Berita Mahulu Terkini

Cerita Gendongan Bayi dan Fakta Dibalik Asal-usulnya di Mahakam Ulu Kaltim

Gendongan bayi adalah salah satu perlengkapan penting yang dirancang khusus untuk membawa bayi dengan cara yang nyaman dan aman

Penulis: Kristiani Tandi Rani | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO/KRISTIANI TANDI RANI
KARYA BUDAYA MAHULU - Gendongan bayi masyarakat Dayak, Baq Aban di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Dengan berbagai jenis dan model, gendongan bayi menjadi solusi praktis bagi para orangtua yang ingin tetap aktif sambil menjaga keintiman dengan sang buah hati.  

Ia melihat di dalam rumah itu sangat banyak harta benda yang ada didalam rumah itu yang tidak dimiliki orang darat satu diantaranya adalah Baq Aban.

Tidak lama kemudian mertua dari putri itu menyuruh sang ayah pulang dengan membawa Baq Aban dan manik-Manik sehingga Ia harus pulang kedarat.

Tapi dengan rasa tidak puas Ia tetap marah dan kesal karna anak perempuan satu-satunya harus menikahi hantu air tersebut.

Ayahnya tidak kehabisan akal, Ia memerintahkan semua penduduk yang ada di daerah Apau Kayan untuk meracuni sengai Kayan dari hulu sampai hilir mulai dari sungai sengit sampai ke jelarai sehingga semua penduduk yang hidup di aliran sengai Kayan bergabung  untuk mengambil ikan yang timbul akibat terkena racun (TUBA) tetapi Ia tidak berminat dengan ikan-ikan yang timbul pada saat itu.

Ia duduk-duduk dipinggiran sungai tiba-tiba muncullah gadis itu beserta anak-anaknya dengan memohon kepada  ayahnya supaya jangan meracuni sungai itu lagi sambil menangis.

Tetapi ayahnya tetap pada prinsipnya dengan nada pasrah gadis itu memberitahukan kepada ayahnya bahwa sang suami telah mengungsi ke salah satu anak sungai yang ada di jemahang.

Dengan rasa marah sang ayah memerintahkan seluruh warga kerajaannya pergi mencari keberadaan sang suami dari gadis tersebut `tetapi tidak ketinggalan juga saudara-saudaranya pergi mencari keberadaanya.

Tidak lama kemudian kakak tertua mereka menemukan sekor ikan belut raksasa (lembu) yang berdembunyi di salah satu muara anak sungai dan ia memanggil seluruh warga untuk berkumpul dan menyaksikan keberadaan belut tersebut.

Ayahnya yang mendengar kabar itu pun segera pergi untuk mendapatkan belut tersebut, dan ia meminta supaya belut itu dibunuh.

Semua prajurit tidak ada yang berani mendekati mahluk itu akhirnya mereka mengambil apa yang ada didekat situ untuk melemparinya.

Mereka mengambil temadau atau tebuh hutan yang ada dekat situ dan melacipkannya setajam mungkin dan melemparinya sampai belut itu mati.

Setelah mati mereka mengukurnya, ukurannya adalah sepanjang satu depa orang dewasa dan panjangnya 15 depa orang dewasa.

Lalu mereka angkat mahluk itu dengan muksud untuk memakannya guna untuk menambah kekuatan pasukan mereka.

Tapi, tiba-tiba sang gadis datang tergesa-gesa dan sambil berteriak "Ayah jangan ayah! jangan! dia suamiku,"

Ayahnya menjawab "Suami? Dia suami mu?" Ayahnya dengan tegas berkata "Saya tidak punya menantu seperti  itu dia adalah musuh ku!"

Tapi gadis itu terus memohon dan berjanji akan memberikan apa yang ia punya kepada sepuluh saudaranya asalkan belut itu tidak dimakan oleh mereka.

Ayahnya menerima tawaran itu dan merekapun pulang ke kerajaan di mana sang ayah duduk sebagai baginda raja.

Tidak lama kemudian air pun naik, terjadilah air besar yang sangat dasyat yang tidak pernah terjadi sebelumnya sampai menutup lubang angin rumah pada saat itu, hingga sore hari air pun surut.

Didapati oleh sang ayah bahwa didalam rumah ada sepuluh tempayan yang berukiran naga timbul, warna tempayannya kecoklatan dan warna naga timbulnya kebiru-biruan yang mengkilat.

Didalam tempayan itu terisi penuh manik bermacam-macam bentuk dan jenis yang terisi penuh dalam sepuluh tempayan tersebut.

Sang Ayah langsung memanggil seisi rumah untuk melihat tempayan-tempayan itu dan berdiri tegak diruang tamu, Ia berjejer rapi, bukan hanya sepuluh saudaranya saja yang datang melainkan seluruh yang mendengar teriakannya.

"Mereka terkejut melihat barang berharga sebanyak itu karena tidak pernah mereka melihat sebelumnya. Setelah mereka melihat dan mendapati manik-manik seperti itu, dibuatnya lah oleh mereka Baq Aban seperti yang di bawa pulang oleh ayahnya sebanyak yang bisa mereka buat," kisah Herlin pada TribunKaltim.co.

Mulai pada zaman itu keturunan dari ke sepuluh saudaranya itu, ketika mempunyai anak bayi haruslah membuat Baq Aban untuk menggendong bayi mereka.

Dengan seiringnya waktu, mulai saat itu suku Dayak Kenyah Apau Kayan melakukan perkawinan silang.

Sehingga mayoritas suku Dayak yang berasal dari Apau Kayan boleh menggendong bayi mereka. "Dengan Baq Aban," tuturnya.

Pasalnya, masyarakat Dayak Kenyah percaya tidak semua orang bisa memakai gendongan bayi Baq Aban.

Baq Aban hanya dapat digunakan oleh kaum golongan bangsawan.

(*)

 

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved