Berita Nasional Terkini
5 Pernyataan Menkes Budi soal BPJS Kesehatan: Dari Ubah Sistem Rujukan hingga Tak Cover Orang Kaya
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melontarkan kritik tajam dan sekaligus gagasan perubahan besar terhadap sistem BPJS Kesehatan
Ringkasan Berita:
- Menkes Budi Gunadi Sadikin mengkritik sistem rujukan BPJS berjenjang karena memperlambat layanan dan membahayakan pasien
- Pemerintah mendorong rujukan berbasis kompetensi serta reformasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)
- BPJS diarahkan lebih fokus melayani masyarakat berpenghasilan rendah, sementara peserta mampu didorong menggunakan asuransi swasta.
TRIBUNKALTIM.CO - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melontarkan kritik tajam dan sekaligus gagasan perubahan besar terhadap sistem BPJS Kesehatan—mulai dari pola rujukan, pelayanan gawat darurat, pembagian peran dengan asuransi swasta, hingga rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Serangkaian pernyataan Menkes Budi Gunadi Sadikin tersebut muncul dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Kamis, 13 November 2025.
Simak selengkapnya berikut ini.
1. Kritik Menkes terhadap Sistem Rujukan Berjenjang: “Keburu Wafat Nanti Dia”
Dalam beberapa kesempatan, Menkes Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa sistem rujukan berjenjang BPJS Kesehatan sudah tidak relevan lagi, tidak efisien, membebani biaya, dan bahkan berpotensi membahayakan nyawa pasien.
Menurut Budi, pola rujukan saat ini mengharuskan pasien berpindah dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas/klinik) ke rumah sakit tipe C, kemudian tipe B, lalu baru ke tipe A.
Padahal untuk sejumlah kasus, tindakan hanya dapat dilakukan di rumah sakit tipe A.
Ia memberi contoh kasus serangan jantung yang memerlukan operasi jantung terbuka.
“Sekarang kalau orang misalnya sakit kena serangan jantung, harus dibedah jantung terbuka, dia dari puskesmas, masuk dulu ke rumah sakit tipe C. Tipe C rujuk lagi tipe B. Nanti tipe B, rujuk lagi tipe A. Padahal yang bisa lakukan sudah jelas tipe A. Tipe C, tipe B enggak mungkin bisa tangani.”
Karena harus melalui beberapa jenjang rumah sakit, pasien membutuhkan waktu lebih lama hingga mendapatkan tindakan yang sebenarnya hanya dapat dilakukan di tipe A.
Menkes bahkan menyebut risiko fatal dari keterlambatan tersebut, “Dari masyarakat juga lebih senang, enggak usah dia rujuknya tiga kali lipat, keburu wafat nanti dia kan.”
Selain mengancam keselamatan pasien, pola rujukan berjenjang juga disebut merugikan BPJS.
“Harusnya dengan demikian, BPJS enggak usah keluar uang tiga kali, dia keluar sekali aja, yok, langsung dinaikin ke yang paling atas.”
Dengan kata lain, sistem rujukan berjenjang membuang waktu sekaligus membuang biaya.
2. Usulan Sistem Baru: Rujukan Berbasis Kompetensi
Sebagai solusi, Budi Gunadi Sadikin mengusulkan agar rujukan pasien berbasis kompetensi rumah sakit—bukan lagi berdasarkan jenjang kelas D, C, B, A.
Rujukan berbasis kompetensi merupakan sistem rujukan yang mengirim pasien langsung ke rumah sakit yang memiliki layanan sesuai kebutuhan medisnya, bukan berdasarkan jenjang kelas rumah sakit.
Menurut Budi Gunadi Sadikin, konsep ini akan memotong birokrasi medis yang tidak perlu dan mempercepat penanganan pasien.
Dirjen Kesehatan Lanjutan Kemenkes, Azhar Jaya, saat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta menegaskan, “Ke depan, kami akan memperbaiki sistem rujukan. Kalau saat ini rujukannya berjenjang, yaitu dari rumah sakit kelas D, kemudian kelas C, kemudian kelas B, sampai kelas A, maka ke depan kami akan melakukan perubahan perbaikan rujukan, menjadi rujukan berbasis kompetensi.”
Artinya, FKTP tetap melakukan pemeriksaan awal, tetapi setelah diagnosis ditegakkan, pasien akan langsung dikirim ke rumah sakit yang sesuai kebutuhan penyakitnya.
“Tetap harus ke faskes, tapi faskes yang pertama akan menentukan, dia itu level layanannya itu tingkat apa,” ujar Budi.
Contohnya:
Stroke ringan → langsung ke RS dengan layanan stroke tingkat C
Stroke berat → langsung ke RS dengan layanan tingkat B atau A
Pemasangan ring jantung → langsung ke RS tipe B tanpa harus melewati tipe D atau C
Menkes menjelaskan:
“Jadi kalau orang sudah diperiksa misalnya di puskesmas, ‘oh dia perlu dipasang ring gitu jantungnya’, itu nggak usah harus ke (RS) tipe D dulu... tapi dia akan langsung masuk ke tipe B.”
Keuntungan sistem baru:
mengurangi antrean rumah sakit
mempercepat tindakan
menghemat biaya BPJS
mengurangi beban administratif
3. Tidak Ada Rumah Sakit yang Boleh Menolak Pasien Darurat
Dalam isu lain yang terjadi pada periode sama, Menkes menegaskan keras bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien gawat darurat dalam kondisi apa pun.
Pernyataan ini muncul setelah kasus Repan (16), warga Baduy Dalam, korban begal di Jakarta Pusat yang sempat ditolak rumah sakit karena tidak membawa KTP.
Budi menegaskan, “Ya, Seharusnya kalau ada pasien masuk rumah sakit dan kritis itu tidak boleh ditolak ya.”
Ia juga menyatakan telah berkomunikasi dengan Dirut BPJS Kesehatan Ghufron Ali Mukti agar rumah sakit—khususnya RS daerah yang menjadi mitra BPJS—wajib menerima pasien darurat tanpa alasan administratif.
“Nanti kan rumah sakit-rumah sakit daerah ini kan mitranya BPJS, itu yang nanti akan dipastikan.”
Kasus Repan menjadi contoh nyata bahwa regulasi perlu ditegakkan lebih tegas.
Korban harus mencari pertolongan sendiri setelah ditolak, hingga akhirnya ditangani di RS Ukrida dengan bantuan orang lain.
4. BPJS Diminta Fokus untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Selain soal rujukan dan layanan darurat, Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa BPJS harus lebih fokus melayani masyarakat berpenghasilan rendah.
Harapan pemerintah, BPJS Kesehatan untuk fokus melayani masyarakat kelas bawah saja.
Hal tersebut disampaikan Budi saat sedang rapat bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
"Nah, di yang baru nanti rencananya kita akan lakukan kelas rawat inap standar (KRIS). Ini maksudnya apa? Supaya, sudah, BPJS tuh fokusnya ke yang bawah saja, walaupun ini didebat terus sama BPJS. Tapi, saya bilang, BPJS enggak usah cover yang kaya-kaya deh," ujar Budi.
Budi meminta agar biaya perawatan orang kaya di-cover oleh asuransi swasta saja.
Dia turut mengungkit perjanjian antara Kemenkes dan OJK mengenai kombinasi swasta dan BPJS yang baru ditandatangani tadi pagi.
"Kenapa? Karena kaya kelas 1 itu, biar dia dianggap swasta. Itu sebabnya tadi pagi, kita tanda tangan sama OJK untuk combine benefit, sudah di-approve juga oleh Komisi 11 POJK mengenai kombinasi swasta dan BPJS. Karena selama ini kan enggak bisa nyambung tuh coordination benefit-nya," ujar dia.
Maka dari itu, kata Budi, perawatan orang-orang kaya harus diserahkan kepada asuransi swasta saja.
Dengan begitu, semua rakyat Indonesia bisa ter-cover BPJS Kesehatan.
"Biarin yang besar swasta saja yang ambil. Supaya BPJS bisa sustain, diambil yang level bawah, semuanya di-cover sama. 280 juta rakyat Indonesia, dia kaya miskin, harusnya di-cover sama. Kalau ada apa-apa, seperti itu," imbuh Budi.
5. Rencana Implementasi KRIS (Kelas Rawat Inap Standar)
Seperti diketahui, Pemerintah memutuskan mengundur penerapan KRIS dari target Juli 2025 menjadi Desember 2025. Keputusan tersebut diambil karena mempertimbangkan kesiapan rumah sakit.
Dilansir dari Kompas.id, dalam artikel "Penerapan Kelas Standar JKN Diundur Desember 2025, Konsep Standardisasi Belum Disepakati", konsep pada KRIS adalah menyetarakan kelas rawat bagi seluruh peserta menjadi satu kelas yang sama.
Hal ini merujuk pada konsep asuransi sosial yang dijalankan dengan prinsip ekualitas, keadilan, dan gotong royong.
Itu diartikan bahwa meski iuran yang dibayarkan oleh peserta bisa berbeda-beda tergantung pada kemampuan secara ekonomi, layanan yang didapatkan tidak berbeda atau disamakan, termasuk pada fasilitas yang didapatkan.
”Namun, memang saya memahami bahwa kita sejak awal mulainya sudah dibedakan kasta-kastanya, antara kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Nah, ini yang secara bertahap kita harus rapikan supaya prinsip ekualitas dan prinsip gotong royong ini tercapai,” kata Menkes Budi, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Budi menyampaikan, hanya ada 57,2 persen rumah sakit dari sekitar 2.500 rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang siap menjalankan kriteria KRIS pada akhir Juni 2025. Namun, jika kriteria dijalankan akhir Desember 2025, ada 88 persen sudah siap.
”Jadi, memang hampir 90 persen (rumah sakit) akan siap pada akhir 2025. Oleh karena itu, kita akan perpanjang (target penerapan KRIS) dari akhir Juni menjadi sampai 31 Desember 2025,” ujar Budi.
Adapun kriteria KRIS yang dirujuk oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor 1811 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana RS dalam penerapan KRIS.
Kriteria tersebut, antara lain, kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak tepi tempat tidur minimal 1,5 meter, terdapat tirai atau partisi antar-tempat tidur, terdapat outlet oksigen, terdapat kamar mandi dalam ruang rawat inap, serta dapat mempertahankan suhu ruangan 20-26 derajat celsius.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menkes Protes Sistem Berjenjang Rujukan BPJS Kesehatan yang Tak Efisien: Keburu Wafat Nanti Dia
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menkes Tegaskan Tak Boleh Ada Rumah Sakit Tolak Pasien yang sedang Memerlukan Pertolongan Darurat
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/11/13/15241541/menkes-bpjs-kesehatan-enggak-usah-cover-yang-kaya-fokus-ke-bawah-saja?page=all#page2.
Sumber: https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/11/13/174500288/ubah-sistem-lama-menkes-budi--rujukan-bpjs-langsung-ke-rumah-sakit?page=all#page2.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ini Alur Rujukan BPJS Kesehatan Tanpa Jenjang yang Diinginkan Menkes, Bisa Langsung ke RS Tipe B
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251114_menkes-budi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.