Terjawab Kenapa Malam 1 Suro Tidak Boleh Keluar Rumah dalam Tradisi Jawa

TRIBUNKALTIM.CO - Malam 1 Suro yang menandai pergantian tahun dalam kalender Jawa sekaligus bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah, memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi masyarakat Jawa. Namun, banyak masyarakat yang bertanya-tanya kenapa malam 1 suro tidak boleh keluar ?

Pada bulan Suro terdapat beberapa upacara adat dan mitos-mitos yang tidak boleh dilakukan di bulan itu. Di antara berbagai kepercayaan terdapat anjuran untuk tidak keluar rumah pada malam 1 Suro. Tetapi, kenapa malam 1 suro tidak boleh keluar ?

Untuk menjawab pertanyaan kenapa malam 1 suro tidak boleh keluar , simak ulasannya berikut ini.

Dikutip dari laman resmi Kemendikbud Republik Indonesia, malam 1 Suro merupakan awal bulan pertama tahun baru, yakni di bulan Suro.

Penanggalan 1 Suro mengacu pada kalender Jawa. Kalender Jawa sendiri diterbitkan pertama kali oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Kalender Jawa merupakan penggabungan antara penanggalan hijriyah atau kalender Islam, Hindu, dan masehi.

Malam 1 Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Ia diperingati setelah maghrib.

Adapun larangan untuk tidak keluar rumah pada Malam 1 Suro (yang merupakan malam menjelang 1 Muharram dalam kalender Hijriah) berlaku sejak setelah waktu Magrib (saat matahari terbenam) hingga menjelang waktu Subuh (dini hari) keesokan harinya.

Lalu, apa sebenarnya makna di balik tradisi ini?

Dikutip dari berbagai sumber, berikut uraian filosofi dan keyakinan di baliknya.

Dalam pandangan masyarakat Jawa, Malam 1 Suro dianggap sebagai periode di mana batas antara dunia nyata dan alam gaib menjadi lebih tipis.

Malam ini diyakini sarat dengan energi spiritual dan kekuatan supranatural. 

Beberapa pandangan tradisional menyebutkan bahwa aktivitas di luar rumah tanpa tujuan yang jelas dapat mengundang hal-hal yang tidak diharapkan atau bahkan membawa kesialan.

Mitos tentang "lampor" – pasukan gaib yang konon beriringan melewati daratan – atau keyakinan akan adanya oknum yang mencari tumbal ilmu hitam, menjadi bagian dari narasi yang membentuk pandangan ini.

Terutama bagi individu dengan weton tulang wangi atau berdiam di rumah dianggap sebagai langkah kehati-hatian.