Berita Internasional Terkini
Angkuhnya Netanyahu, Ancam Bakal Balas Negara-negara yang Akui Palestina Usai Bertemu Trump
Angkuhnya Benjamin Netanyahu, ancam bakal balas negara-negara yang akui Palestina usai bertemu Donald Trump.
TRIBUNKALTIM.CO - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu murka dengan makin banyaknya negara-negara yang mengakui Palestina.
Pengakuan terhadap negara Palestina oleh sejumlah negara Barat dinilai sebagai bentuk kejengkelan terhadap kebijakan Benjamin Netanyahu, khususnya dalam penanganan konflik di Gaza.
Langkah ini mencerminkan perubahan sikap global terhadap Israel yang dinilai semakin keras dan tidak kompromis.
Menurut Nomi Bar Yaacov, negosiator internasional dari Inisiatif Persaudaraan Global di Pusat Keamanan Jenewa, penolakan Netanyahu terhadap tawaran gencatan senjata menjadi pemicu utama ketegangan diplomatik.
Baca juga: 145 Negara Akui Palestina, Terbaru Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal yang Bikin Israel Murka
“(Netanyahu) diberi kesempatan, terutama oleh Perdana Menteri Inggris, untuk mencapai gencatan senjata terlebih dahulu. Namun ia tidak melakukannya. Ia terus mengobarkan perang di Gaza dengan konsekuensi bencana bagi rakyatnya,” ujar Bar Yaacov.
Ia menambahkan bahwa sikap keras Netanyahu telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang serius dan memperburuk citra Israel di mata dunia.
Bar Yaacov menyebut pengakuan Palestina oleh Inggris, Kanada, dan Australia sebagai langkah awal yang penting dalam mendorong perdamaian.
“Waktunya telah tiba untuk bertindak tegas,” katanya. Ia menggambarkan langkah tersebut sebagai “langkah awal yang akan menggerakkan dan memberi energi bagi mereka yang tertarik pada perdamaian.”
Langkah ini dipandang sebagai sinyal bahwa negara-negara Barat mulai kehilangan kesabaran terhadap pendekatan militer Israel dan menginginkan solusi politik yang lebih berkelanjutan.
Netanyahu Ancam Balas Negara yang Akui Palestina
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengancam akan membalas negara-negara yang mengakui negara Palestina.
Ia bersikeras Israel akan mencegah pendirian negara Palestina yang dianggapnya sebagai ancaman bagi Israel.
Pada hari Minggu, setidaknya ada empat negara yang mengakui negara Palestina yaitu Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal.
Sementara, negara-negara lain akan mendeklarasikan hal yang sama dalam Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Senin, 22 September 2025.
Baca juga: 142 Negara Setuju Palestina Merdeka, 10 yang Menolak, Ada AS hingga Papua Nugini
Menanggapi upaya tersebut, Netanyahu mengatakan tidak akan ada negara Palestina.
"Tidak akan ada negara Palestina. Respons terhadap upaya terbaru untuk memaksakan negara militan di jantung tanah air kami akan datang setelah saya kembali dari Amerika Serikat," kata Netanyahu pada hari Minggu (21/9/2025), dikutip dari Al Arabiya.
Ia mengulangi pernyataannya tentang pengakuan negara Palestina akan menjadi "hadiah untuk Hamas", kelompok perlawanan Palestina yang meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 dan membobol pertahanan Israel di sisi selatan Jalur Gaza.
"Saya punya pesan yang jelas kepada para pemimpin yang mengakui negara Palestina setelah 7 Oktober: Kalian menawarkan hadiah besar untuk militan... Dan pesan lain untuk kalian: Itu tidak akan terjadi. Tidak akan ada negara Palestina di sebelah barat Sungai Yordan," ujarnya.
Ia menyatakan pemerintahannya selama bertahun-tahun mencegah pendirian negara Palestina.
"Selama bertahun-tahun, saya mencegah pembentukan negara militan ini meskipun menghadapi tekanan luar biasa dari dalam dan luar," katanya, seraya menambahkan, "Kami melakukannya dengan tekad dan kebijaksanaan politik."
Perdana Menteri Israel, yang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan perang di Gaza, mengatakan Israel telah memperluas permukimannya di Tepi Barat untuk mencegah pendirian negara Palestina.
"Tidak hanya itu, kami juga telah menggandakan permukiman Yahudi di Yudea dan Samaria—dan kami akan melanjutkan pendekatan ini," kata Netanyahu.
Ia menyatakan Israel akan memberikan balasan kepada negara-negara yang mengakui Palestina setelah ia pulang dari Amerika Serikat (AS) untuk menemui sekutunya, Presiden AS Donald Trump.
Baca juga: Komunitas Muslim Balikpapan Bersatu Gelas Aksi Damai Bela Palestina
"Saya akan menghadiri Sidang Umum PBB, dan setelahnya, saya akan bertemu dengan sahabat kita, Presiden Trump," katanya.
"Respons terhadap upaya terbaru untuk memaksakan sebuah negara di jantung tanah air kita akan datang setelah saya kembali dari Amerika Serikat; nantikan saja," lanjutnya.
Dalam pernyataannya, Netanyahu mengatakan Israel akan melawan negara-negara yang mengakui negara Palestina di sidang ke-80 Majelis Umum PBB.
"Israel harus berjuang, baik di PBB maupun di semua forum lainnya, melawan propaganda fitnah yang ditujukan kepada kami dan melawan seruan pembentukan negara Palestina, yang akan mengancam keberadaan kami dan menjadi imbalan yang absurd bagi terorisme," ujar Perdana Menteri dalam pernyataan yang disebarluaskan oleh kantornya.
"Di PBB, saya akan menyampaikan kebenaran. Ini adalah kebenaran Israel, tetapi juga kebenaran objektif tentang perjuangan kita yang adil melawan kekuatan jahat. Saya juga akan menyampaikan visi kita tentang perdamaian sejati, perdamaian yang datang dari kekuatan," ujarnya, dikutip dari News AZ.
Israel Perluas Permukiman di Tepi Barat, Cegah Berdirinya Negara Palestina
Israel telah lama menjalankan proyek untuk mencaplok lebih banyak wilayah Palestina dengan mendirikan permukiman di Tepi Barat.
Permukiman tersebut didirikan secara masif dan tersebar di berbagai wilayah dengan tujuan mempersulit Palestina memiliki wilayah yang utuh dan memecah wilayahnya menjadi area-area kecil.
Pada 11 September 2025, Netanyahu menandatangani rencana proyek E1 untuk memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat seluas 12 km⊃2;, dengan pembangunan 3.421 rumah guna menghubungkan Ma’ale Adumim dengan Yerusalem yang diduduki.
Netanyahu menegaskan kembali sikapnya dengan mengatakan "tidak akan ada negara Palestina”, seraya menyatakan tujuan Israel adalah memperkuat kendali atas seluruh Tepi Barat, menggandakan jumlah penduduk permukiman, serta menjadikan Lembah Yordan sebagai garis depan timur Israel.
Proyek ini dinilai akan mengisolasi Yerusalem dari komunitas Palestina dan memutus keterhubungan wilayah yang dibutuhkan untuk pendirian negara Palestina.
Menurutnya, dengan menyebarkan permukiman dan pemukim Israel di wilayah Palestina dapat menjadi kekuatan bagi Israel dan mencegah berdirinya negara Palestina.
Selain itu, pemukim Israel yang berada di bawah lindungan militer Israel sering melakukan penjarahan lahan dan menyita rumah warga Palestina.
Al Jazeera melaporkan, pengakuan negara Palestina merupakan langkah kecil dan simbolis.
Negara-negara tersebut juga belum menyatakan atau merinci aspek apa saja yang dianggap sebagai pengakuan terhadap Palestina.
Para analis menyatakan skeptis, pengakuan tersebut dapat memperbaiki kondisi material warga Palestina yang saat ini menderita akibat agresi Israel.
Update Serangan Israel di Jalur Gaza
Sejak Oktober 2023, serangan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 65.283 warga Palestina dan melukai sedikitnya 166.575 orang, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza pada Minggu.
Blokade bantuan semakin memperburuk keadaan, dengan 440 orang meninggal karena kelaparan, termasuk 147 anak-anak.
Selain itu, sejak 27 Mei, 2.518 orang tewas dan lebih dari 18.449 lainnya terluka ketika Israel menyerang warga yang sedang mencari bantuan, seperti dilaporkan Anadolu Agency.
Israel menyalahkan Hamas atas situasi ini, merujuk pada Operasi Banjir Al-Aqsa yang diluncurkan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan ratusan warga Israel serta menyandera sekitar 250 orang.
Hamas menyebut aksinya sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel sejak 1948 dan kontrol atas kompleks Masjid Al-Aqsa.
Meskipun sempat terjadi pertukaran tahanan pada 2023 dan Januari 2025, Israel mengklaim sekitar 50 sandera masih ditahan di Gaza.
Dengan dalih menekan Hamas, Israel menutup total akses ke Gaza dan terus menggempur wilayah itu, menewaskan puluhan ribu warga sipil, menghancurkan rumah, dan memaksa mereka mengungsi.
Serangan juga menargetkan warga yang mengantre bantuan di pusat distribusi milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF) di Rafah, Khan Younis, dan Wadi Gaza.
Aksi ini berlangsung di tengah tekanan internasional dan pasokan bantuan yang jauh dari mencukupi.
Di sisi lain, sejak awal September, Israel melancarkan serangan besar-besaran di Kota Gaza dengan alasan menghantam basis Hamas dan menduduki wilayah tersebut.
Sementara itu, perundingan gencatan senjata yang dimediasi Qatar dan Mesir masih belum menemui titik terang.
Hamas tetap bersikeras pada tuntutan awal: gencatan senjata permanen, penarikan penuh pasukan Israel, pertukaran sandera dengan ribuan tahanan Palestina, distribusi bantuan tanpa hambatan, rekonstruksi Gaza, serta jaminan politik dan keamanan.
Israel, sebaliknya, menuntut Hamas menyerahkan senjata, membebaskan seluruh sandera, dan membubarkan organisasinya.
Israel juga menuding para pemimpin Hamas di Qatar sebagai penghalang negosiasi.
Ketegangan meningkat setelah militer Israel melancarkan serangan ke Doha pada 9 September, yang memicu kemarahan Qatar.
Negara Teluk itu menuntut permintaan maaf resmi dan berjanji akan memberi balasan, menurut laporan Channel 12 Israel. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pengakuan Negara Palestina Menunjukkan Barat Sudah Muak dengan Netanyahu dan Netanyahu: Tak Ada Palestina, Israel Siap Balas Negara yang Mengakuinya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.