Jerat Model Pakaian Ketat

Eksploitasi Digital Berkedok Tawaran Model Busana di Kaltim, Aktivis Singgung Gagalnya Negara

Aktivis perempuan Samarinda, Nelly Agustina, menilai kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi data pribadi warganya

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Budi Susilo
HO/Nelly Agustina
PENIPUAN MODEL BUSANA - Ramai kasus eksploitasi digital yang menjerat mahasiswi Kaltim. Aktivis perempuan Samarinda Nelly Agustina menyerukan agar negara memperkuat kebijakan perlindungan data, kampus menciptakan ruang aman, dan media ikut bertanggung jawab membentuk literasi digital yang berpihak pada korban. (HO/Nelly Agustina) 

Padahal, kata Nelly, proses manipulasi pelaku berlangsung panjang dan sistematis, dimulai dari pengumpulan data hingga pendekatan emosional.

“Misalnya, banyak korban pemerkosaan dibilang ‘karena kamu menggoda dengan pakaian’, hal ini mirip dengan modus digital hari ini. Korban dianggap salah karena mengirim foto tertentu, padahal prosesnya panjang. Penipu melakukan riset, manipulasi, dan tahu siapa targetnya. Semua ini menunjukkan betapa lemahnya keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual,” ujarnya.

Lebih jauh, Nelly menjelaskan bahwa perempuan muda, terutama mahasiswi, menjadi target karena memiliki paparan digital tinggi dan data pribadi yang mudah diakses.

Bukan hanya faktor ekonomi, tetapi juga karena kemudahan pelaku dalam melacak informasi personal yang tersebar luas di internet.

“Jadi ini bukan sekadar iming-iming uang, tapi karena mereka memiliki data yang cukup untuk menargetkan korban secara spesifik,” kata Nelly menegaskan.

Terkait penanganan korban, Nelly menilai pendampingan psikologis saja tidak cukup tanpa lembaga hukum dan satgas kampus yang berperspektif korban dan progresif.

Ia mengkritik masih banyaknya lembaga yang tabu membicarakan kekerasan asusila dan bahkan melakukan victim blaming terhadap korban.

Banyak orang tidak mau melapor karena lembaga yang menerima laporan justru tabu dan rentan menyalahkan korban. 

"Lembaga pendamping seperti TRC PPA, LBH, dan Satgas kampus harus berpihak pada korban dan paham akar kekerasan berbasis gender online. Kalau tidak, justru memperparah kondisi psikologis korban,” katanya.

PENIPUAN MODEL BUSANA - Kuasa Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, membeberkan, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, menerima laporan dan tengah mendampingi puluhan mahasiswi yang menjadi korban dugaan penipuan berkedok tawaran pekerjaan sebagai model busana, Sabtu (8/11/2025).  
PENIPUAN MODEL BUSANA - Kuasa Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, membeberkan, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, menerima laporan dan tengah mendampingi puluhan mahasiswi yang menjadi korban dugaan penipuan berkedok tawaran pekerjaan sebagai model busana, Sabtu (8/11/2025). (TRIBUNKALTIM.CO/GREGORIUS SALMON)

Aparat Tidak Tegas

Selain itu, Nelly menyoroti lemahnya penerapan undang-undang yang ada.

Menurutnya, ketidaktegasan aparat penegak hukum membuat korban kehilangan keberanian untuk melapor, sehingga trauma tidak terselesaikan dengan baik.

Dalam proses pemulihan, peran kampus, keluarga, dan teman menjadi kunci. Kampus, tegas Nelly, seharusnya menjadi ruang aman bagi korban dan tidak menormalisasi seksisme di lingkungan akademik.

“Kampus harus bisa menjadi ruang aman untuk semua orang, termasuk korban kekerasan seksual. Banyak kampus masih mengamini seksisme dan pelaku kekerasan. Selama kampus tidak tegas, akan sulit bagi korban untuk pulih. Keluarga dan teman juga harus menjadi pendamping, bukan hakim bagi korban,” katanya.

Baca juga: 3 Cara Mudah Blokir Telepon Spam di iPhone, Lindungi Privasi dan Hindari Penipuan

Nelly juga menekankan pentingnya literasi digital yang sensitif gender, terutama di kalangan media.

Ia menilai penggunaan diksi seksis dan clickbait dalam pemberitaan memperkuat stigma dan memperlemah posisi korban.

Misalnya judul berita yang menyebut ‘gadis diimingi janji nikah’, padahal itu korban pemerkosaan. Ini bentuk literasi digital yang tidak sensitif gender. 

"Media harus belajar dan berpikir ulang sebelum menulis, karena publik menilai dari apa yang mereka baca,” pungkas Nelly. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved