Wawancara Eksklusif

Kerap Diserang Komentar Netizen, Anies Baswedan Anggap Ngrasani Itu Bukan Barang Baru

Bagi Anies Baswedan, persepsi masyarakat tersebut sudah ada sejak lama bedanya kali ini ada timeline media sosial

|
Editor: Adhinata Kusuma
TRIBUNNEWS
Bakal calon Presiden Republik Indonesia, Anies Baswedan. 

TRIBUNKALTIM.CO - Jagat maya ramai dengan berbagai opini terhadap sosok tokoh bangsa yang juga bakal calon Presiden RI 2024-2029 Anies Baswedan.

Sebagian menilai mantan Gubernur DKI Jakarta ini berkinerja bagus, yang lain lagi mencibir, mengolok-olok, dan membully.

Bagi Anies Baswedan, persepsi masyarakat tersebut sudah ada sejak lama bedanya kali ini ada timeline media sosial.

"Itu bukan barang baru. Jadi dari dulu ya begitu. Nanti tahun 2050 bukan tidak mungkin nggak begitu di mana-mana ada," ungkapnya saat wawancara eksklusif dengan Tribun Network dikutip Sabtu (4/3/2023).

Menurutnya, obrolan di warung kopi suatu kota zaman dulu juga membicarakan persoalan politik namun tidak kedengaran sampai ke DKI Jakarta. Padahal di mana-mana orang membicarakan dengan tone yang bervariasi.

"Jadi kalau bahasa Jawanya ngrasani itu, bukan barang baru. Dibicarakan dengan negatif juga bukan barang baru mengapa jadi terkejut," tutur pria yang sudah mendapat dukungan dari tiga partai politik.

Baca juga: Serap Aspirasi Masyarakat Keliling Nusantara, Anies Baswedan Anggap Sebagai Perjalanan Spiritual

Berikut lanjutan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Anies Baswedan.

Apakah Pak Anies sempat mengikuti percakapan di media sosial terhadap mereka yang membully bagaimana perasaan Anda?

Itu bukan barang baru. Jadi dari dulu ya begitu. Nanti tahun 2050 bukan tidak mungkin nggak begitu di mana-mana ada. Terus bedanya apa, kalau dulu memang tidak kedengaran hanya di warung kopi membicarakan tentang politik.

Kalau sekarang warung kopi di kota x nggak kedengaran sama kita yang di kota Jakarta. Padahal di mana-mana orang membicarakan dengan tone yang bervariasi. Jadi kalau bahasa Jawanya ngrasani itu, bukan barang baru. Dibicarakan dengan negatif juga bukan barang baru mengapa jadi terkejut.

Jadi buat Pak Anies ini biasa saja?

Bukan hanya buat saya saja tetapi bagi student of history, siapa pun yang pernah membaca perjalanan sejarah pasti tahu itu normal. Bedanya dulu telinga kita cuma dua sekarang timeline itu jadi telinga kita.

Jadi seperti kita dengar semua, rileks saja. Karena ini bukan fenomena baru. Yang baru itu telinga kita jadi banyak namanya timeline tuh.
Ketika kita buka timeline di situ jadi kedengaran semua. Jangan fokus pada noise karena akan selalu ada. Fokus pada apa yang direncanakan lalu response pada voice, sesuatu yang substantif apa yang akan kita kerjakan.

Karena memang tujuan kita adalah menuntaskan rencana. Opini publik bisa dibentuk minimal dengan dua pendekatan. Satu dengan kita merekrut orang sebanyak-banyaknya untuk mengatakan apa yang ingin kita katakan dan kehendaki.

Atau kedua dengan cara kita mengerjakan lalu orang-orang mengalami setelah orang mengalami dan akan membentuk persepsi. Saya percaya yang kedua inilah persepsinya lebih solid karena dia membentuk opini berdasarkan pengalaman bukan membentuk opini berdasarkan kata orang.

Ketika kita berada di pemerintahan, saya waktu bertugas lima tahun saya meyakini bahwa warga Jakarta akan merasakan apa yang kita kerjakan karena saya berencana kerja lima tahun. Yang salah tolong dikoreksilah jangan sebarkan hoax tetapi bagian saya deliver saja.

Tetapi bukan berarti Pak Anies cuek dengan fenomena yang terjadi di media sosial?

Oh begini, kata cuek dan lain-lain tidak pernah menjadi vocab saya juga tetapi ada yang sebagian dijadikan bahan untuk saya berjalan. Dan itu bukan sesuatu yang menghabiskan energi. Jadi karena itulah saya tidak pernah khawatir, bahkan jangan khawatir apa yang ditulis media hari ini.

Tetapi khawatirlah dengan yang ditulis sejarahwan, sebab mereka akan menulis seluruh rentetan peristiwa ini dengan perspektif waktu yang lengkap.

Apa yang kita kerjakan sekarang belum tentu populer dan belum tentu disetujui orang banyak namun seiring berjalannya waktu orang menengok kembali oh ternyata itu hal yang benar ya.

Pak Anies setelah mendapatkan dukungan tiga partai dalam waktu dekat ini apa yang akan dilakukan?

Memastikan konsolidasi makin baik dan makin solid kemudian tentu untuk melakukan pembahasan dengan pasangan. Tentu dong itu penting walaupun tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan kapan tanggalnya.

Kemudian sambil berkomunikasi dengan unsur masyarakat terkait gagasan kampanye dan gagasan untuk pemerintah. Seberapa sulit sebenarnya memilih untuk calon pasangan Wakil Presiden?

Susah dan tidak itu perasaan ya. Jadi ini pasti akan perlu waktu, harus ngobrol dan diskusi memastikan bahwa pasangan yang terbentuk membuat koalisi semakin solid. Itu yang diperlukan.

Jadi menurut Pak Anies susah atau tidak susah itu soal perasaan ya?

Barangkali bukan hanya nggak gampang tetapi perlu waktu. Kalau boleh diceritakan apa dinamika yang paling menonjol selama proses memilih Wakil Presiden? Kan belum ini baru tiga partai.

Bagaimana pengalaman Pak Anies waktu memilih wakil saat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta?

Kalau waktu itu sudah jadi soalnya nggak perlu memilih. Kalau sekarang ini beda.

Pertanyaan pamungkas saya apa poin penting yang ingin Pak Anies sampaikan ke masyarakat?

Barangkali gini kita ingin Indonesia lebih baik, kita ingin Indonesia maju rakyatnya bahagia. Pemerintahannya efektif tata kelola berjalan dengan baik. Kita ingin itu semua. Tapi saat kita ingin semua itu kok cuma lihat angka survei ya. Dan media hanya melihat angka survei. Kita ini ingin Indonesia yang lebih baik.

Pertanyaannya Indonesia butuh orang yang seperti apa, butuh orang dengan gagasan apa, butuh orang dengan rekam jejak seperti apa. Butuh orang yang selama ini mengerjakan apa.

Coba semua media-media mainstream direduksi jadi tentang persentase. Seseorang disebut sebagai potensial tergantung angka surveinya saja kok. Seseorang dengan gagasan dan rekam jejak kalau angka survei kecil dia tidak dimasukkan ke dalam calon potensial.

Menurut saya ini reflektif. Mengapa? Karena republik ini didirikan dengan gagasan ketika kita memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, itu dengan voting. Yuk kita hitung jumlah voting suara terbanyak, terpilih bahasa Jawa. Kenapa gagasan sebab kita ingin sebuah bangsa yang ada kesetaraan, kita ingin bangsa yang punya daya rekat yang kuat oleh bahasa. Jadi sebuah republik didirikan oleh gagasan oleh semua orang yang berkumpul di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), itu mereka adalah orang intelektual semua. Di saat 95 persen penduduk Republik Indonesia ini buta huruf.

Lalu mereka membuat sebuah Republik yang setara. Bukan republik untuk satu golongan, bukan republik untuk golongan atas atau golongan ningrat karena kita tempatkan gagasan dan rekam jejak sebagai barang utama, bukan angka.

Saya mengajak mari kita dorong agar percakapan lima tahunan ini menjadi percakapan yang lebih substantif. Karena kita ini dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita republik. Kaum cendekiawan terdidik waktu itu memutuskan Indonesia merdeka lalu mereka menuliskan dalam rangkaian pesan narasi yang namanya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Itu dahsyat, dia katakan untuk melindungi setiap tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, terlibat ketertiban dunia, dan ujungnya meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jadi menuju ke sana setiap lima tahun sekali, saya ibaratkan kalau ini perjalanan satu grup gitu dalam suatu pengembaraan di hutan, maka setiap satu kilometer berhenti. Buka kompasnya, sebentar kita tadi titik berangkatnya di sana kita sekarang mau ke sana.

Kemudian tentukan lagi ketuanya siapa untuk lima tahun kedepan. Lima tahun ke depan bukan hanya soal 5 tahun atau 15 tahun kemarin tapi soal cita-cita Republik Indonesia. Menurut saya, sudah saatnya kita secara serius membicarakan Indonesia mau ke mana gagasan apa yang ditawarkan.

Rekam jejak apa yang dibawa karena kita berbicara sebuah bangsa yang besar. Sumber daya yang luar biasa banyak.

Ketika kita berbicara tentang mencari orang yang menjadi ketua kelompok ini bukan sekadar banyak-banyakan. Nanti kalau sudah jadi kandidat otomatis akan dapat suara kok.

Ini tugas partai politik, media untuk mengelaborasi rencana lima tahun ke depan agar menjadi sinkron apa yang mau diraih sebagai republik dan siapa-siapa saja yang diberikan tugas. (Tribun Network/Reynas Abdila/Bagian 2/ bersambung)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved