Jerat Model Pakaian Ketat

Eksploitasi Digital Berkedok Tawaran Model Busana di Kaltim, Aktivis Singgung Gagalnya Negara

Aktivis perempuan Samarinda, Nelly Agustina, menilai kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi data pribadi warganya

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Budi Susilo
HO/Nelly Agustina
PENIPUAN MODEL BUSANA - Ramai kasus eksploitasi digital yang menjerat mahasiswi Kaltim. Aktivis perempuan Samarinda Nelly Agustina menyerukan agar negara memperkuat kebijakan perlindungan data, kampus menciptakan ruang aman, dan media ikut bertanggung jawab membentuk literasi digital yang berpihak pada korban. (HO/Nelly Agustina) 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA — Di balik maraknya kasus penipuan berkedok tawaran menjadi model busana yang belakangan menjerat sejumlah mahasiswi di Kalimantan Timur, terdapat akar masalah yang jauh lebih kompleks dari sekadar manipulasi individu.

Aktivis perempuan Samarinda, Nelly Agustina, menilai kasus ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi data pribadi warganya, yang pada akhirnya membuka ruang bagi praktik eksploitasi digital berbasis gender.

Menurut Nelly, modus yang digunakan pelaku tidak sekadar acak, melainkan terencana dan berbasis riset terhadap calon korban.

Pelaku menarget perempuan muda, terutama mahasiswi, melalui media sosial dengan pendekatan personal lewat pesan langsung (DM).

Baca juga: Penipuan Online Ancaman bagi Ekonomi Digital Indonesia, Pelaku Paling Sering Lewat SMS

Mereka mem-follow akun korban, mencari informasi pribadi, dan menyusun narasi bujuk rayu yang seolah profesional, padahal berujung pada eksploitasi seksual terselubung.

“Kalau omongin soal dampak psikologis apa yang terjadi pada korban eksploitasi digital, walaupun kasus ini jatuhnya manipulasi penipuan, bisa juga berbasis gender online karena menargetkan perempuan-perempuan di media sosial. Mereka menipu dengan cara personal melalui DM, dengan upaya mem-follow akun dan mencari informasi korban. Jadi kalau kita lihat, pelaku memang sudah merencanakan dengan matang,” ujar Nelly Agustina, Koordinator Savrinadeya Support-Group, kepada TribunKaltim, Rabu (12/11/2025).

Ia menegaskan bahwa fenomena tersebut tak lepas dari masifnya digitalisasi tanpa kesiapan sosial dan lemahnya kebijakan perlindungan data pribadi di Indonesia.

Nelly menyebut, maraknya praktik doxing dan pencurian data menjadi bukti nyata bahwa sistem keamanan digital masyarakat masih rapuh.

Baca juga: Polda Kaltim Belum Terima Laporan Kasus Eksploitasi Digital Berkedok Tawaran Model

“Kita tahu bagaimana ketika digitalisasi besar-besaran ini terjadi, banyak sekali cara instan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Ini juga berpengaruh terhadap kondisi sosial, di mana Indonesia sebenarnya belum siap. Negara sangat tidak mampu menjaga keamanan digital kita. Walaupun kita sudah menjaga privasi dengan baik, tetap saja data pribadi kita terbuka luas di internet,” tegasnya.

Nelly menjelaskan, dampak psikologis yang dialami korban seringkali sebanding dengan bentuk kekerasan seksual lainnya.

Rasa bersalah dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri menjadi beban utama korban, diperparah oleh budaya patriarki yang masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menjaga diri. 

Korban merasa ditipu, merasa dirugikan, dan akhirnya depresi. Kebanyakan korban kekerasan cenderung menyalahkan dirinya sendiri karena merasa bodoh atau lalai.

"Ini akibat sistem sosial patriarkal yang membuat perempuan selalu dianggap salah, bahkan ketika mereka menjadi korban. Itu yang terjadi pada banyak korban kekerasan berbasis gender online,” ungkapnya.

Ia menambahkan, framing sosial yang menyalahkan korban turut memperpanjang trauma psikologis.

Dalam banyak kasus, masyarakat menilai korban sebagai pihak yang memancing situasi berisiko, misalnya karena pakaian atau pose foto yang dikirim. 

