IPOC 2025

Industri Sawit di Tengah Tantangan Global, Pertarungan Bangun Kepercayaan di Era EUDR

Industri sawit memasuki fase krusial ketika tekanan regulasi, terutama dari Uni Eropa, bertemu dengan gelombang persepsi negatif global

TRIBUNKALTIM.CO/MUHAMMAD FACHRI RAMADHANI
INDUSTRI SAWIT - Suasana hari kedua di acara IPOC 2025 di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025). Delegasi tampak antusias mengunjungi puluhan booth di area konferensi. (TRIBUNKALTIM.CO/MUHAMMAD FACHRI RAMADHANI) 

TRIBUNKALTIM.CO — Industri sawit memasuki fase krusial ketika tekanan regulasi, terutama dari Uni Eropa, bertemu dengan gelombang persepsi negatif global. 

Adjunct Professor John Cabot University, Pietro Paganini, menegaskan bahwa tantangan utama sawit saat ini bukan lagi produktivitas, melainkan perang membentuk kepercayaan publik.

Berbicara pada hari kedua IPOC 2025 di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025), Paganini menyebut bahwa sawit sebagai komoditas paling produktif dan inklusif justru memikul reputasi buruk akibat kesenjangan antara fakta dan opini publik. 

Kondisi ini membuat sawit kerap dijadikan “kambing hitam”, padahal berkontribusi signifikan pada pengentasan kemiskinan, pemenuhan gizi, dan efisiensi lahan.

Baca juga: IPOC 2025, Masa Depan Sawit Ditentukan oleh Biodiesel dan Reformasi Regulasi

EUDR: Tantangan atau Arena Kompetisi Baru?

Menyoroti implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR), Paganini menilai aturan tersebut bukan sekadar hambatan, melainkan awal dari standar baru pasar global. 

Ia menyebut EUDR sebagai arena kompetisi global untuk membangun kepercayaan, transparansi, dan inovasi.

“Nol deforestasi dan keterlacakan penuh akan menjadi standar baru. Ini bukan penghalang, melainkan perlombaan baru,” ujar Paganini.

Ia mengapresiasi masa uji coba 24 bulan dan kelonggaran satu tahun bagi UMKM serta petani kecil sebagai bentuk kompromi realistis menuju implementasi yang lebih inklusif.

Menurut Paganini, teknologi akan menjadi pembeda utama. Drone dan satelit untuk pemantauan, blockchain untuk keterlacakan, hingga AI untuk efisiensi, menurutnya adalah investasi strategis bagi masa depan industri.

“Semakin tinggi produktivitas, semakin rendah tekanan terhadap lahan. Inilah keberlanjutan yang sesungguhnya,” ujarnya seraya menekankan perlunya pergeseran dari ekspansi lahan ke pertumbuhan berbasis inovasi.

Melawan Narasi Anti-Sawit dengan Edukasi

Paganini juga menyoroti maraknya kampanye “palm oil-free” dan kebijakan anti-Saturated Fat (SAFA) sebagai arus besar yang menyesatkan publik. Menurutnya, label “tanpa sawit” hanyalah strategi pemasaran yang tidak menyentuh isu nutrisi sesungguhnya.

Ia mendorong produsen sawit untuk berhenti bersikap reaktif dan mulai memimpin narasi keberlanjutan dengan komunikasi berbasis bukti dan literasi gizi.

“Sudah waktunya negara produsen mengambil alih panggung diplomasi global. Sawit bukan hanya komoditas, tetapi fondasi kemakmuran dan inovasi,” ujarnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved