OPINI
Anak Hebat Tumbuh dari Rumah: Saat Orang Tua Menjadi Guru Kehidupan
Di tengah gempuran dunia digital yang begitu cepat, banyak orang tua tanpa sadar menyerahkan peran pendidikannya kepada sekolah.
Oleh: Dr. Linda Fauziyah Ariyani, SPd, MPd
Kepala Inkubator Bisnis Universitas Mulia, Konsultan Pendidikan
TRIBUNKALTIM.CO - Di tengah gempuran dunia digital yang begitu cepat, banyak orang tua tanpa sadar menyerahkan peran pendidikannya kepada sekolah.
Bahkan, kadang kepada layar gawai. Anak pulang sekolah, langsung tenggelam dalam ponsel, dan rumah pun kehilangan fungsinya sebagai ruang belajar kehidupan.
Padahal, keterampilan sosial termasuk diantaranya kemampuan untuk berinteraksi, berempati, dan beradaptasi dengan orang lain justru paling kuat tumbuh di rumah, bukan di ruang kelas.
Sekolah hari ini telah berupaya menghadirkan pembelajaran kontekstual: guru melatih kolaborasi, empati, dan komunikasi dalam kegiatan belajar.
Namun, konteks yang sesungguhnya ada di rumah. Di situlah anak melihat, meniru, dan membentuk kebiasaan sosialnya.
Orang tua adalah cermin pertama yang memantulkan nilai-nilai kehidupan.
Mari kita lihat kenyataan di sekitar: banyak anak kini tak mengenal tetangga sebelah rumahnya, tak terbiasa menyapa orang lain, bahkan canggung saat harus berinteraksi di lingkungan sosialnya.
Baca juga: Eksploitasi Digital Mahasiswi Kaltim, Psikolog Unmul: Ini Kekerasan Seksual Online
Akibatnya, mereka tumbuh dengan kemampuan akademik yang baik, tapi miskin keterampilan sosial.
Padahal, dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat jauh lebih membutuhkan people skills dibanding sekadar nilai tinggi.
Penelitian dari Harvard University menunjukkan bahwa 85 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh kemampuan sosial dan emosional, sementara kemampuan teknis hanya berkontribusi sekitar 15 persen.
Sementara itu, laporan dari Robert Wood Johnson Foundation menegaskan bahwa anak dengan keterampilan sosial yang baik sejak dini cenderung lebih sukses dalam pendidikan, pekerjaan, dan relasi sosial di masa depan.
Artinya jelas: membangun keterampilan sosial anak bukan sekadar tambahan, tapi kebutuhan mendasar.
Lalu, bagaimana caranya? Tidak sulit, tapi perlu kesungguhan.
Orang tua bisa mulai dengan memberi ruang bagi anak untuk mandiri melakukan hal-hal sederhana: menyiapkan sarapan sendiri, merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, atau menata meja makan.
Setelah itu, naikkan levelnya, ajak anak menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga, membantu membersihkan rumah, atau berbelanja ke warung bahkan belanja ke pasar untuk anak jenjang SMA.
Tidak hanya itu, orang tua perlu memberi tantangan kepada mereka untuk melakukan kegiatan sosial setiap minggu: mengenal tetangga baru, membantu kegiatan di RT, ikut bersih lingkungan, atau berkunjung ke panti asuhan.
Aktivitas seperti ini mengajarkan tanggung jawab, empati, dan keberanian berinteraksi, keterampilan yang tidak pernah bisa diajarkan oleh gawai mana pun.
Cara sederhana lainnya namun sangat efektif untuk melatih keterampilan sosial anak adalah dengan melibatkan mereka saat ada tamu berkunjung ke rumah.
Baca juga: Tips dan Trik Terapkan Disiplin Gawai pada Anak
Orang tua dapat memberi peran kecil yang bermakna, seperti meminta anak membantu menyiapkan minuman, menyajikan kudapan, atau sekadar menyapa tamu dengan ramah.
Ketika tamu yang datang sebaya, dorong anak untuk mengobrol, berbagi cerita, atau bermain bersama agar mereka terbiasa membangun komunikasi yang alami dan sopan.
Begitu pula ketika keluarga atau kerabat berkunjung, ajak anak untuk ikut berinteraksi, bertanya kabar, mendengarkan cerita orang dewasa, atau menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua.
Aktivitas sederhana seperti ini akan menumbuhkan kepercayaan diri, empati, dan kepekaan sosial yang menjadi fondasi penting bagi kemampuan beradaptasi mereka di masa depan.
Yang sering luput kita sadari, guru dan sekolah hanya mampu membentuk sebagian kecil dari karakter anak.
Sisanya terbentuk dari interaksi dan kebiasaan di rumah. Maka, jika kita ingin menciptakan generasi yang tangguh, sopan, dan adaptif terhadap perubahan zaman, kolaborasi antara sekolah dan rumah menjadi kunci utama.
Guru menghadirkan pembelajaran kontekstual di kelas, dan orang tua melanjutkannya dengan pembelajaran kehidupan di rumah.
Anak yang terbiasa berempati di rumah akan mudah memahami orang lain di sekolah. Anak yang belajar bertanggung jawab di rumah akan tumbuh menjadi pemimpin yang dapat dipercaya.
Baca juga: Hadirkan Dosen dan Alumni ITB di SMKN 1, Pelajar di Balikpapan Antusias ke Dunia Digital
Kini saatnya kita, para orang tua, menata ulang cara mendampingi anak. Jadilah guru kehidupan yang memberi teladan nyata, bukan hanya nasihat.
Karena sejatinya, anak-anak tidak hanya meniru apa yang kita ajarkan, tapi mereka meneladani bagaimana kita menjalani hidup.
Anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar nilai akademik. Mereka perlu keterampilan sosial yang tumbuh dari rumah.
Dan di sanalah letak kekuatan sesungguhnya: ketika rumah kembali menjadi tempat terbaik untuk belajar menjadi manusia. (*)
| Saatnya Menata Ulang Tata Kelola Sawit di Kalimantan Timur |
|
|---|
| Kaltim Berkelanjutan: Menambang Nilai, Bukan Bumi |
|
|---|
| Pendidikan Inklusif: Jangan Biarkan Anak Berkebutuhan Khusus Tertinggal di Kelas Kita |
|
|---|
| Saatnya Sekolah Berani Berbenah di Era IA2024 Versi 2025, Akreditasi Bukan Sekadar Nilai! |
|
|---|
| TKD Dipangkas: Fokus Program Pro Rakyat, Ambil Peluang Pembangunan Melalui APBN |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/Linda-Un-Mulia.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.