Baca juga: Jebakan Modeling Berbayar Mahal, Puluhan Mahasiswi di Kaltim Diduga jadi Korban Eksploitasi Foto

Padahal, kata Nelly, proses manipulasi pelaku berlangsung panjang dan sistematis, dimulai dari pengumpulan data hingga pendekatan emosional.

“Misalnya, banyak korban pemerkosaan dibilang ‘karena kamu menggoda dengan pakaian’, hal ini mirip dengan modus digital hari ini. Korban dianggap salah karena mengirim foto tertentu, padahal prosesnya panjang. Penipu melakukan riset, manipulasi, dan tahu siapa targetnya. Semua ini menunjukkan betapa lemahnya keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual,” ujarnya.

Lebih jauh, Nelly menjelaskan bahwa perempuan muda, terutama mahasiswi, menjadi target karena memiliki paparan digital tinggi dan data pribadi yang mudah diakses.

Bukan hanya faktor ekonomi, tetapi juga karena kemudahan pelaku dalam melacak informasi personal yang tersebar luas di internet.

“Jadi ini bukan sekadar iming-iming uang, tapi karena mereka memiliki data yang cukup untuk menargetkan korban secara spesifik,” kata Nelly menegaskan.

Terkait penanganan korban, Nelly menilai pendampingan psikologis saja tidak cukup tanpa lembaga hukum dan satgas kampus yang berperspektif korban dan progresif.

Ia mengkritik masih banyaknya lembaga yang tabu membicarakan kekerasan asusila dan bahkan melakukan victim blaming terhadap korban.

Banyak orang tidak mau melapor karena lembaga yang menerima laporan justru tabu dan rentan menyalahkan korban. 

"Lembaga pendamping seperti TRC PPA, LBH, dan Satgas kampus harus berpihak pada korban dan paham akar kekerasan berbasis gender online. Kalau tidak, justru memperparah kondisi psikologis korban,” katanya.

PENIPUAN MODEL BUSANA - Kuasa Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, membeberkan, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, menerima laporan dan tengah mendampingi puluhan mahasiswi yang menjadi korban dugaan penipuan berkedok tawaran pekerjaan sebagai model busana, Sabtu (8/11/2025).  
PENIPUAN MODEL BUSANA - Kuasa Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, membeberkan, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, menerima laporan dan tengah mendampingi puluhan mahasiswi yang menjadi korban dugaan penipuan berkedok tawaran pekerjaan sebagai model busana, Sabtu (8/11/2025). (TRIBUNKALTIM.CO/GREGORIUS SALMON)

Aparat Tidak Tegas

Selain itu, Nelly menyoroti lemahnya penerapan undang-undang yang ada.

Menurutnya, ketidaktegasan aparat penegak hukum membuat korban kehilangan keberanian untuk melapor, sehingga trauma tidak terselesaikan dengan baik.

Dalam proses pemulihan, peran kampus, keluarga, dan teman menjadi kunci. Kampus, tegas Nelly, seharusnya menjadi ruang aman bagi korban dan tidak menormalisasi seksisme di lingkungan akademik.

“Kampus harus bisa menjadi ruang aman untuk semua orang, termasuk korban kekerasan seksual. Banyak kampus masih mengamini seksisme dan pelaku kekerasan. Selama kampus tidak tegas, akan sulit bagi korban untuk pulih. Keluarga dan teman juga harus menjadi pendamping, bukan hakim bagi korban,” katanya.

Baca juga: 3 Cara Mudah Blokir Telepon Spam di iPhone, Lindungi Privasi dan Hindari Penipuan

Nelly juga menekankan pentingnya literasi digital yang sensitif gender, terutama di kalangan media.

Ia menilai penggunaan diksi seksis dan clickbait dalam pemberitaan memperkuat stigma dan memperlemah posisi korban.

Misalnya judul berita yang menyebut ‘gadis diimingi janji nikah’, padahal itu korban pemerkosaan. Ini bentuk literasi digital yang tidak sensitif gender. 

"Media harus belajar dan berpikir ulang sebelum menulis, karena publik menilai dari apa yang mereka baca,” pungkas Nelly. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved