IPOC 2025
IPOC 2025, Masa Depan Sawit Ditentukan oleh Biodiesel dan Reformasi Regulasi
Hari pertama 21st Indonesian Palm Oil Conference langsung memunculkan dua isu paling krusial yang akan menentukan masa depan industri sawit.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani | Editor: Budi Susilo
Ringkasan Berita:
- Lonjakan pemanfaatan biofuel itu menyerap sebagian besar CPO untuk kebutuhan domestik;
- Biodiesel telah menjadi instrumen paling strategis dalam menjaga stabilitas harga sawit;
- Mengusulkan pembentukan Badan Sawit Nasional dengan prinsip “One Map, One Data, One Authority.
TRIBUNKALTIM.CO, BALI - Hari pertama 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 langsung memunculkan dua isu paling krusial yang akan menentukan masa depan industri sawit Indonesia: ketahanan energi berbasis biodiesel dan kepastian hukum tata kelola sawit.
Dua panelis utama, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman dan Kepala Pusat Studi Sawit IPB University Prof. Budi Mulyanto, menegaskan bahwa industri sawit akan rapuh jika dua fondasi ini diabaikan.
“Biodiesel bukan hanya energi alternatif, tetapi pilar stabilisasi harga sawit dan ketahanan energi Indonesia,” ujarnya.
Biodiesel jadi Perisai Harga dan Energi Nasional
Eddy menekankan bahwa biodiesel telah menjadi instrumen paling strategis dalam menjaga stabilitas harga sawit sekaligus memperkuat ketahanan energi Indonesia.
Program ini mendorong konsumsi biodiesel melonjak dari 119 ribu kiloliter pada 2009 menjadi lebih dari 15,6 juta kiloliter pada 2025, melalui implementasi B10 hingga B35 dan persiapan menuju B40.
Lonjakan pemanfaatan biofuel itu menyerap sebagian besar CPO untuk kebutuhan domestik, sehingga mampu menjaga harga tandan buah segar (TBS) di kisaran Rp1.344–Rp2.932 per kilogram selama satu dekade terakhir, faktor yang menopang pendapatan lebih dari 2,5 juta petani.
Dampaknya terhadap energi nasional juga signifikan. Ketergantungan Indonesia pada impor solar turun dari 86 persen pada 2014 menjadi 37 persen pada 2024.
Penghematan devisa melonjak dari Rp12 triliun (2017) menjadi proyeksi Rp147 triliun pada 2025.
Lapangan kerja juga ikut terdorong, dari 323 ribu pekerja (2017) menjadi hampir 2 juta pekerja pada 2025.
Namun, Eddy mengingatkan bahwa keberlanjutan biodiesel menghadapi tantangan teknis dan fiskal, terutama ketika harga CPO lebih tinggi dari solar fosil. Ia menilai fleksibilitas pungutan, penguatan sertifikasi, dan diversifikasi bahan baku menjadi kunci.
“Program biodiesel adalah bukti bahwa energi hijau dan kesejahteraan petani dapat berjalan beriringan. BPDP berkomitmen menjaga keberlanjutan program ini untuk masa depan energi Indonesia,” ujar Eddy.
Sawit jadi Instrumen Diplomasi Ekonomi
Prof. Budi Mulyanto membawa diskusi ke isu fundamental: ketidakpastian hukum dan fragmentasi regulasi.
Ia menegaskan bahwa sawit bukan lagi sekadar komoditas pertanian, melainkan pilar diplomasi ekonomi Indonesia yang mengelola 16,8 juta hektare lahan, menyerap 16,5 juta tenaga kerja, dan menyumbang US$30–40 miliar ekspor per tahun.
Namun, 42 persen lahan yang dikelola petani rakyat masih berhadapan dengan tumpang tindih status kawasan, sehingga posisi hukum pekebun tetap rentan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251114_IPOC-2025-Bali-Meriah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.