TRIBUNKALTIM.CO - Departemen Pertahanan Amerika Serikat menandatangani kontrak dengan OpenAI untuk menyebarkan Kecerdasan Buatan (AI) generatif untuk penggunaan militer, meskipun perusahaan sebelumnya berkomitmen untuk tidak mengembangkan alat AI untuk peperangan.
Ya, OpenAI, perusahaan kecerdasan buatan yang dikenal lewat produk ChatGPT, mengantongi kontrak senilai 200 juta dollar Amerika Serikat (setara sekitar Rp3,2 triliun).
Kontrak ini ditujukan untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) bagi misi pertahanan dan keamanan nasional.
Menurut Pentagon, OpenAI—pencipta ChatGPT yang berbasis di AS—akan “mengembangkan prototipe kemampuan AI terdepan untuk mengatasi tantangan keamanan nasional yang kritis baik di ranah peperangan maupun ranah perusahaan.”
Baca juga: Perbendaan Mencolok Penggunaan ChatGPT, Gen Z untuk Curhat, Milenial Dipakai Buat Googling
Dilaporkan CNBC, pengumuman kontrak dilakukan pada Senin (10/6/2025), hanya beberapa bulan setelah OpenAI menyatakan akan bekerja sama dengan perusahaan rintisan teknologi pertahanan Anduril untuk mengintegrasikan sistem AI dalam berbagai misi militer.
Ini merupakan kontrak pertama OpenAI yang tercatat di situs resmi Departemen Pertahanan AS. Anduril sendiri sudah lebih dulu mendapatkan kontrak senilai 100 juta dollar AS (sekitar Rp1,6 triliun) pada Desember 2024.
Beberapa pekan sebelumnya, pesaing OpenAI, Anthropic, juga mengumumkan kerja sama dengan Palantir dan Amazon untuk memasok model AI kepada lembaga pertahanan dan intelijen di AS.
CEO sekaligus pendiri OpenAI, Sam Altman, pernah menyatakan bahwa keterlibatan perusahaannya di bidang pertahanan adalah hal yang penting. Dalam diskusi publik di Universitas Vanderbilt, April lalu, bersama mantan kepala Badan Keamanan Nasional (NSA) Paul Nakasone, Altman mengatakan, “Kami harus merasa bangga dan memang ingin terlibat dalam keamanan nasional.”
Kontrak baru ini menjadi bagian dari inisiatif OpenAI for Government, yang diluncurkan untuk menyediakan layanan ChatGPT Gov serta akses teknologi AI lain yang dirancang khusus bagi lembaga pemerintah AS.
“Kontrak ini, dengan plafon 200 juta dollar AS, akan menghadirkan keahlian AI terdepan dari OpenAI untuk membantu Departemen Pertahanan menciptakan prototipe dan sistem baru. Mulai dari perbaikan layanan kesehatan bagi anggota militer dan keluarganya, hingga pengelolaan data program dan akuisisi, serta pertahanan siber secara proaktif,” tulis OpenAI dalam blog resminya.
Perusahaan juga menekankan bahwa semua penggunaan AI akan tetap mengikuti kebijakan dan pedoman etis mereka.
Menurut dokumen resmi, kontrak ini diberikan kepada OpenAI Public Sector LLC. Proyek sebagian besar akan dijalankan di Wilayah Ibu Kota Nasional yang meliputi Washington D.C., Maryland, dan Virginia.
Infrastruktur AI Skala Raksasa
Sejalan dengan kontrak ini, OpenAI juga tengah memperkuat infrastruktur komputasi di dalam negeri. Pada Januari lalu, Sam Altman sempat muncul di Gedung Putih bersama mantan Presiden Donald Trump untuk mengumumkan proyek Stargate, proyek senilai 500 miliar dollar AS (sekitar Rp8.146 triliun) untuk membangun pusat komputasi AI di AS.
Meski kontrak dengan Departemen Pertahanan cukup besar, nilainya hanya sebagian kecil dari total pendapatan OpenAI. Perusahaan ini dilaporkan meraih lebih dari 10 miliar dollar AS (sekitar Rp162 triliun) per tahun.
Pada Maret 2025, OpenAI juga mengumumkan putaran pendanaan sebesar 40 miliar dollar AS (sekitar Rp650 triliun), dengan valuasi perusahaan mencapai 300 miliar dollar AS (sekitar Rp4.884 triliun).
Pada April lalu, Microsoft—penyedia layanan komputasi awan (cloud) bagi OpenAI—mengumumkan bahwa Badan Sistem Informasi Pertahanan (DISA) telah menyetujui penggunaan layanan Azure OpenAI untuk menangani data rahasia milik pemerintah AS.
Palestina sebagai tempat pengujian
Perkembangan ini meningkatkan kekhawatiran atas militerisasi dan persenjataan AI yang cepat, terutama karena teknologi ini telah digunakan dalam genosida yang sedang berlangsung terhadap warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.
OpenAI telah dikaitkan dengan Pasukan Pendudukan Israel (IOF) melalui kolaborasi dengan perusahaan seperti Microsoft, berkontribusi pada pengembangan dan penyebaran sistem AI seperti Gospel dan Lavender.
Sistem ini dilaporkan telah digunakan untuk mengidentifikasi, melacak, dan menargetkan individu dan bangunan sipil di Gaza, termasuk rumah, bangunan tempat tinggal, dan bahkan pekerja bantuan—yang berperan langsung dalam memfasilitasi genosida Israel.
Meta telah lama menerapkan sensor sistemik terhadap konten pro-Palestina sejak Oktober 2023. Human Rights Watch telah mendokumentasikan bagaimana platform Meta—termasuk Facebook dan Instagram—telah menekan unggahan tentang hak asasi manusia Palestina, protes damai, dan dokumentasi pelanggaran, yang didorong oleh kebijakan moderasi yang cacat, ketergantungan yang berlebihan pada alat otomatis, dan kemungkinan pengaruh pemerintah.
Palantir Technologies terlibat dalam genosida Gaza dengan memasok pengawasan canggih bertenaga AI dan analisis data kepada IOF, yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Pada bulan Januari 2024, Palantir memperkuat keterlibatannya dengan menandatangani kemitraan strategis dengan Kementerian Pertahanan Israel, dengan CEO Alex Karp secara terbuka menyatakan kebanggaannya dalam mendukung "upaya perang" Israel.
Pelanggaran berat terhadap hak dan kehidupan warga Palestina ini terus berlanjut tanpa kendali, sebagian besar karena ketidakpedulian Barat. Gaza dan Tepi Barat yang diduduki telah lama menjadi tempat percobaan bagi teknologi peperangan terbaru dan paling mematikan—di mana pengawasan bertenaga AI, sistem penargetan otomatis, dan alat kepolisian prediktif diuji pada populasi tawanan di bawah pendudukan dan apartheid yang brutal.
Badan-badan pemerintah AS yang sekarang secara terbuka bermitra dengan perusahaan-perusahaan teknologi di balik sistem ini, semakin melegitimasi kekhawatiran bahwa taktik-taktik brutal yang diterapkan terhadap Palestina akan menjadi hal yang biasa dan diekspor dalam skala yang jauh lebih luas, memperluas kekerasan dan penindasan negara dengan kedok kemajuan teknologi.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "OpenAI Raih Kontrak Rp3,2 Triliun dari Pentagon untuk Proyek AI Pertahanan
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram