Berita Viral

Guru Abdul Muis Viral Dipecat 8 Bulan Jelang Pensiun, Ini Penjelasan Disdik Sulsel

Penjelasan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan soal pemecatan guru Abdul Muis yang kasusnya viral di media sosial.

Kompas/MUH. AMRAN AMIR
GURU DIPECAT - Abdul Muis (59), guru mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan saat dikonfirmasi kompas.com, Senin (10/11/2025). Penjelasan Disdik Sulsel soal pemecatan guru Abdul Muis (Kompas/MUH. AMRAN AMIR) 
Ringkasan Berita:
  • Dua guru di Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal, diberhentikan tidak hormat setelah putusan pengadilan terkait dana komite Rp20 ribu yang disebut hasil kesepakatan orang tua
  • Disdik Sulsel menegaskan batas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib, serta menjelaskan kasus ini di RDP DPRD Sulsel
  • PGRI Luwu Utara gelar aksi solidaritas dan ajukan grasi ke Presiden sebagai bentuk dukungan kemanusiaan.

TRIBUNKALTIM.CO - Penjelasan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan soal pemecatan guru Abdul Muis yang kasusnya viral di media sosial.

Selain Abdul Muis, adapun Rasnal, diberhentikan tidak dengan hormat setelah putusan pengadilan atas dugaan pelanggaran terkait pengumpulan dana komite sekolah pada 2018–2019.

Adapun hari ini akan dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan (Disdik Sulsel) dan DPRD Sulsel yang digelar hari ini, Rabu (12/11/2025). 

Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa keberadaan Komite Sekolah dan mekanisme pengumpulan dana pendidikan telah diatur secara jelas melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).

 Namun, ia mengingatkan adanya batas tegas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib, yang tidak diperbolehkan menurut aturan.

Baca juga: Viral Kisah Guru Abdul Muis, Pengabdian 27 Tahun Berakhir Dipecat 8 Bulan Jelang Pensiun

“Komite itu diatur di Permendikbud. Artinya, Komite tidak dilarang melakukan pengumpulan dana pendidikan, tetapi hanya dalam bentuk bantuan sukarela, bukan pungutan wajib,” ujar Iqbal, Selasa (11/11/2025).

Iqbal menjelaskan, pengumpulan dana oleh Komite Sekolah diperbolehkan selama dilakukan secara transparan dan tidak bersifat memaksa.

“Pungutan tidak boleh mewajibkan. Tapi kalau meminta bantuan, boleh. Namanya sumbangan itu ya sukarela, terserah yang mau memberi,” ujarnya.

Pernyataan itu menanggapi kasus dua guru, Abdul Muis dan Rasnal, yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) usai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Mereka dinilai melakukan pungutan liar (pungli) terkait iuran sekolah sebesar Rp20 ribu per bulan, yang sebenarnya, menurut sejumlah pihak, merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa.

Iuran Rp20 Ribu yang Dianggap Pungli

Kisah ini bermula pada 2018, ketika Abdul Muis ditunjuk sebagai bendahara komite sekolah di SMA Negeri 1 Luwu Utara.

Dalam rapat antara pengurus komite dan orang tua siswa, dibahas persoalan mengenai guru honorer yang tidak mendapat insentif karena tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) — sistem pendataan nasional yang digunakan pemerintah untuk mendistribusikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Karena guru-guru honorer tersebut tidak ter-cover oleh dana BOS, para orang tua siswa sepakat untuk memberikan sumbangan sukarela sebesar Rp20.000 per bulan.

“Yang tidak mampu tidak diminta membayar. Bahkan yang punya anak lebih dari satu, cukup bayar satu saja,” jelas Abdul Muis dalam wawancaranya, Minggu (9/11/2025).

Abdul Muis mengaku tidak menerima insentif pribadi dari dana tersebut.

“Saya menerima tunjangan transportasi Rp125 ribu per bulan dan sebagai wakasek Rp200 ribu. Tapi uang itu saya berikan kepada guru honorer yang kadang tidak hadir karena tidak punya uang untuk beli bensin,” ujarnya.

Program sumbangan komite itu berjalan selama tiga tahun. Namun, pada 2020, seorang pemuda yang mengaku dari LSM mendatangi rumah Abdul Muis dan meminta untuk memeriksa pembukuan komite.

Karena Abdul Muis enggan memperlihatkan, orang tersebut mengancam akan melapor ke polisi.

Pada Maret 2021, Abdul Muis pun mendapat panggilan dari pihak kepolisian dan dijerat dengan tuduhan melakukan pungutan liar serta pemaksaan pembayaran kepada siswa.

“Padahal, dana itu hasil kesepakatan rapat. Tidak ada paksaan, tidak ada pemotongan, semuanya terbuka,” ujarnya.

Setelah melalui penyidikan dan persidangan panjang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Abdul Muis.

Ia menjalani hukuman 6 bulan 29 hari di Rutan Masamba karena sebagian masa tahanannya dihitung sebagai tahanan kota.

Setelah bebas, ia sempat kembali mengajar di SMA Negeri 1 Luwu Utara, sebelum akhirnya menerima SK Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulsel pada Oktober 2025.

“Kami hanya ingin membantu mereka demi kemanusiaan. Tapi akhirnya kami di-PTDH. Ini sangat melukai rasa keadilan,” ujarnya lirih.
 
Kesaksian Orang Tua Siswa

Sejumlah orang tua siswa membenarkan bahwa iuran Rp20 ribu tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama, bukan pungutan paksa.

Akrama, salah satu orang tua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, menuturkan bahwa ia masih mengingat jelas kesepakatan rapat tahun 2018.

“Ini kan kesepakatan orang tua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik,” ujarnya, Selasa (11/11/2025).

Ia menambahkan, para orang tua tidak merasa terbebani.

“Kami orang tua waktu itu tidak keberatan. Karena ini untuk anak kami yang dididik. Saya juga pernah merasakan jadi guru sukarela,” imbuhnya.

Akrama berharap agar hak dua guru yang diberhentikan itu dapat dikembalikan.

“Harapan saya sebagai orang tua, kembalikan hak kedua guru ini. Mereka punya keluarga. Anak kami pun bisa selesai kuliah karena jasa mereka,” katanya sambil menitikkan air mata.
 
Rasnal: Mantan Kepala Sekolah yang Juga Diberhentikan

Selain Abdul Muis, Rasnal, mantan Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara, juga diberhentikan dengan alasan serupa.

Ia divonis satu tahun dua bulan penjara dan delapan bulan di antaranya dijalani di lembaga pemasyarakatan.

Setelah bebas, ia tetap mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara tanpa menerima gaji selama hampir setahun.

“Pihak bank mengatakan gaji saya ditahan karena ada nota dinas,” ungkap Rasnal.

Akhirnya, keluar Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD yang menetapkan pemberhentian tidak hormat terhadap dirinya.

“Saya merasa keputusan ini sangat tidak adil bagi saya. Tidak ada niat sedikit pun untuk mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar para guru honorer yang sudah bekerja keras tetap bisa mendapat hak mereka,” katanya.

Rasnal berharap keputusan itu bisa ditinjau ulang.

“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” ujarnya.
 
Disdik Sulsel dan DPRD Gelar RDP

Menanggapi kontroversi ini, Disdik Sulsel bersama DPRD Sulsel menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) hari ini, Rabu (12/11/2025), guna membahas secara terbuka duduk perkara kasus tersebut.

“RDP ini penting agar publik tahu batas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib. Supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini,” tegas Iqbal Nadjamuddin.

Ia menegaskan bahwa keputusan pemberhentian kedua guru tersebut bukan keputusan sepihak, melainkan tindak lanjut dari putusan hukum berkekuatan tetap sesuai aturan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam aturan ASN, pegawai yang dipidana lebih dari dua tahun dapat diberhentikan tidak hormat, dan untuk kasus korupsi, pemberhentian berlaku otomatis setelah vonis bersalah.

Kasus ini juga memicu gelombang simpati di kalangan guru. PGRI Luwu Utara menggelar aksi solidaritas di halaman kantor DPRD Luwu Utara pada 4 November 2025 sebagai bentuk dukungan terhadap dua guru tersebut.

“Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh tenaga pendidik di Indonesia. Kami meminta pemerintah segera menyusun regulasi yang memberikan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan kebijakan sekolah,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

Selain itu, PGRI mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto melalui surat resmi bernomor 099/Permhn/PK-LU/2025-2030/2025, yang juga ditembuskan ke Ketua DPR RI, Gubernur Sulsel, dan Pengurus Besar PGRI di Jakarta.

“Kami berharap langkah ini membuka ruang dialog dan pertimbangan kemanusiaan. Mereka telah puluhan tahun mengabdi dan layak mendapat kesempatan memperbaiki diri,” ujar Ismaruddin.
Ia menegaskan,

“Kami tidak menolak hukum. Tapi kami percaya, keadilan sejati bukan hanya soal hukuman, melainkan tentang bagaimana negara memberi kesempatan warganya memperbaiki diri.”

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved