadaan berwudhu itu dapat membatalkan wudhu tersebut?"

Ustadz Adi Hidayat pun menjelaskan mengenai hal tersebut.

Ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudhu.

"Tidak, telanjang kaki itu maksudnya tidak pakai alaskan, tidak pakai sendal tidak pakai sepatu, tidak tidak batal, Walaupun bahkan kaki itu menginjak kotoran," jelasnya.

Ia mencontohkan, semisal seseorang sudah berwudhu kemudian menginjak kotoran kucing, maka hal tersebut tidak membatalkan wudhu.

"Misal ada kotoran kucing keinjak, anda sedang berwudhu itu tidak batal yang ada bersihkan najisnya, cuci kaki anda panstikan kotoran kucingnya hilang," katanya.

 

Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Apakah Menginjak Kotoran Dapat Membatalkan Wudhu? Simak Penjelasan Ustadz Adi Hidayat, 

Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul Apakah Kotoran Cicak Itu Najis? Simak Penjelasan Ulama Berikut Ini, 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved