Berita Nasional Terkini

Temuan DEEP: Sentimen Positif Dominan, Suara Netizen Terbelah Soal Soeharto Pahlawan Nasional

Temuan DEEP Indonesia ungkap sentimen publik terbelah soal pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Editor: Doan Pardede
Wikimedia Commons
SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL - Potret Presiden Soeharto. Temuan DEEP Indonesia ungkap sentimen publik terbelah soal pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.(Wikimedia Commons) 

Keputusan yang diambil akan berdampak jangka panjang terhadap masyarakat, khususnya generasi muda dalam memahami sejarah bangsa. 

"Menormalisasi pelanggaran masa lalu berisiko melukai keadilan dan rekonsiliasi yang belum tuntas," ujarnya.

Baca juga: Soeharto Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Respons Parpol Terbelah, PDIP Getol Menolak

Kesimpulan Hasil Penelitian DEEP

Analisis terhadap sentimen publik terkait rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menunjukkan gambaran yang kompleks dan terpolarisasi, merefleksikan tarik-ulur ingatan sejarah, kontribusi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat padanya. Data ini dihimpun dari 5.989 pemberitaan di media mainstream (online, cetak, elektronik) dan 39.351 percakapan di media sosial (X, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok) selama periode 1–10 November 2025.

1. Dominasi Sentimen Positif di Media Mainstream dan X

Media mainstream (online, cetak, elektronik) menunjukkan dukungan paling kuat dengan 73persen sentimen positif, hanya 21persen negatif, dan 6persen netral. Hal ini mengindikasikan adanya narasi yang cenderung konstruktif dan kemungkinan agenda pemberitaan yang berfokus pada aspek-aspek positif pemerintahan Soeharto.

X (Twitter) juga didominasi sentimen positif sebesar 71persen, dengan sentimen negatif yang sangat rendah (9persen). Ini menunjukkan bahwa di platform X, kelompok pendukung narasi positif tentang Soeharto cukup vokal dan berhasil menciptakan gelombang percakapan yang mendukung.

2. Sentimen Netral dan Negatif yang Signifikan di Platform Visual dan Diskusi

Instagram (58persen netral) dan TikTok (57persen netral) memiliki proporsi sentimen netral yang sangat tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karakteristik konten di platform ini yang lebih fokus pada penyebaran informasi faktual atau visual tanpa diikuti komentar atau opini yang kuat, atau karena audiensnya yang cenderung lebih muda dan kurang terlibat dalam diskusi politik mendalam mengenai isu sejarah tersebut.

Facebook (38persen netral, 35persen negatif) dan YouTube (38persen netral, 39persen negatif) menjadi platform dengan puncak tertinggi sentimen negatif. Facebook, dengan sifatnya sebagai wadah komunitas dan diskusi, serta YouTube yang memungkinkan konten video mendalam, menjadi sarana bagi pengguna untuk menyuarakan kritik dan keberatan secara lebih eksplisit.

3. Narasi Sentimen Positif

Narasi sentimen positif berakar kuat pada dukungan organisasi keagamaan, yaitu pengakuan dari tokoh NU dan Muhammadiyah yang menyoroti kontribusi Soeharto terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan. Bahkan, Muhammadiyah menyebutnya sebagai “bibit Muhammadiyah”, memberikan legitimasi moral dan sosial bagi pendukungnya.
Fokus pada pembangunan dan stabilitas: Soeharto dilihat sebagai tokoh yang menjaga stabilitas nasional, membangun pondasi ekonomi, dan memimpin pembangunan yang krusial bagi Indonesia. Narasi ini sering kali mengabaikan aspek-aspek negatif kepemimpinannya demi menekankan pencapaian material.

Baca juga: Nama-nama 10 Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ada Soeharto dan Gus Dur

4. Narasi Sentimen Negatif

Narasi sentimen negatif berpusat pada suara-suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dan akademisi, seperti adanya pelanggaran HAM berat dan pemangkasan kebebasan berpendapat yang menjadi inti penolakan. Kritik bahwa pemberian gelar pahlawan akan “mematikan demokrasi” dan “bertentangan dengan semangat reformasi 1998” menunjukkan kekhawatiran akan pengabaian sejarah kelam.
Korupsi dan kerusakan moral dengan narasi “pengaburan sejarah koruptif” dan “menodai integritas moral bangsa” mencerminkan pandangan bahwa era pemerintahannya diwarnai praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merugikan negara.
Penolakan normalisasi pelanggaran merupakan penolakan tegas bahwa “gelar pahlawan tidak semestinya dijadikan alat untuk menormalisasi sarat pelanggaran” dan ungkapan “Soeharto bukan pahlawan kami, sama dengan negara menulis ulang luka sejarah” memperlihatkan adanya perlawanan terhadap upaya untuk membersihkan citra masa lalu tanpa akuntabilitas penuh.

5. Polarisasi dan Pertarungan Narasi

Polarisasi sentimen ini menunjukkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar pengakuan sejarah, melainkan juga pertarungan narasi yang mendalam tentang identitas bangsa, keadilan, dan masa depan demokrasi. Adanya perbedaan yang signifikan antara media mainstream dan sebagian media sosial menggarisbawahi pentingnya melihat dinamika opini publik secara holistik, tidak hanya dari satu lensa.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved